SAAT tiba di Jawa pada 1811, John Crawfurd, dokter berkebangsaan Inggris, disambut wabah cacar. Menurutnya, penyakit cacar telah menimbulkan kekacauan luar biasa di kalangan pribumi. Di Pekalongan, cacar menyerang tiap dua-tiga tahun sekali, sementara di Surakarta dan Yogyakarta cacar menjadi penyakit paling mengkhawatirkan sebelum 1820. Dari seluruh anak yang lahir di Yogyakarta pada 1820-an, 10 persen di antaranya meninggal karena cacar.
Cacar sudah ditemukan di Jawa sejak awal abad ke-17. Pernyakit tersebut diperkirakan masuk ke Jawa melalui Batavia pada 1644. Kasus cacar kemudian makin parah dan mewabah lantaran belum mutakhirnya obat dan kelangkaan jumlah tenaga medis. Pada abad ke-18, penyakit cacar sudah menyerang Priangan, Bogor, Semarang, Banten, dan Lampung.
Diperkirakan ada 100 penduduk Jawa terserang cacar pada 1781, 20 di antaranya meninggal dunia. Virus ini rentan menyerang bayi yang daya tahan tubuhnya masih rendah. Pada akhir abad ke-18 tingkat kematian bayi karena cacar di Bogor dan Priangan mencapai 20 persen.
Baca juga: Awas Cacar Monyet
Intensitas serangan cacar makin naik pada abad ke-19 hingga memunculkan temuan bahwa pada masa tertentu, suatu penyakit akan muncul (siklis). Di beberapa daerah, cacar muncul tiap tujuh tahun sekali. Di Pekalongan, cacar muncul dua tahun sekali di mana terjadi puncak-puncak wabah pada 1820, 1835, 1842, 1849, 1862, dan 1870. Dari 1019 bayi yang lahir, setidaknya 102 yang meninggal akibat cacar. Tingkat kematian akibat cacar pada anak di bawah 14 tahun juga tinggi, antara 10-30 persen.
Usaha penanggulangan cacar pun sudah dilakukan sejak penyakit ini muncul. Sebelum vaksin ditemukan, variolasi jadi langkah medis pertama untuk pencegahan dan penanganan cacar. Variolasi dilakukan dengan menginfeksi pasien dengan virus cacar berkadar ringan. Tubuh pasien yang terpapar cacar ringan akan membangun antibodi yang menghindarkan pasien dari penyakit cacar parah yang mematikan.
Percobaan pertama variolasi dilakukan dokter muda J van der Steege kepada 13 pasien cacar, beberapa di antaranya anak-anak, di Batavia pada 1779. Hingga 1781, 100 penderita cacar telah divariolasi di Batavia. Namun risiko penyembuhan dengan metode tersebut juga tinggi, mulai dari bekas luka borok parah hingga meninggal dunia akibat tak cukup kuatnya daya tahan tubuh pasien.
Baca juga: Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi
Vaksin cacar yang ditemukan pada akhir abad ke-18, baru digunakan di Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Vaksin cacar pertama tiba di Batavia pada Juni 1804 dengan diangkut kapal Elisabeth dari Pulau Isle de France. Sebelum sampai ke Batavia, vaksin ini dibawa dari pusat pengembangan vaksin di Jenewa, kemudian dikirim ke Baghdad dan Basra, lalu singgah ke India. Dari India, vaksin ini dibawa ke Isle de France lalu diteruskan ke Hindia.
Begitu diterima di Batavia, vaksin langsung dikirim ke Surabaya, Semarang, Jepara, Surakarta, dan Yogyakarta. “Upaya vaksinasi cacar besar-besaran dilakukan pada masa pemerintahan Raffles dengan memperluas daerah operasi di luar daerah Surabaya, Semarang, dan Batavia,” tulis Baha’Udin dalam “Dari Mantri hingga Dokter Jawa” yang dimuat dalam Humaniora Oktober 2006.
Namun, adanya vaksin belum mengatasi masalah lantaran kurangnya dokter yang bertugas menyembuhkan sekaligus mendistribusikan vaksin. Akibatnya, ketika wabah cacar menyerang Banyumas pada 1847, pemerintah kolonial kelimpungan. Wabah itu menewaskan buruh-buruh pekerja perkebunan, yang mengganggu perekonomian Hindia. Keadaan makin sulit karena adanya interaksi antara para buruh dengan tuan tanah atau mandor yang mengakibatkan orang kulit putih khawatir tertular cacar.
Baca juga: Martir Dunia Kedokteran
Lantaran cepatnya virus cacar menyebar, pemerintah kolonial mengirim banyak dokter yang semua orang Belanda ke berbagai daerah. Namun jumlahnya tetap tak memadai, terlebih ditambah dengan banyaknya dokter yang enggan ke pelosok dan memilih menetap di kota. Para pribumi di kampung pun banyak yang meninggal akibat cacar.
Untuk menanganinya, pemerintah lalu mendirikan Sekolah Dokter Djawa di Batavia pada 1851. Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan dengan masa studi 2 tahun dan 17 mata pelajaran yang disampaikan dengan bahasa Melayu itu. Para murid tinggal di asrama.
“Alasan utama dibukanya Sekolah Dokter Jawa ialah dibutuhkan tenaga untuk memberikan vaksinasi atau menjadi vactinateur cacar. Penyakit cacar masih jadi masalah besar yang bisa merenggut nyawa kala itu. Penyakitnya menular sampai ke desa-desa sementara tenaga medis belum memadai,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1960-an.
Baca juga: Akar Historis Penyakit Sifilis
Pada tahun pertama pembukaannya, hanya ada 12 siswa yang mandaftar. Jumlah itu naik tahun berikutnya jadi 11 siswa. Setelah 5 tahun berjalan, sekolah ini sudah mencetak 23 dokter jawa yang bertugas sebagai mantri cacar.
Sementara, untuk memudahkan distribusi vaksin ke Hindia, pada 1870 pemerintah Belanda mendirikan perhimpunan produsen dan distributor vaksin cacar. Tiap 2-3 bulan sekali vaksin cacar dikirim dari Amsterdam, Rotterdam, Utrech, dan Den Haag. Sejak itu, penyakit cacar tak seganas di masa sebelumnya.