Masuk Daftar
My Getplus

Vaksin Darurat Masa Revolusi

Kisah dokter tentara memvaksin cacar penduduk di Banten Selatan dan Bogor di tengah revolusi kemerdekaan. Bahan vaksinnya dari kulit kerbau.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 13 Jan 2021
Dr. Satrio ketika menjabat menteri kesehatan sedang melakukan penyuntikan kepada anak-anak dalam kunjungan ke daerah-daerah. (Repro Perjuangan dan Pengabdian).

Prof. Dr. Satrio. Nama ini sohor sebagai salah satu jalan utama di Jakarta. Tak banyak orang tahu siapa sosok ini dan apa yang telah dilakukannya sehingga namanya diabadikan. Dia seorang dokter tentara yang berjasa dalam memberikan vaksin cacar kepada penduduk Banten Selatan dan Bogor pada masa revolusi kemerdekaan.

Cerita pemberian vaksin oleh dr. Satrio bermula pada Desember 1948. Kala itu, Belanda berupaya merebut sejumlah wilayah Banten seperti Serang, Pandeglang, dan Rangkasbitung dari Republik. Pejuang-pejuang Republik melawan upaya itu dengan perang gerilya.

Dr. Satrio ikut bertugas membantu pejuang gerilya Republik sesuai surat kawat dari Markas Besar Tentara. Dia tergabung dalam Brigade Tirtayasa dan beberapa kali mengurus pejuang-pejuang yang terluka atau gugur. Tapi penugasannya di wilayah Gunung Karang, Banten Selatan, menggerakkan dirinya turut membantu rakyat.

Advertising
Advertising

“Dalam perjalanan kembali ke daerah selatan, saya mendapat informasi dari penunjuk jalan bahwa di antara penduduk ada penyakit cacar,” kata dr. Satrio kepada Mona Lohanda dkk. dalam Perjuangan dan Pengabdian: Mosaik Kenangan Prof. Dr. Satrio 1916–1986.

Baca juga: Vaksin dan Harapan di Tengah Wabah Penyakit

Dr. Satrio mendatangi kampung tersebut dan melihat fisik para penduduknya. “Bisul-bisul bernanah kecil-kecil tersebar di kulit. Tidak saya ragukan memang ini adalah vario vera menurut istilah kedokteran Latin dan bukan cacar air,” tutur dr. Satrio.

Para penduduk di kampung tersebut menderita cacar lebih dari tiga tahun. Selama pendudukan Jepang, tak pernah ada vaksinasi cacar. Jika dibiarkan, cacar akan menjadi epidemi. Sebab cacar menular cepat.

Masalahnya, dr. Satrio tak punya vaksin cacar sehingga tak bisa memberi penduduk vaksin cacar segera. Dia juga merasa tak mampu memisahkan para penderita cacar dengan penduduk yang masih sehat. “Dalam keadaan darurat gerilya, kedua-duanya tak mungkin,” kenang dr. Satrio.

Baca juga: Cerita Rombongan Presiden Soeharto Disuntik Vaksin

Peristiwa ini terus membebani pikiran dr. Satrio hingga kembali ke markasnya. Dia berbagi cerita dengan rekan-rekannya. Menurut seorang rekannya, ada seseorang di Malingping, wilayah pantai di Banten Selatan, yang mungkin bisa membantu dr. Satrio. Orang itu bernama Suria dan pernah bekerja sebagai mantri cacar.

Tak menunggu lama, dr. Satrio lekas menuju Malingping bersama tiga orang tenaga kesehatan. “Dr. Satrio menempuh perjalanan 4 hari mencari vaksin di tempat mantri cacar Suria,” catat Tim Departemen Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Nasional Jilid 1.

Dokter Satrio semasa memberikan vaksin cacar di Banten dan Bogor 1948-1949. (Repro Perjuangan dan Pengabdian).

Dr. Satrio berhasil menemui Suria. Dia mendapat 30 ampul (wadah gelas bening yang bagian lehernya menyempit) vaksin cacar dari Suria. Jumlah itu untuk menyuntik 100 orang. Tapi itu belum memecahkan masalah.

Dr. Satrio memprediksi jumlah ampul tersebut masih kurang untuk penduduk Banten Selatan. Selain itu, mereka tak punya zat pelarut vaksin, yaitu gliserin. Mereka harus mencari pelarut ini. Tanpa pelarut, vaksin tak bisa digunakan.

Dr. Satrio menanyakan ke Suria bagaimana kalau 30 ampul vaksin itu jadi modal untuk membuat vaksin sendiri. Suria bersedia membantu. Dia juga mengatakan pernah praktik membuat sendiri vaksin cacar dari kulit kerbau.  

Baca juga: Upaya Memberantas Cacar

Dr. Satrio dan Suria mencatat kebutuhan mereka. Gliserin, kerbau, penggiling untuk bahan-bahan vaksin, dan botol-botol untuk menaruh vaksin.

Ketika berembug tentang pelarutnya, Suria ingat sebuah apotek atau gudang obat di Bayah, Banten Selatan. Di sana mungkin tersedia gliserin. “Tulis saja nota, pasti akan diperoleh glycerin sebanyak yang diperlukan,” kata Pak Suria, seperti dikutip Matia Madjiah dalam Dokter Gerilya. Hasilnya dua botor gliserin datang dalam dua hari. 

Masalah berikutnya mencari kerbau sehat. Dr. Satrio dan Suria sempat kesulitan. Tapi kabar bagus diperoleh dari seorang perwira daerah. Dia memastikan kerbau sehat tersedia. Kerbau sehat diperlukan untuk menularkan vaksin cacar ke kulitnya.

Baca juga: Sejarah Oeang Republik Indonesia Daerah Banten

Dari penularan tersebut akan muncul bisul di kulit kerbau. Kemudian kerbau disembelih dan bisulnya dikerok untuk digiling agar menjadi seperti bubur. Setelah digiling kering, bahan itu dilarutkan dengan gliserin lalu dimasukkan ke wadah vaksin. Sisa daging kerbaunya dipastikan aman dan dibagikan ke penduduk. “Kerbau kita telah amat berjasa sebagai pembiak vaksin,” kata dr. Satrio.

Setelah memperoleh gliserin dan kerbau, dr. Satrio dan Suria mencari alat penggiling bahan vaksin. Tak ada gilingan vaksin, gilingan kopi pun jadi. Untuk wadahnya, mereka menggunakan batang pohon pisang. Di dalam wadah demikian, vaksin akan bertahan tiga minggu.

Semua tahap pembuatan vaksin mengambil tempat di Bojong Kirai. Semua proses berjalan sesuai rencana. Dari modal 30 ampul vaksin untuk 100 orang, dr. Satrio dan Suria berhasil melipatgandakannya menjadi untuk 20.000 orang.

Mantri cacar Suria dari Malingping yang membantu membuat vaksin anti cacar. (Repro Perjuangan dan Pengabdian).

Dr. Satrio dan Suria bersama timnya menjajaki tiap tempat di Banten Selatan sampai ke Bogor untuk memvaksin penduduk. Tujuannya agar penduduk yang sehat kebal terhadap penyakit cacar. Mereka sering melewati daerah rawa penuh lintah. Darah mereka terhisap oleh lintah. Tapi langkah mereka tetap mengalir. Mereka berhasil menemui penduduk di banyak desa.

Tak ada penduduk menolak vaksin. Malah mereka senang dengan kedatangan dr. Satrio dan timnya. Mereka juga manut ketika tim meminta ada pemisahan antara penderita cacar dan penduduk yang sehat.

Baca juga: Penolakan Vaksin Dulu dan Kini

Selama perjalanan itu, dr. Satrio dan timnya telah memvaksin hampir 300 ribu orang. Jika vaksin habis, mereka akan membuat vaksin baru di tempat tersebut selama bahan-bahannya tersedia. Sisa bahan vaksin dari kerbau dapat digunakan untuk bekal makanan di perjalanan. Misalnya paha kerbau yang diolah jadi dendeng.

Sebenarnya memvaksin penduduk bukan tugas utama dr. Satrio sebagai dokter tentara. “Walaupun tugas utama saya melayani tentara, namun jika rakyat sekelilingnya menderita wabah cacar, tentu tentara juga dapat ketularan dan mati... Jika kami dapat menolong rakyat, hal itu berarti bahwa kami membantu pemerintah RI dalam menyelamatkan rakyat,” kata dr. Satrio.        

Dr. Satrio dan tim menyebut pengalamannya itu sebagai “long march memberantas cacar”. Berkat jasanya menyelamatkan ratusan ribu penduduk dari ancaman cacar, mereka mendapat penghargaan bintang gerilya dari pemerintah.

TAG

vaksin

ARTIKEL TERKAIT

Sardjito Memimpin Institute Pasteur Sardjito, Dokter Revolusi Indonesia Melawan Kolera dengan Vaksinasi Massal Vaksin Wabah Penyakit Vaksin dan Harapan di Tengah Wabah Penyakit Cerita Rombongan Presiden Soeharto Disuntik Vaksin Menanti Vaksin si Pembasmi Penyakit Memindai Sejarah Barcode dan QR Code Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung