Masuk Daftar
My Getplus

ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali

PNI digembosi di Bali hingga kalah dalam Pemilu 1971. ABRI masuk desa sukses membangun Golkar di sana.

Oleh: Petrik Matanasi | 27 Feb 2024
Sapi diikat di pohon beringin, istilah untuk peng-Golkar-an orang-orang PNI di Bali pada pra-Pemilu 1971. (Ilustrasi: Yusuf "Gondrong"/Historia)

Berbeda dari di Jawa, setelah tahun 1965, orang-orang Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bali ikut pula membersihkan partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak orang Bali kena “garis” alias dihabisi dengan dalih terlibat G30S atau dicap PKI pada 1966. Bahkan, Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja (1923-1966) juga hilang tak tentu rimbanya meski sang gubernur sendiri bukan anggota PKI. Habisnya PKI di Bali berarti Orde Baru tegak di sana.

Beberapa tahun setelah kaum komunis Bali dihabisi, PNI ternyata tidak menjadi kolega yang baik bagi rezim militer Orde Baru. Bagi para jenderal Orde Baru, PNI tentu tetaplah bagian dari Sukarno, yang mungkin bisa membahayakan mereka. Oleh karenanya, para jenderal itu membuat kendaraan politik baru yang bisa menguasai Pemilu. Kendaraan itu adalah Golongan Karya (Golkar).

Buleleng yang berpusat di Singaraja dipilih oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai basis untuk bekerja keras membangun Golkar. Upaya ini dilakukan sebelum Pemilu 1971.

Advertising
Advertising

Tentu saja PNI, yang berbasis di Buleleng, menjadi sasaran yang harus dihabisi. Salah satunya dengan cara menarik tokoh PNI ke Golkar. Dengan begitu, massa di bawahnya akan terangkut pula ke Golkar. Dan untuk itu, aparat hankam tak segan main kasar.

“Beberapa tokoh PNI yang tidak bergabung ke Golkar diteror, rumahnya dibakar dan dilempari. Kelanjutan dari gerakan ini, khususnya di Buleleng, adalah di-Golkar-kannya desa pakraman yang dulunya adalah basis pendukung PNI,” catat Ngurah Suryawan dalam Mencari Bali Yang Berubah.

Setelah Buleleng, daerah Tabanan pun jadi sasaran. ABRI masuk desa, demi Golkar.

Di Kecamatan Papuan, semua tokoh PNI beserta organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya –seperti Gerakan Pemuda Marhaen, Gerkan Wanita Marhaen, juga Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)– dikumpulkan. Sebuah rapat yang dipimpin para perwira ABRI dari Singaraja diadakan untuk mengarahkan mereka agar ikut Golkar.

“Apa saudara-saudara tidak takut  jika ada pembunuhan massal lagi? Coba pikirkan, kawan kita, teman kita, saudara kita, tiba-tiba dibunuh karena terlibat partai terlarang. Jangan sampai terjadi hal itu,” kata si perwira seperti diingat Putu Setia, yang —kala itu belum genap 20 tahun— dicatat dalam memoarnya Wartawan Jadi Pendeta.

Ujung-ujunganya, si perwira itu bilang, “Nah, saudara-saudara pimpinan partai PNI, maka marilah kita bubarkan partai. Bubar dengan resmi, saya menyediakan formulir pernyataan itu.

Ketika perwira itu ingin membubarkan PNI di desa-desa di Tabanan, PNI sebenarnya tidak berstatus partai terlarang yang harus dibubarkan. Namun pada awal 1970-an itu, informasi bagi orang-orang desa atas apa yang terjadi jauh di luar desa meraka, termasuk juga apa yang terjadi di Jakarta, masih minim. Kala itu Jenderal Soeharto menginginkan kekaryaan ABRI saja. Partai-partai yang pada 1970-an masih ada, tak disukai Soeharto.

Saking massifnya “Peng-Golkar-an” atau populer sebagai “Pembulelengan”, sampai ada ungkapan yang kemudian populer, berbunyi “Ne sampine iket di tik binginne.” Ungkapan berbahasa Bali itu berarti “Ini sapinya diikat saja di pohon beringin.”

“Ungkapan untuk menunjukkan simbol binatang sapi/banteng sebagai lambang dari PNI akan diturunkan atau digantikan oleh pohon beringin lambang Partai Golkar. Ungkapan ini terjadi pada peristiwa ‘Pembulelengan’, ‘Peng-Golkar-an’ yang terjadi di Kabupaten Buleleng 1971,” tulis I Ngurah Suryawan dalam Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara.

Kedatangan perwira ABRI tersebut diikuti dengan pemasangan lambang Golkar di mana-mana dan perekrutan pengurus. Tentu saja hal itu menimbulkan ketakutan di kalangan orang-orang desa, termasuk keluarga Putu Setia. Kebetulan ada keluarga dekat Putu yang hilang karena dituduh PKI.

Muak dengan fenomena Golkarisasi alias Dibulelengkannya desa-desa di Tabanan, Putu Setia yang putus sekolah di kelas dua STM kemudian mengemasi tasnya. Agar keluarganya tidak khawatir, dia pura-pura membawa formulir lalu ke  kantor desa. Dia memang sampai ke kantor desa, namun Putu tak seperti yang diharapkan keluarganya dan juga orang-orang Orde Baru.

“Saya putuskan untuk tidak akan menandatangani formulir laknat itu,” aku Putu Setia, yang masih remaja ketika pambantaian PKI terjadi di Bali.

Putu memilih merantau lagi ke Denpasar. Dia lalu menjadi juru gambar sebelum wartawan di Bali lalu Jakarta.

Golkarisasi di Bali yang ditopang ABRI tergolong sukses. Menurut buku Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999, dalam Pemilu 1971, Golkar mendapat 869.404 suara atau 82% suara hinga berhak atas 7 kursi di parleman. Sementara PNI hanya dapat 130.233 suara sehingga hanya dapat satu kursi. Sementara, partai-partai lain hanya 48.453 suara, tanpa kursi. Setelah Pemilu 1971, PNI berfusi dengan beberapa partai lain menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Setelah Soeharto lengser dan ABRI berubah menjadi TNI, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) –merupakan sempalan dari PDI– menguat di Bali dan terus mendominasi hingga kini.

TAG

partai golkar orde baru pni bali

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Pulangnya Keris Pusaka Warisan Puputan Klungkung Agung Jambe Dibunuh dan Kerisnya Dirampas Dari Matros ke Banteng Marhaen Pembantaian di Puri Cakranegara Banjir Darah di Puri Smarapura Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi Pesona dari Desa Penglipuran Sanghyang Dedari, Pertunjukan Penolak Marabahaya dari Bali Menyelundupkan Seniman Bali