Masuk Daftar
My Getplus

Akar Historis Penyakit Sifilis

Penyakit yang tetap sakti meski rezim berganti. Dan mungkin bertahan hingga akhir zaman.

Oleh: Aryono | 31 Mei 2016
Iklan penisilin untuk mengobati penyakit sifilis. Foto: wikipedia.

MEMELIHARA gundik dan mencumbu pelacur, menjadi dua gaya hidup yang tumbuh di dalam tangsi-tangsi militer kolonial sejak paruh pertama abad XIX. Gundik dipelihara oleh tentara berpangkat, sementara prajurit kelas kroco cukup jajan di lokalisasi sekitar tangsi. Maka tak heran, penyakit kelamin merebak saat itu.

“Saya berani mengatakan 90 persen dari yang terinfeksi penyakit kelamin berasal dari kalangan tentara beserta pejabatnya,” tulis Gani A. Jaelani dalam Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942.

Biasanya, serdadu mengeluhkan timbulnya bisul-bisul. Setelah terdeteksi terkena sifilis, mereka harus membuat penyataan dengan perempuan mana dia berhubungan, dan dianjurkan rutin melakukan perawatan. Serdadu yang positif sifilis dibebaskan dari tugas berat atau tidak dimasukkan dalam sebuah ekspedisi.

Advertising
Advertising

“Hal ini tentu mengerikan. Tentara kan garda terdepan pemerintah kolonial di tanah jajahan. Jika banyak serdadu yang sakit sifilis, tentu saja mengurangi jumlah tentara yang ada,” ujar Agus Setyawan, sejarawan Universitas Indonesia.

Karena sifilis merebak kalangan militer, pemerintah pun mencari cara memeranginya.

Pada 15 Juli 1852, Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist mengeluarkan peraturan untuk mengatasi berbagai akibat pelacuran yang merugikan.

Menurut Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial, yang diterbitkan Arsip Nasional Republik Indonesia, peraturan itu memuat tiga hal penting. Pertama, anggaran tahunan dari direktur jenderal keuangan sebesar f20.000 untuk menanggulangi penyakit sifilis. Kedua, memerinci aturan prostitusi untuk menangkal aspek berbahayanya. Ketiga, peraturan ini hanya berlaku di beberapa daerah tertentu.

Selain regulasi, pemerintah juga mendirikan rumah sakit khusus penyakit kelamin, seperti di Kudus (Semarang), Madiun dan Bogor pada 1858, serta di Cianjur (Priangan) pada 1854. Demikian pula dengan penyediaan personil medis, baik dokter Eropa atau dokter pribumi.

Pada 1 November 1910, Departemen Pendidikan, Keagamaan, dan Industri (Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid) membuat laporan yang menganjurkan keterlibatan pemerintah dalam pemeriksaan kesehatan pelacur dihentikan. Dan tahun berikutnya, pemeriksaan kesehatan pelacur berhenti dan rumah sakit kelamin ditutup.

Saat Belanda hengkang 1942, sifilis masih bercokol dan terus bertumbuh. Pemerintah Indonesia yang baru merdeka tak menutup mata tentang penyakit kelamin tersebut. Pada 1951, Departemen Kesehatan mendirikan Lembaga Pusat Penjelidikan dan Pemberantasan Penjakit Kelamin (LP4K) yang dikomandani Soetopo, mantan menteri Kesehatan era kabinet Abdul Halim, yang terletak di Jalan Indrapura-Surabaya. Lembaga ini menjalankan peran preventif, penyuluhan, penelitian, dan pendidikan tentang penyakit kelamin.

LP4K melakukan serangkaian penelitian untuk mengumpulkan data penyebaran sifilis. Selama 1952 hingga 1957, LP4K memeriksa 3.054 anggota kepolisian di Surabaya dan 4.570 anggota Angkatan Darat. Hasilnya, tulis Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia jilid 2 yang diterbitkan Departemen Kesehatan, 21,5% polisi dan 33% personil Angkatan Darat menderita penyakit kelamin.

Memasuki era Orde Baru, sifilis tetap mengancam. Pemerintah berupaya mencegah penularannya dengan pengobatan massal gratis, yaitu menyuntikkan 3 mililiter penisillin aluminium monostearate (PAM) kepada setiap penghuni lokalisasi, rutin seminggu sekali. Pengobatan massal dihentikan pemerintah pusat pada 1987 karena keterbatasan anggaran. Departemen Kesehatan menganjurkan setiap kepala daerah yang terdapat lokalisasi tetap melaksanakan program tersebut dengan penyandang dana lain. Selain dengan suntikan penisilin, pemerintah juga giat mewartakan penggunaan kondom sebagai salahsatu upaya membendung penyakit kelamin.

Menurut buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia jilid 3, pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, terdapat 81 kabupaten yang melaksanakan pemberantasan penyakit kelamin. Selama Pelita I, terdeteksi 100.000 orang terkena penyakit kelamin dan dilakukan tindakan pencegahan terhadap 20.000 sumber penularan.

Sejak 1986 sampai 1988, tulis Hartadi dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Universitas Diponegoro berjudul “Prospek Penyakit Menular Seksual di Indonesia dalam Kaitannya dengan Era Globalisasi” tahun 1992, terdapat tujuh urutan Penyakit Menular Seksual (PMS) dilihat dari jumlah penderitanya. Sifilis berada di urutan buncit, sedangkan di urutan teratas adalah Non Spesifik Urethritis (NSU) semacam infeksi pada daerah genital yang tidak disebabkan kuman spesifik.

 

 

TAG

penyakit kelamin sejarah

ARTIKEL TERKAIT

Pengawal Raja Charles Dilumpuhkan Orang Bali Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Komponis dari Betawi Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Lomba Bercocok Tanam di Masa Silam God Bless di Mata Roy Jeconiah Jenderal Orba Rasa Korea Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Memilih dengan Menulis atau Mencoblos Pelaut Madura dalam Sejarah Indonesia