Masuk Daftar
My Getplus

Hukuman Bagi Pelanggar Karantina di Hindia Belanda

Pemerintah menetapkan denda bagi para pelanggar PSBB. Di era kolonial denda juga diberlakukan kala masa karantina kesehatan.

Oleh: Nur Janti | 16 Apr 2020
Jalanan Jakarta sepi kala karantina kesehatan. (Fernando Ranndy/Historia).

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akhirnya diberlakukan di Jakarta mulai Jumat, 10 April 2020. Aturan tentang PSBB ini tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2020 sebagai upaya memutus penyebaran virus korona.

Kegiatan perkantoran dan sekolah diliburkan. Hanya beberapa sektor yang diizinkan beroprasi, seperti sektor kesehatan, pangan, energi, komunikasi, keuangan, logistik, dan penyediaan kebutuhan sehari-hari.

Transportasi umum tetap beroperasi namun hanya dari pukul 06.00 WIB sampai 18.00 WIB dan kapasitasnya dibatasi menjadi 50 persen. Pembatasan kapasitas angkut ini juga berlaku untuk mobil pribadi. “Dalam satu kendaraan, jumlah penumpang yang bisa naik bersamaan dibatasi. Bila jumlah kursinya untuk enam orang maka maksimal hanya tiga orang, dan semua di dalam mobil wajib pakai masker," kata Gubernur Anies Baswedan seperti dikabarkan Kompas.com.

Advertising
Advertising

Kebijakan tersebut diberlakukan hingga 23 April 2020 namun bisa pula diperpanjang. Masyarakat yang terbukti melanggar aturan PSBB bisa dihukum 1 penjara atau denda hingga Rp100 juta.

Baca juga: 

Menelusuri Riset Virus Korona dan Kelelawar

 

Pemberlakuan hukuman bagi para pelanggar karantina kesehatan juga pernah terjadi di era kolonial. De Sumatra Post 20 Juli 1910 memberitakan, karantina kesehatan diberlakukan di Deli. Seluruh biaya karantina untuk orang yang membutuhkan dibayar oleh pemerintah. Namun, bagi mereka yang melanggar aturan pada kesempatan pertama akan langsung mendapat hukuman berupa denda f2000 atau dua tahun penjara bagi orang Eropa dan dua tahun kerja paksa bagi pribumi.

f2000 akan menjadi jumlah yang sangat besar bagi orang pribumi,” kata Liesbeth Hesselink, penulis buku Healers on the Colonial Market, kala dihubungi Historia.

Pada tahap akhir penjinakan pes, seperti dikisahkan Martina Safitry dalam tesisnya, “Dukun dan Mantri Pes”, hukuman dan denda juga diberlakukan bagi para pelanggar aturan. Besluit No. 4064/52 tanggal 25 April menerangkan bahwa setiap orang harus menjaga kebersihan pekarangan, rumah, dan lingkungannya agar terhindar dari sarang tikus. Bambu utuh dan kotor dilarang digunakan untuk perkakas rumah. Barang-barang harus ditata dengan rapi dan beraturan. Barang siapa yang melanggar peraturan tersebut, akan dihukum berdasar artikel II dalam Staatsblad no. 484 tahun 1916 yakni denda sebanyak f100 atau hukuman penjara 1-6 hari bagi pribumi maupun Eropa.

Kala wabah influenza menyerang Hindia Belanda, aturan karantina beserta hukumannya juga diberlakukan. Dalam Staatsblad tahun 1920 nomor 723 disebutkan wewenang untuk karantina diberikan kepada pejabat kesehatan setempat. Orang dari daerah terjangkit dilarang keluar atau memasuki daerah yang dinyatakan masih sehat.

Baca juga: 

Musabab Koro

 

Bila aturan tersebut dilanggar, hukuman pidana sudah menanti. Setiap orang yang menolak pengawasan dan tindakan karantina diancam kurungan maksimal enam hari atau denda uang maksimal f50. Kepala sekolah atau pengelolanya yang tidak meliburkan sekolah juga akan dijatuhi hukuman serupa.

Kontrol rutin terhadap kondisi kesehatan masyarakat juga digalakkan, khususnya terhadap korban-korban penyakit influenza. Lantaran penyakit ini berasal dari luar negeri, aturan ketat pada kapal-kapal di pelabuhan pun diterapkan.

Orang-orang dari kapal dilarang turun dari kapal karena dikhawatirkan menulari penduduk di pelabuhan dan menyebarkan penyakit di darat. Setiap penumpang kapal yang turun harus menunjukkan bukti bahwa mereka bebas dari influenza. Bila tidak, mereka diperintahkan untuk tetap berada di kapal (bila transit) atau dikarantina terlebih dahulu sebelum diizinkan melanjutkan perjalanan.

Mengingat kapal berada di bawah tanggungjawab nahkoda (kapten kapal), maka pengawasan menjadi tugasnya. Apabila ada penumpang yang melanggar, nahkoda wajib menghukum pelanggar; bila tidak, nahkoda itu sendiri yang akan dihukum pemerintah karena dianggap melalaikan tugas.

Kepala Dinas Kesehatan Rakyat dokter de Vogel, yang tercatat dalam karya Priyanto Wibowo berjudul Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918, merupakan orang yang mengusulkan aturan hukuman bagi pelanggar aturan karantina pada Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum.

Baca juga: 

Kisah Tiga Kapal Pesiar: Olympic, Titanic, dan Britannic

Seorang nahkoda kapal yang didapati melalaikan tanggung jawab terkait karantina kesehatan akan dihukum kurungan maksimal setahun atau denda uang maksimal f2000.

Pandangan de Vogel itu segera menuai protes dari direksi Perusahaan Pelayaran Kerajaan (Koninklijk Paketvaart Maatschappij, KPM). Mereka keberatan bila nahkoda dimintai tanggung jawab untuk mengawasi penumpang atau awak kapal yang turun tanpa izinnya. Terlebih, aturan karantina yang disebutkan de Vogel bukan bagian dari tugas seorang nahkoda, melainkan tugas petugas kesehatan atau bahkan pemerintah setempat.

Pihak KPM kemudian mengusulkan agar tanggung jawab dalam peraturan karantina seharusnya diberikan oleh kepala pelabuhan. Mereka juga menyebut kebijakan tersebut bukan hanya menyulitkan nahkoda dan penumpang tetapi juga akan mematikan aktivitas perekonomian di sekitar pelabuhan.

Baca juga: 

Gelegar Senjata Biologis Cacar

 

De Voogel tetap pada pendiriannya. Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal, dia mengatakan bahwa alasan direksi KPM tentang hambatan aktivitas ekonomi terlalu dibesar-besarkan.

Namun dari aturan karantina kala pandemi influenza tersebut, hanya kalangan pendidikan, perkapalan, dan masyarakat umum yang diancam hukuman apabila tidak mematuhi aturan. “Ancaman seperti itu tidak berlaku bagi dinas kesehatan atau kepala pemerintah daerah yang lalai dalam melaksanakan tugasnya,” tulis Priyanto dalam bukunya.

TAG

corona medis kedokteran wabah psbb lockdown

ARTIKEL TERKAIT

Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Di Balik Operasi Bayi Biru yang Bersejarah Perploncoan dalam Pendidikan Kedokteran Zaman Belanda Koloni Kusta di Teluk Jakarta Ketika Wabah Kusta Melanda Batavia Peran Calon Dokter dari Indonesia Timur dalam Kemerdekaan Dr. Raden Rubini Natawisastra, Pahlawan Nasional dari Kalimantan Barat Jejak J.A. Kaligis, Dokter Hewan Bumiputra Pertama Awal Mula Dokter Hewan di Indonesia