Cuaca kota Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) pada akhir Juli 103 tahun silam panas terik. Puncak suhunya bisa mencapai 35 derajat Celcius.
Bagi orang-orang yang ekonominya berlebih, itu bisa sedikit diatasi dengan membeli kipas angin. Barang yang masih tergolong mewah itu harganya masih tinggi di pasaran. Orang-orang berekonomi pas-pasan apalagi kurang, yang menjadi mayoritas penduduk kota terbesar di Negara Bagian Illinois, Amerika Serikat (AS) itu, jelas tidak mampu memilikinya.
Untuk menyiasatinya, tiada yang lebih baik dari keluar rumah. Ada lebih dari 80 taman di sekitar pantai yang –bukan pesisir laut tapi pinggiran Danau Michigan yang luasnya lebih dari 50 ribu kilometer persegi– bisa disambangi untuk sekadar mendapat kesejukan di tengah suhu udara yang panas dan lembabnya amat tinggi itu.
Keluar rumah itu pula yang dipilih John Turner Harris, remaja kulit hitam berusia 14 tahun, pada 27 Juli 1919. Bersama empat rekannya yang kebetulan semua bernama belakang William –Charles, Eugene, Lawrence, dan Paul–, Harris membuat rencana ke pantai. Banyak aktivitas main air selain berenang bisa dilakukan di sana untuk menghabiskan sore.
Mereka bertemu di dekat rumah Harris, sekira empat kilometer dari pantai yang direncanakan untuk dikunjungi, pada jam dua siang. Setelah berjalan kaki, mereka menumpang truk pengangkut hasil alam. Begitu turun dari truk di 26th Street, mereka kembali berjalan kaki. Dalam perjalanan itu, mereka sempat ditimpuki batu oleh sekelompok pemuda kulit putih anggota geng tak jauh dari jalur keretaapi.
“Geng-geng ini, yang terdiri dari remaja kulit putih dan pria muda dua puluh tahun-an, banyak di antara mereka yang paling kasar adalah keturunan Irlandia, telah meneror orang kulit hitam selama bertahun-tahun,” tulis sejarawan William M. Tuttle dalam Race Riot: Chicago in the Red Summer of 1919.
Baca juga: Ketika Ibukota Amerika Diduduki Kelompok Hanafi
Para remaja kulit hitam itu tidak melawan. Mereka pilih mempercepat jalan hingga agak berlari dan memilih jalur yang sepi. Akhirnya, mereka sampai di pantai di 26th Street. Rasa gembira menimbun ketakutan yang mereka alami sebelumnya. Di pantai yang sepi itu, rakit yang mereka buat sendiri telah menunggu untuk dimainkan.
“Pada hari Minggu musim panas yang malas di tahun 1919, John Harris yang berusia empat belas tahun dan teman-temannya berangkat untuk menikmati sore menyenangkan dan mengatasi panas di pantai. Pada hari Juli yang menentukan itu, permainan air anak laki-laki menjadi sangat salah, memicu kerusuhan ras berlumuran darah yang akan mengguncang kota Chicago dan mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh negeri,” tulis Claire Hartfield, penulis sejarah, dalam A Few Red Drops: The Chicago Race Riot of 1919.
Chicago memang dikenal lebih baik dalam keseteraan rasial dibanding banyak kota lain di AS, terutama kota-kota di selatan. Banyak tempat umum di Chicago tidak dipisahkan oleh aturan pembagian berdasarkan ras. Tidak ada tulisan “Khusus orang kulit putih” atau “Untuk orang kulit berwarna” di pantai atau bioskop sekalipun. Namun, bukan berarti pemisahan berdasarkan ras tidak ada di Chicago.
“Banyak tempat yang dipisahkan, dengan ras yang dipisahkan oleh garis tak terlihat. Pantai-pantai tersebut seperti itu,” sambung Claire.
Pemisahan memicu gesekan antara orang kulit putih dan terutama orang kulit hitam yang mayoritas tinggal di kawasan “Black Belt”, terletak di bagian selatan kota Chicago. Black Belt mengelilingi pusat kota yang menjadi tempat tinggal penduduk kulit putih. Lantaran bersebelahan, persaingan memperebutkan pekerjaan dan tempat tinggal pun terjadi.
Gesekan kian keras usai Perang Dunia I. Banyak veteran berkulit hitam yang baru pulang perang menganggap pengorbanan mereka bertaruh nyawa di palagan bisa mengantarkan mereka mendapat hak-hak yang sebelumnya hanya mimpi akibat adanya diksriminasi rasial.
“Di Amerika Serikat, banyak orang –termasuk keluarga kulit hitam dengan tentara yang kembali– sangat berharap 1919 akan mengantarkan era baru perdamaian, kemakmuran, dan kebebasan. Tentara dan pekerja kulit hitam percaya bahwa partisipasi mereka dalam upaya membuat dunia aman bagi demokrasi telah memberi mereka hak yang sama yang telah dijanjikan dalam Konstitusi sejak berakhirnya Perang Saudara,” tulis jurnalis Cameron McWhirter dalam Red Summer: The Summer of 1919 and the Awakening of Black America.
Namun, harapan mereka ternyata tinggal harapan.
“Orang Afrika-Amerika tidak menerima sambutan seperti itu, meskipun mereka bertugas di Prancis. Hukuman mati tanpa pengadilan dan pembakaran Gereja Baptis Carswell Grove terbukti menjadi racun kerusuhan anti kulit hitam dan hukuman mati tanpa pengadilan yang akan melanda bangsa dari April hingga November 1919, ketika kerusuhan rasial bergulir di Selatan, Utara, Midwest, dan ke ibu kota negara,” sambung McWhirter.
Baca juga: Nasib Serdadu Hitam Paman Sam
Gesekan-gesekan terus membesar dan meluas. Di Chicago, praktik teror terhadap orang-orang kulit hitam makin intens sejak pra-paruh kedua tahun 1919. Geng-geng kulit putih makin percaya diri untuk menyerang orang-orang kulit hitam akibat adanya “dukungan” aparat kepolisian dan pemerintah yang mayoritas berkulit putih.
“Selama berminggu-minggu, pada musim semi dan musim panas 1919, mereka telah mengantisipasi, bahkan dengan tidak sabar menunggu, sebuah kerusuhan rasial. Pada beberapa kesempatan, mereka berusaha untuk mempercepatnya, dan sekarang setelah kekerasan rasial mengancam akan digeneralisasi dan tidak terkendali di seluruh Chicago, mereka siap untuk mengeksploitasi kekacauan,” tulis M. Tuttle.
Praktik diskriminatif juga mencapai pantai. Kendati tidak ada aturan formal atau pengumuman tertulis, ada pantai yang diperuntukkan khusus untuk orang kulit putih dan ada pula yang diperuntukkan pada orang-orang kulit berwarna. Maka ketika pada 27 Juli 1919 empat orang berkulit hitam secara tidak sengaja masuk ke pantai di 29th Street, yang diperuntukkan bagi orang kulit putih, mereka langsung diusir dan bahkan ditimpuki dengan batu.
Meski tidak melawan dan keluar, mereka kemudian kembali ke pantai tak lama kemudian dengan massa yang besar. Lemparan batu balasan segera menyasar orang-orang kulit putih di pantai tadi. Ibu-ibu langsung membawa anak-anak mereka lari melindungi diri.
Tak jauh dari pantai tempat bentrok kulit hitam-kulit putih berlangsung, Harris dan kawan-kawannya asyik memainkan rakit mereka, lalu berenang, “adu” mengambang, dan menyelam dekat rakit mereka di perairan pantai 26th Street. Mereka sampai tidak sadar bila rakit mereka telah melewati garis batas imajiner yang memisahkan pantai 26th Street –yang diperuntukkan bagi orang kulit berwarna– dengan 29th Street. Akibatnya, para remaja kulit hitam itu juga ditimpuki.
Lantaran tidak sadar "melanggar batas", mereka justru menikmati serangan itu. Tiap timpukan dari orang-orang kulit putih mereka respon dengan meloncat ke air. “Satu orang berkata, ‘Awas, ini dia,’ dan kami akan merunduk. Itu menyenangkan,” kata Harris.
“Permainan” berbahaya itu akhirnya berakhir ketika sebuah batu menghantam dahi Eugene yang baru muncul dari dalam air. Eugene langsung tenggelam. Kawan-kawannya langsung menyelam guna mencari dan memberi pertolongan. Harris yang melihat Officer Callahan, polisi berkulit putih yang berjaga di pantai 29th Street, langsung meminta aparat agar pelaku penimpukan ditangkap. Namun, permintaan itu ditolak Callahan.
Sejam kemudian, tubuh Eugene ditemukan. Dia telah kehilangan nyawanya. Orang-orang kulit hitam yang marah pun membulatkan tekad untuk melawan.
Hal itulah yang telah lama dinantikan geng-geng dan klub-klub atletik kulit putih seperti Ragen Colts, Our Flag, Sparklers, dan Dirty Dozen. Maka mereka tak ingin kecolongan.
“Tak lama setelah tubuh Eugene Williams diangkat ke permukaan Danau Michigan, ‘klub-klub atletik’ Chicago dimobilisasi untuk beraksi,” tulis sejarawan M. Tuttle.
Kerusuhan rasial pecah di Chicago hari itu juga. Saling serang terjadi antara kedua belah pihak. Banyak rumah orang kuit hitam dibakar.
"Banyak rumah orang Negro di distrik campuran diserang, dan beberapa di antaranya dibakar. Perabotan dicuri atau dihancurkan. Ketika perampok diusir, mereka akan kembali lagi dan lagi sampai desain mereka selesai," demikian The Chicago Commission on Race Relations melaporkannya dalam The Negro in Chicago: A Study of Race Relations and A Race Riot.
Baca juga: Kekerasan Rasial Tulsa 1921
Sempat tenang sesaat, keesokannya bentrok kembali terjadi. Oscar Dozier, pekerja kulit hitam yang bekerja di dekat permukiman kulit putih, harus menanggung akibatnya ketika hendak pulang usai shift sorenya berakhir. Dalam perjalanan, dia bertemu sekelompok pemuda kulit putih yang lalu meneriaki dan mengejarnya. Dozier langsung berlari. Namun setelah melewati empat blok, dia kelelahan. Dia akhirnya ditangkap seorang pemuda kulit putih, dijatuhkan ke trotoar, dan ditikam berulangkali dadanya. “Dia mati kehabisan darah di jalan,” sambung M. Tuttle.
Di tempat lain, John Mills juga mengalami nahas ketika pulang usai kerja di gudang peternakan pukul 6 petang. Trem yang dinaikinya dikepung 50 pemuda kulit putih ketika baru melewati beberapa blok di 47th Street. Salah satu pemimpin massa pun naik ke atas.
“Mills dan lima pria kulit hitam lain, yang tahu pasti bahwa mereka adalah objek yang dibenci dari serangan ini, melompat dari kereta dan mulai berlari. Inti dari massa, yang sekarang diikuti oleh hampir 2.000 penonton antusias, melakukan pengejaran. Mills dipukul oleh penyerangnya dan dipukul sampai mati, tengkoraknya retak.”
Berbeda dari orang-orang kulit putih yang memang agresif, orang-orang kulit hitam umumnya hanya bertahan, defensif. Mereka mengandalkan sniper-sniper yang merupakan vetaran Perang Dunia I. Maka banyak keluarga kulit hitam hanya pasrah ketika rumah mereka diserang.
Kerusuhan baru mulai reda pada hari kelima, setelah aparat bersenjata dari Garda Nasional diturunkan. Akibat kerusuhan itu, 38 orang –23 kulit hitam dan 15 kulit putih– kehilangan nyawa dan 500-an terluka. Antara 1000-2000 orang kehilangan rumah karena dibakar atau dihancurkan.
“Kemarahan tidak muncul begitu saja di pantai itu. Sudah lama datang, lahir di era awal kota, ditulis dalam interaksi sehari-hari yang tak terhitung jumlahnya dari warga biasa dan pemimpin kota. Migran kulit hitam dari Selatan bentrok dengan imigran kulit putih dari Eropa; buruh dan pemimpin serikat berjuang untuk bertahan melawan industrialis perkasa; petugas polisi dan anggota geng berusaha untuk mengendalikan jalan-jalan; Anggota dewan dari Partai Demokrat dan seorang walikota dari Partai Republik saling berhadapan karena patronase dan kekuasaan. Ini adalah kisah tentang kepentingan mereka yang saling bertentangan yang dibangun dari waktu ke waktu, lapis demi lapis, akhirnya meledak dalam pertumpahan darah di jalan-jalan kota. Itu juga cerita Amerika,” tulis Claire.