SEJAK beberapa tahun bekalangan, gerakan anti-vaksin muncul di tanah air. Alasan di balik gerakan beragam. Ada yang beranggapan vaksin mengganggu sistem kekebalan anak, dilarang agama, atau mengira vaksin jadi penyebab autisme anak. Meski klaim terakhir telah dibantah para ilmuwan, gerakan ini tak lantas surut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut keraguan penggunaan vaksin jadi satu dari sepuluh ancaman terbesar pada kesehatan global 2019. Buntut penolakan ini tak sepele, ada kemunculan kembali penyakit yang sebetulnya dapat dicegah dengan vaksin. Padahal beberapa penyakit pernah hampir diberantas di masa lalu.
"Ada infeksi yang belum pernah kita lihat selama bertahun-tahun atau kita tidak ingat kapan terakhir kali kita melihatnya," kata Michael Angarone, asisten profesor kedokteran di Northwestern University Feinberg School of Medicine di Chicago, Amerika Serikat, seperti ditulis Beritagar.id.
Kealpaan pengetahuan tentang ganasnya penyakit inilah yang membuat orang enteng saja menolak vaksin. Padahal salah satu penyakit yang dicegah vaksin, cacar, pernah jadi ancaman mematikan pada abad ke-17. Wabah cacar menyerang Ambon, Maluku tengah, Jawa, dan Sumatera. Peter Boomgard dalam “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica” menyebut pada 1613 cacar menyerang Malaka dan membunuh seperenam populasi. Wabah berikutnya muncul pada 1651 yang menghilangkan nyawa sepertiga penduduknya.
Baca juga: Upaya Memberantas Cacar
Untuk menanggulangi keganasan cacar di berbagai daerah, pemerintah kolonial menggratiskan vaksinasi cacar di semua daerah sejak 1818. Dua tahun berikutnya, pemerintah mengeluarkan Reglement voor den Burgelijke Geneeskundige Dienst (peraturan mengenai Dinas Kesehatan Publik) dan Reglement op de Uitoefening der Keoepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (peraturan pelaksanaan vaksinasi cacar). Dari situlah pengorganisasian program vaksin dimulai.
Petugas kesehatan yang khusus menangani cacar dikepalai seorang inspektur, dibantu pengawas di tiap karesidenan yang biasanya diisi oleh dokter. Untuk wilayah yang jauh dan terpelosok, dikirim mantri cacar. Tiap minggu mantri cacar membuat tiga laporan tentang vaksinasi cacar di daerahnya dan diserahkan pada bupati dan pengawas, lalu diteruskan kepada residen dan inspektur. Enam bulan sekali, inspektur akan memeriksa hasil kerja mantri.
Jika ada kasus penyakit cacar, anak dari keluarga terjangkit dilarang masuk sekolah. Semua anak di lembaga yang disubsidi pemerintah harus divaksinasi dan semua penderita cacar tidak diizinkan keluar rumah.
Perbaikan vaksinasi terjadi pada 1850 dengan dikeluarkannya pencacaran sirkulir, agar akses masyarakat pada vaksin cukup dekat. Untuk meratakan persebaran vaksinasi, pemerintah membuat pembagian area sebaran vaksin. Satu karesidenan dibagi ke dalam beberapa distrik, tergantung jumlah penduduknya. Jawa dan Madura dibagi menjadi 166 distrik. Namun karena padatnya penduduk, pada tahun berikutnya diubah lagi jadi 123 distrik.
Baca juga: Langkah Gencar Menanggulangi Cacar
Setiap distrik dibagi menjadi tiga lingkaran. Setiap lingkaran ini dijaga satu pos vaksinasi dengan beberapa petugas kesehatan seperti dokter Jawa sebagai pengawas dan mantri cacar.
Program vaksinasi menyasar anak usia 7-9 tahun. Tiap Senin, vaksinasi dilakukan untuk lingkaran dalam, Selasa untuk lingkaran tengah, dan Rabu lingkaran luar. Pada hari Kamis, mantri cacar membuat perencanaan, seperti memilih pos berikutnya, dan menyiapkan desa-desa di sekitarnya. Setiap pos harus mencakup desa-desa yang jaraknya 1,5 kilometer.
Para mantri cacar menjadi agen perluasan vaksinasi di Jawa pada abad ke-19. Mereka diharuskan tinggal di distrik-distrik yang dipilih untuk penyelenggaraan program cacar. Aktivitas pencacaran dilakukan di desa induk agar masyarakat mudah menjangkau. Di Surabaya, pencacaran dipimpin dr. Gray yang dibantu dua vaccinateur dari Belanda dan 14 mantri cacar. Para petugas kesehatan ini disebar ke distrik-distrik, tiap distrik ditangani dua orang mantri cacar yang akan membuat laporan pencacaran. Dokter Gray tidak ikut terjun ke lapangan, ia sebatas mengawasi kinerja para mantri lewat laporan tersebut. Tugas mantri cacar jadi cukup berat karena selain melakukan pencacaran juga harus melakukan kontrol di wilayah kerjanya.
Baca juga: Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi
Model pencacaran secara sirkular ini bertahan hingga abad ke-20. Dengan keberadaan pos vaksin yang dekat ini, masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk mendapat vaksin cacar.
Namun program vaksin cacar ini sempat mengalami kendala. Penduduk yang sebagian besar masih buta huruf menyulitkan mantri cacar. “Rasa enggan penduduk terhadap sesuatu yang belum dikenalnya serta jarak tempuh untuk mencapai tempat pencacaran juga jadi alasan kuat penduduk untuk tidak melakukan pencacaran,” tulis Baha’Udin dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Jawa” yang dimuat Jurnal Humaniora Oktober 2006. Kegagalan itu terjadi di Surabaya (1824), Pasuruan (1828), Kedu (1823), dan Banyumas (1835).
Beberapa orang tua enggan mengantarkan anak mereka untuk divaksinasi. Pada 1821, penolakan vaksin terjadi di Pulau Bawean. Seluruh penduduk tidak mau menerima vaksin karena tidak disetujui ulama. Di Madiun pada 1831, para orang tua enggan mencacarkan anak mereka lantaran tersebar kabar bahwa vaksinasi hanya akal bulus residen yang ingin menjadikan anak-anak kampung sebagai makanan untuk buaya peliharaannya. Begitu kabar ini beredar, para ibu di Madiun langsung melarikan anak mereka untuk bersembunyi ke hutan.
Baca juga: Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis
Beberapa penduduk punya alasan lebih masuk akal. Mereka meragukan efektivitas vaksin karana ada beberapa anak yang tetap tertular cacar meski sudah divaksin. Vaksin memang kemungkinan tidak befungsi bila terpapar udara tropis dan tidak segera digunakan begitu tiba dari Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu, kualitas vaksin makin mutakhir untuk memerangi penyakit. Gerakan penolakan yang massif malah akan membuat penyakit itu muncul kembali.