Masuk Daftar
My Getplus

Sardjito dan Biskuit Anti Lapar untuk TNI

Semasa perang, dia mendirikan banyak pos medis dan rumah sakit darurat serta membuat obat-obatan. Karya terbesarnya membuat ransum khusus untuk berperang.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 18 Apr 2021
Ilustrasi (Betaria Sarulina/Historia)

Setelah melewati pertempuran menghadapi pasukan Inggris di Bandung, Sardjito melanjutkan perjuangannya di Klaten, Jawa Tengah. Dia tiba di kota itu sekitar akhir November 1945 bersama dengan rombongan karyawan Institute Pasteur dan tenaga kesehatan dari Palang Merah.

Di Klaten, Insttute Pastur menempati sebuah laboratorium yang biasa digunakan untuk percobaan tembakau. Selain laboratorium untuk keperluan penelitian obat dan vaksin, Sardjito juga dipercaya mengelola rumah sakit di Tegalyoso, sebelah selatan Klaten. Di rumah sakit yang hingga sekarang masih berdiri, Sardjito memberikan perawatan untuk para korban perang, baik dari sipil maupun militer.

“Selain diizinkan mempergunakan gedung Laboratorium Percobaan Tembakau, Institute Pasteur diperbolehkan pula memakai alat-alat dari laboratorium tersebut,” demikian menurut buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid I yang ditulis oleh tim dari Departemen Kesehatan. 

Advertising
Advertising

Baca juga: Sardjito, Dokter Revolusi Indonesia

Sama halnya ketika di Bandung, di Klaten pun Sardjito memulai perjuangannya dengan membuat pos-pos medis di sepanjang jalur transportasi penting dan daerah-daerah terpencil yang jauh dari fasilitas kesehatan. Dia lalu menempatkan beberapa anggota Palang Merah di pos-pos tersebut.

Dikisahkan kurator Museum UGM Irfan Waskitha Adi dalam acara Jambore Kesejarahan “Peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949: Patriot Bangsa Merebut Ibu Kota” yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, (27/04/2021), pos-pos medis yang dibuat Sardjito juga berfungsi sebagai jalur gerilya bagi tentara Indonesia. Dia diminta oleh Komandan Markas Besar Tentara se-Djawa Kolonel A.H. Nasution untuk membuat jalur persembunyian dan pelarian bagi para tentara.

Rumah Sakit Darurat

Tidak hanya membuat pos-pos kecil, Sardjito juga mendirikan banyak rumah sakit darurat yang pengelolaannya diserahkan kepada dokter-dokter militer. Sardjito sendiri menempati sebuah rumah sakit darurat bernama Rumah Sakit Geger di Tegalrejo.

“Itu berada di daerah yang sangat jauh dari Tegalyoso karena memang sengaja untuk memberikan pengecohan tentara Belanda kalau ada rumah sakit lain yang sebenarnya jauh lebih penting dari Tegalyoso,” kata Irfan.

Meskipun bernama rumah sakit darurat, namun soal fasilitas jangan ditanya. Di dalam bangunannya hanya terdapat ruangan berbentuk kotak, dengan sekat-sekat pemisah. Pasien di sana kabanyakan berasal dari korban perang di garis depan, yang terkena bombardir pasukan musuh.

Baca juga: Sardjito Memimpin Institute Pasteur

Berdasarkan wawancara dengan seorang pelaku sejarah bernama Surmin --yang rumahnya berada di sekitar rumah sakit dan pernah membantu di sana-- Irfan memperoleh infromasi bahwa semasa perang Rumah Sakit Geger sangatlah sibuk. Banyak pasien yang dirawat di sana. Proses pemberian vaksin juga banyak dilakukan di rumah sakit tersebut.

Sardjito dan Institute Pasteur membuat lebih banyak rumah sakit darurat ketika Belanda menduduki ibukota RI di Yogyakarta pada 1948. Setelah mengungsi ke luar Klaten, sebagian besar karyawan Institute Pasteur bertugas di rumah sakit darurat. Mereka disebar untuk menempati pos-pos medis tersebut.

“Mahasiswa-mahasiswa dari perguruan tinggi kedokteran ikut serta mengungsikan beberapa barang, terutama induk-induk bakteri yang telah dibikin dalam agar tusuk (steekagar),” tulis Departemen Kesehatan.

Biskuit Sardjito

Ketika Serangan Umum 1 Maret 1949 pecah, Nasution pernah meminta Sardjito membuat ransum untuk TNI. Menurut Irfan, Nasution meminta ransum berisi makanan ringan yang komposisinya sama dengan milik tentara Belanda.

Permintaan Nasution tersebut  disanggupi oleh Sardjito. Tetapi rektor pertama UGM itu berpikir untuk membuat ransum yang berbeda dengan kepunyaan Belanda. Dia khawatir jika ransum buatannya memiliki komposisi yang sama, tentara Belanda akan curiga kalau itu hasil rampasan dan mereka bisa saja berusaha menyitanya. Maka Sardjito pun membuat ransum hasil racikan sendiri yang terkenal dengan nama “Biskuit Sardjito”.

Baca juga: Makanan Hatta dan Sjahrir di Pengasingan

Berdasarkan wawancara dengan seorang verteran bekas tentara pelajar bernama Samdi, diketahui bahwa biskuit Sardjito “bentuknya bunder, kecil kaya bakpia, dan kalau dimakan dengan air saja seharian bisa tahan lapar walaupun si pemakan berjalan jauh dan menjalankan aktifitas tinggi di medan perang. 

Setiap tentara akan memperoleh beberapa biskuit yang jumlahnya cukup untuk kegiatan gerilya mereka. Selain biskuit Sardjito, dalam sebungkus ransum ada juga nasi aking. Ransum tersebut dimakan ketika dalam kondisi darurat. Sementara untuk keperluan makan harian, para tentara bisa mendapatkannya di dapur-dapur umum yang dibuat oleh warga di desa-desa yang mereka singgahi.

Vaksin Darurat

Kegiatan lain yang dilakukan Sardjito dan Institute Pasteur semasa perang adalah membuat vaksin darurat. Dia memanfaatkan media hewan kerbau untuk pembuatan vaksin tersebut. Caranya dengan menyuntikan bibit vaksin cacar ke lapisan kulit kerbau dan mengembangbiakannya. Setelah siap bibit vaksin itu akan diproses untuk menghasilkan serum.

Baca juga: Vaksin Darurat Masa Revolusi

Namun pembuatan vaksin dalam kondisi perang tidaklah mudah. Sardjito seringkali mendapat kesulitan ketika mengumpulkan bahan pembuatan serum karena adanya blokade Belanda. Dia pun mengakali bahan-bahan yang sulit dicari dengan bahan seadanya. Seperti ketika dia mengganti pepton dengan enzim dari tubuh babi, NaCl dengan garam dapur, asam amino yang harusnya dari kaldu sapi diganti dengan kaldu tempe, dan agar-agar.

“Dalam diary beliau, masa-masa di Klaten itu cukup menyulitkan dan menyedihkan. Dituliskan dalam wasiat beliau juga saat-saat itu sangat mengerikan,” kata Irfan.

TAG

sardjito kedokteran

ARTIKEL TERKAIT

Peran Calon Dokter dari Indonesia Timur dalam Kemerdekaan Dr. Raden Rubini Natawisastra, Pahlawan Nasional dari Kalimantan Barat Jejak J.A. Kaligis, Dokter Hewan Bumiputra Pertama Awal Mula Dokter Hewan di Indonesia Sardjito Memimpin Institute Pasteur Sardjito, Dokter Revolusi Indonesia Lama Wabah di Masa Lalu Peran Radjiman Wedyodiningrat sebagai Dokter Keraton Kondisi Kesehatan Jakarta di Awal Kemerdekaan Insentif untuk Para Petugas Medis