TELEPON Shi Zhengli, virologis yang dijuluki bat woman, berdering. Dari seberang telepon atasannya meminta Shi segera meriset dua sampel pasien yang baru tiba di Wuhan Institute of Virology. Shi yang pada 30 Desember 2019 sedang menghadiri konferensi di Beijing pun langsung kembali ke Wuhan menggunakan kereta.
Sebelumnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Wuhan telah mendeteksi keberadaan novel coronavirus pada dua pasien dengan gejala pneumonia. Sampel dua pasien itulah yang kemudian dikirim ke kantor Shi untuk diteliti. Begitu mendengar hal ini, Shi sempat khawatir bila sumber virus datang dari labnya.
Setelah seminggu berkutat di dalam lab, pada 7 Januari 2020 Shi dan timnya menetapkan bahwa virus korona dari sampel di Wuhan memang menjadi penyebab kesakitan pada pasien. Kesimpulan ini diambil dari hasil analisis reaksi berantai polimerase, sekuensing genom, tes antibodi lewat sampel darah, dan meneliti kemampuan virus menginfeksi sel paru-paru manusia di cawan petri.
Virus baru ini kemudian disebut SARS-CoV-2 karena terkait dengan patogen SARS. Para peneliti menemukan 96 persen genomic sequence virus ini mirip dengan virus corona yang pernah diidentifikasi pada kelelawar tapal kuda di Yunnan. Lebih lagi, strain virus di antara para pasien sangat identik, mengindikasikan bahwa virus berasal dari sumber yang sama dan memungkinkan penularan antar-manusia.
“Temuan ini benar-benar membebani pikiran saya. Aku tidak tidur selama beberapa hari," kata Shi pada Scientific American.
Shi yang sudah 16 tahun meneliti virus pada kelelawar sempat dituduh sebagai penyebab wabah korona. Para penuduh ini mengira wabah di Wuhan disebabkan kebocoran virus dari laboratorium Shi di Wuhan.
Shi kemudian mencari tahu dengan membaca kembali arsip-arsip penelitiannya. Ia mengecek laporan penanganan dan prosedur pembuangan sampel pada penelitiannya beberapa tahun terakhir. Ia bisa bernafas lega ketika mendapati sequence sampel tidak cocok dengan seluruh penelitian Shi sebelumnya.
Berdasarkan studi Shi selama ini, kelelawar jadi inang banyak virus yang bisa menular dari hewan ke manusia. Wilayah selatan China dengan iklim subtropis seperti Guangdong, Guangxi, dan Yunnan, memiliki risiko paling besar terjadinya infeksi virus korona.
Baca juga:
Nama korona diambil karena virus ini memiliki partikel seperti mahkota. Virus ini dapat menyebabkan penyakit pada berbagai hewan (mamalia dan burung) serta manusia. Pada 2002 misalnya, virus serupa pernah menyebabkan pandemi SARS.
Penyebaran virus SARS-Cov bermula di China kemudian menyebar ke bagian lain dunia menginfeksi sekira 8000 orang dengan mortalitas keseluruhan 10% selama pandemi 2002-2003. Sementara MERS-Cov muncul pada 2012 di Timur Tengah lantas menyebar ke 27 negara. Data yang dikemukakan Yi Fan dkk. dalam artikel medisnya “Bat Coronaviruses in China” menyebutkan, hingga September 2018 ditemukan 2249 kasus infeksi MERS yang dikonfirmasi laboratorium dengan angka kematian rata-rata 35,5%.
Selain kedua virus ini, Human Corona Virus (HKU1) juga dapat menyebabkan penyakit pernapasan pada manusia. Dalam risetnya, Yi Fan menemukan SADS-CoV sebagai agen etiologi yang bertanggung jawab atas wabah besar pada babi di China. Wabah ini mengakibatkan lebih dari 20.000 kematian anak babi.
Lebih jauh, virus yang berinang dalam tubuh kelelawar tak terbatas pada jenis korona virus saja. Dalam sejarah, rabies tercatat sebagai virus awal yang ditemukan dalam kelelawar. Dalam Bats and Viruses: A New Frontier of Emerging Infectious Diseases karya Lin-fa Wang and Christopher Cowled, disebutkan bahwa pada 1911 Antonio Carini, dokter Italia yang menjadi profesor bakteriologi dan direktur Institut Pasteur di Sao Paulo, Brazil, menemukan bahwa rabies yang menginfeksi hewan herbivora dapat ditularkan oleh kelelawar.
Baca juga:
Wabah Virus Global yang Mengacaukan Sepakbola
Sementara, catatan tentang rabies yang menginfeksi hewan karnivora sudah ditemukan jauh sebelumnya. Rabies acapkali dikaitkan dengan serigala atau anjing. Menurut George Baer dalam The Natural History of Rabies, pada 2300 SM setiap pemilik anjing di kota Babilon Eshnunna akan didenda berat jika anjingnya menggigit orang hingga menyebabkan kematian. Pada 500 SM, filsuf Yunani Democritus menulis tentang rabies anjing dalam kisah Dewi Lyssa, dewi kemarahan, amuk, dan rabies Yunani. Lyssa dikisahkan membuat anjing-anjing pemburu milik Acteon menjadi gila hingga membunuh majikannya sendiri. Pada 400 SM, Aristoteles menulis bahwa anjing yang menderita kegilaan akan menjadi sangat agresif dan semua hewan yang mereka gigit menjadi sakit.
Kasus rabies pernah dicatat seorang imam Katolik di Mexico pada 1703. Hampir lima dekade kemudian (1750), kasus rabies pada anjing dan babi ditemukan di Barbados. Pada 1804, ilmuwan Jerman Georg Gottfried Zinke menemukan bahwa rabies dapat ditularkan melalui air liur dari anjing-anjing gila. Meski terhitung penyakit tua, obat rabies baru ditemukan pada 1881 oleh Louis Pasteur dan Emile Roux.
Penyakit rabies pada anjing atau srigala diperkirakan merupakan penyakit menular manusia tertua yang diketahui. Namun rabies herbivora yang ditularkan lewat kelelawar baru ditemukan pada awal abad ke-20 lewat penelitian Carini. Temuan Carini diperkuat oleh periset lain yang menarik kesimpulan serupa, seperti Queiroz Lima di Brasil pada 1934 dan Pawan di Trinidad pada 1936.
Riset tentang keterkaitan kelelawar dan virus juga dilakukan oleh dokter Harald Johnson. Pada 1954 Johnson meneliti virus rabies pada koloni kelelawar di California. Johnson menjaring kelelawar jenis Tadarida brasiliensis mexicana. Dari situlah ia meneliti “virus kelenjar ludah kelelawar” (demikian Johnson menyebutnya) namun kemudian lebih dikenal sebagai virus Rio Bravo, nama sekolah tempat kelelawar itu dikurung. Virus Rio Bravo termasuk jenis Flavivirus (familia Flaviviridae, genus Flavivirus) yang bisa menyebabkan demam, demam kuning, dan penyakit zika. Temuan Johnson ini jadi virus non-rabies pertama yang diakui berasal dari kelelawar. Johnson menemukan jenis virus ini terdapat pada kelelawar di California, Texas, New Mexico, Negara Bagian Sonora Meksiko, dan Trinidad.
Baca juga:
Gelegar Senjata Biologis Cacar
Di India, riset virus pada kelelawar dilakukan peneliti Rajagopalan pada dekade 1960-an. Ia dan rekannya mengisolasi virus penyakit Hutan Kyasanur atau demam uang yang berasal dari kelelawar pemakan serangga. Rajagopalan dan timnya juga mengisolasi virus West Nile dari kelelawar buah.
Pada tahun 1970, subtipe Venezuelan Equine Encephalitis Viruses (VEEV) diisolasi dari kelelawar vampir yang ditangkap di Meksiko selatan. Virologis Yale University Gregory H. Tignor dan timnya menemukan bahwa virus Duvenhage dan virus lyssa disebarkan oleh kelelawar pemakan serangga di Afrika Selatan.
Studi keterkaitan kelelawar sebagai inang virus terus berjalan. Pada 1981, virus Sindbis diisolasi dari kumpulan kelelawar daun bundar di Zimbabwe. Dari hasil penelitian itu dideteksi adanya kemungkinan virus chikungunya dari kelelawar di China.
Kenapa Kelelawar?
Sebagian besar keluarga virus korona dapat ditemukan pada kelelawar. Bahkan koeksistensi lebih dari dua virus dalam satu kelelawar cukup umum ditemukan. Analisis komprehensif dari hubungan virus dengan mamalia sebagai inang menunjukkan bahwa kelelawar memiliki proporsi virus zoonosis jauh lebih tinggi daripada hewan lain.
Spesies virus korona, misalnya, banyak ditemukan pada kelelawar dengan genetik virus yang beragam. SARS -CoV dan SADS-CoV misalnya, meski diketahui ditularkan dari kelelawar ke manusia atau babi, detil rute penularannya tidak diketahui.
Baca juga:
Keris Sakti dan Pagebluk Corona
Kelelawar dapat mempertahankan CoV jangka panjang tanpa menunjukkan gejala penyakit. Kemampuan terbang mereka meningkatkan kemungkinan hidup berdampingan dengan virus. Sementara kemampuan migrasi kelelawar memiliki relevansi khusus dalam konteks penularan penyakit.
Model imunitas kelelawar yang unik dan interferon kelelawar yang dapat melindungi dari infeksi, memungkinkan kelelawar memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap penyakit virus. Para peneliti menduga, kelelawar barangkali inkubator ulung berkat sistem kekebalan tubuh yang sangat efektif dan kuat. Sistem itu pula yang tampaknya melatih strain virus untuk beradaptasi dan berevolusi menjadi menjadi lebih ganas dan semenular mungkin.
Seperti dikabarkan Science Alert, mekanisme bertahan hidup kelelawar dari virus tentu bagus untuk spesies hewan itu sendiri, tapi tidak untuk spesies lain. Pasalnya, ketika virus berhasil melompat dari kelelawar ke jenis binatang lain, termasuk manusia, respons kekebalan si penerima tidak sanggup melawan kelincahan patogen yang sangat mudah menular.
Namun tak selamanya kelelawar kebal virus. Dalam sebuah eksperimen, virus Tacaribe terbukti menyebabkan infeksi fatal pada kelelawar buah Jamaika. Percobaan ini menunjukkan bahwa kelelawar buah Jamaika bukan inang reservoir alami dari virus Tacaribe.
“Sementara kita mulai mengungkap misteri imunitas kelelawar yang unik, masih ada jalan panjang sebelum kita dapat sepenuhnya memahami hubungan antara kelelawar dan virus korona,” tulis Yi Fan.