Diskriminasi pada dokter pribumi amat kentara di era kolonial. Selain mendapat gaji yang jauh lebih kecil dan ditugaskan ke daerah terpencil, akses dokter pribumi untuk mendapat bacaan medis juga dibatasi. Jurnal kedokteran terkemuka Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (GTNI) hanya boleh diakses oleh pejabat kesehatan dan dokter Belanda.
“GTNI sangat eksklusif untuk dokter Belanda, sementara akses dokter pribumi untuk sekadar membaca GTNI amat dibatasi,” kata Wahyu Suri Yani kala mempresentasikan risetnya di seminar “The Construction of Indonesian Knowledge Culture since Independence” di UGM pada Rabu, 5 Februari 2020.
Menurut Suri, pembatasan akses ini mempersulit dokter pribumi untuk menambah wawasan. Pasalnya, gaji yang kecil saja sudah membuat para dokter ini kesulitan untuk berlangganan koran.
Sikap diskriminatif ini membuat muak dokter pribumi yang tergabung dalam Vereeniging van Inlandsche Geneeskundingen (VIG), organisasi perkumpulan dokter pribumi yang dibentuk setelah pidato kritis dokter Tehupeiory asal Ambon. Dalam ceramahnya pada Januari 1908, Tehupeiory memprotes anggapan yang meremehkan posisi dokter pribumi atau lulusan STOVIA. Ceramah itu mendorong dibentuknya VIG pada 29 September 1911. (Setelah Kongres Pemuda 1928, kata Inlandsche diganti menjadi Indonesische).
Baca juga:
Lewat VIG, para dokter pribumi memperoleh kekuatan dan posisi tawar. Mereka bersatu untuk memperjuangkan hak mereka dan menentang diskriminasi yang mereka alami, salah satunya akses membaca GTNI. Ketika protes dilancarkan, Bahder Djohan menjabat sebagai sekretaris VIG.
Sama seperti dokter pribumi lain, Bahder pun merasakan perlakukan diskriminatif pemerintah kolonial. “Meskipun pendididkan yang diberikan di Indonesia tidak berbeda dengan di negeri Belanda, namun karena yang memperolehnya itu anak bumi putra, maka Belanda memperlakukannya rendah,” kata Bahder Djohan dalam otobiografinya, Bahder Djohan, Pengabdi Kemanusiaan.
Bahder jauh lebih muda dari Tehupeory. Ia menjadi siswa kedokteran pada 1919 kala Gedung Stovia yang baru di Salemba mulai dibangun. Selain menjadi anggota VIG, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond bersama Muhammad Hatta. Setelah lulus dari STOVIA pada 1927, Bahder bekerja sebagai asisten Prof. Dr. C.D. de Langen di Rumahsakit Sipil Pusat (Centrale Burgelijke Ziekeninrichting, CBZ) sembari aktif dalam kegiatan politik dan VIG.
Dari 1929-1939, ia menjabat sebagai sekretaris VIG di samping mengurus majalah bulanan organisasi, Tijdschrift voor Indonesische Geneeskundingen (TVIG). Ia mengurus artikel yang akan terbit di majalah tersebut sekaligus menangani pengirimannya. Pada malam setelah majalah itu diambil dari percetakan, ia akan meminta bantuan orang-orang di rumah untuk membungkus dan menuliskan alamat dokter-dokter yang akan dikirimi majalah tersebut.
Baca juga:
Bidan Rebut Pendapatan Dokter di Negeri Jajahan
“Keesokan harinya, barulah aku menyerahkan kepada seorang pesuruh untuk mengantarkan majalah-majalah itu ke kantor pos,” kata Bahder. Usahanya ini tak sia-sia. TVIG menjadi jurnal medis produktif yang menampung riset para dokter pribumi. Kehadirannya semacam lawan tanding GTNI.
Bersama VIG, Bahder melancarkan protes dan mengancam, bila akses pada GTNI tidak dibuka luas untuk semua kalangan dokter, mereka akan mengundurkan diri dari ikatan majalah kedokteran secara serentak. Protes ini mendapat dukungan dari guru mereka, de Langen, yang ikut mendesak agar akses pada GTNI dibuka lebih luas. Mardanas Safwan dalam Prof. Dr. Bahder Djohan Karya dan Pengabdiannya menyebut, berkat kegigihan Bahder dan rekan-rekan juga dukungan dari de Langen, peraturan diskriminatif tersebut akhirnya dicabut.
Baca juga:
Kongres Buruh Seluruh Indonesia, Serikat Buruhnya Kaum Sosialis
Sejak akses pada GTNI terbuka, Bahder dan dokter pribumi lain bisa menambah wawasan medis lewat penelitian terbaru yang dipublikasikan. Bahder bahkan mempublikasikan risetnya di jurnal ini pada 1935, bekerjasama dengan De Langen. Dalam artikelnya, Bahder membahas tentang penyakit pellagra yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B3. Ia menjabarkan kasus-kasus pellagra yang ia temui di CBZ, seperti adanya kurang gizi, gangguan kuilt bahkan hingga pengaruhnya ke psikologis pasien. Dalam beberapa kasus yang ditemui Bahder, banyak pasien pellagra meninggal di rumahsakit jiwa. Sementara, De Langen memberi gambaran tentang kemunculan penyakit pellagra di berbagai belahan dunia.
“Pada akhirnya akses ke GTNI dibuka. Dokter pribumi tidak hanya bebas berlangganan tetapi juga bisa menjadi penulis di jurnal itu,” kata Suri.