MALNUTRISI membayangi masyarakat Indonesia sejak lama. Di masa Orde Baru, bahaya kekurangan vitamin A, yang dapat menurunkan daya tahan tubuh dalam menghadapi beragam penyakit hingga berkontribusi pada meningkatnya angka kematian, mendorong diberlakukannya pembagian pil vitamin A khususnya kepada anak-anak. Selain mendistribusikan suplemen, pemerintah juga mengembangkan fortifikasi pangan atau penambahan zat gizi makro atau mikro pada makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat.
Peneliti vitamin A, Alfred Sommer dan Keith P. West menulis dalam Vitamin A Deficiency: Health, Survival, and Vision, pada akhir tahun 1970-an, survei nasional di Indonesia menyelidiki makanan yang potensial untuk fortifikasi vitamin A. Salah satunya adalah monosodium glutamate (MSG). Ada beberapa faktor yang membuat MSG dilirik sebagai “kendaraan” untuk fortifikasi vitamin A. Penyedap rasa ini telah umum digunakan oleh masyarakat di berbagai daerah, sehingga MSG yang difortifikasi akan menjangkau sasaran yang lebih luas, tak hanya anak-anak ataupun masyarakat di wilayah yang rentan terhadap kekurangan vitamin A.
Selain itu, MSG diproduksi secara terpusat, hanya ada dua perusahaan yang melakukannya. Dalam penelitian dan uji coba yang diperluas, tingginya jumlah konsumen penyedap rasa memungkinkan untuk menyebarkan biaya produksi MSG yang difortifikasi vitamin A ke seluruh produksi MSG yang dikonsumsi. Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan untuk membeli MSG yang difortifikasi dapat dikurangi hingga separuhnya –mengingat sasaran utama MSG yang difortifikasi adalah kalangan menengah bawah, harga yang murah akan lebih mudah untuk menarik minat masyarakat.
Baca juga:
Jalan Panjang Memperbaiki Gizi Rakyat Indonesia
Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang mengembangkan fortifikasi vitamin A dengan memanfaatkan MSG. Filipina disebut sebagai pelopor karena lebih dulu melakukan penelitian dan pengembangan fortifikasi vitamin A melalui MSG. “Yang menarik, dua negara ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat yang mirip terhadap MSG. Sebuah keluarga biasanya membeli dua sachet kecil penyedap rasa per hari, hal ini membuat MSG menjadi kandidat yang menarik untuk fortifikasi. Walaupun roti, biskuit, dan garam dapur juga hampir secara universal dikonsumsi oleh anak-anak; namun, makanan-makanan itu tidak diproses secara terpusat atau sulit untuk difortifikasi dengan vitamin A,” tulis Sommer dan West.
Meski begitu, pemilihan MSG sebagai “kendaraan” untuk fortifikasi vitamin A memicu kontroversi di Indonesia. Dalam Prevention of Micronutrient Deficiencies: Tools for Policymakers and Public Health yang disusun oleh Institute of Medicine, Committee on Micronutrient Deficiencies dilaporkan, banyak profesional yang skeptis terhadap keamanan konsumsi MSG oleh anak-anak sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat, kendati mereka mengakui perlunya menyediakan vitamin A untuk anak-anak miskin. Namun, proyek percontohan ini, bekerjasama dengan produsen besar di sektor swasta yang cukup berhati-hati, terus berjalan dengan harapan program nasional akan dapat dicapai dengan cepat. Bersamaan dengan evaluasi pilot project di lapangan, pertanyaan-pertanyaan tentang keamanan juga dibahas untuk meredakan kekhawatiran profesional dan politis.
Para peneliti di lembaga penelitian gizi nasional menemukan bahwa fortifikasi MSG secara teknis dapat dilakukan dan relatif mudah. Penambahan vitamin A tidak terlalu mengganggu karakteristik produk dan dapat diproduksi secara massal. Hasil penelitian menunjukkan MSG yang difortifikasi mampu meningkatkan kadar retinol dalam darah. Secara khusus, anak-anak dan wanita hamil mendapat manfaat yang lebih besar dari fortifikasi MSG. Uji coba di masyarakat dengan intervensi yang terkendali juga menunjukkan produk penyedap rasa yang difortifikasi vitamin A dapat diterima, terjangkau, dan cukup efektif secara biologis.
Menurut sosiolog Aya Hirata Kimura dalam Hidden Hunger: Gender and the Politics of Smarter Foods, pada akhirnya bukan kesadaran bahwa makanan yang “tidak sehat” dapat dibuat menjadi “sehat” dengan fortifikasi yang menghentikan proyek MSG menjadi kenyataan. Kendala terbesar yang membuat upaya ini pupus di tengah jalan adalah penentangan dari industri MSG, yang tidak menyukai perubahan warna MSG yang difortifikasi. Ketika MSG yang telah difortifikasi digantung dalam kemasan plastik kecil di toko-toko kecil di pedesaan maka perubahan warna pun terjadi. Warna kekuningan yang dihasilkan tidak dapat diterima oleh produsen, yang telah memasarkan MSG sebagai produk dengan warna putih yang khas.
Baca juga:
Dari Swasembada Beras ke Swasembada Pangan
Patricia A. Murphy menulis dalam “History of Technology Development for Vitamin A Fortification of Foods in Developing Countries”, termuat di Food Fortification, Technology and Quality Control: Report of an FAO Technical Meeting, Rome, Italy, 20-23 November 1995, produsen MSG dan pejabat pemerintah menetapkan warna MSG yang difortifikasi dengan vitamin A tidak boleh berbeda dengan warna MSG yang tidak difortifikasi. Oleh karena itu, meski berbagai upaya telah dilakukan untuk membuat penyedap rasa yang difortifikasi itu memiliki warna khas MSG, yakni putih bersih, perubahan warna yang terjadi tidak dapat ditoleransi.
“Uji coba lapangan bersamaan dengan MSG yang difortifikasi CP 8710xx dalam kemasan komersial menunjukkan reaksi perubahan warna pada penyedap rasa terjadi saat kemasan disimpan dalam kondisi lingkungan Indonesia dalam waktu kurang dari 2 bulan dan dipercepat oleh sinar matahari. Perubahan warna pada seluruh isi kemasan terjadi lebih cepat di tempat yang lebih rendah dan lembab –seperti Jakarta– dibandingkan dengan tempat yang memiliki kelembaban lebih rendah di tempat yang lebih tinggi –contohnya Bogor. Pada saat itu tidak jelas mengapa perubahan warna menjadi kecoklatan terjadi,” tulis Murphy.
Sementara mengubah kemasan MSG dianggap bukan pilihan, para peneliti mulai mengevaluasi lapisan yang digunakan dalam produksi MSG yang difortifikasi. Mengingat kelembaban di Indonesia cukup tinggi, maka diputuskan menggunakan bahan pelapis yang lebih kedap air untuk bertahan di iklim Indonesia. Penyempurnaan MSG yang difortifikasi membuat pelaksanaan program fortifikasi pangan membutuhkan waktu lebih lama untuk diterapkan secara nasional. Hal ini juga berdampak pada meningkatnya jumlah biaya untuk pengembangan dan penelitian. “Meskipun telah dilakukan upaya selama lebih dari 15 tahun untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, program nasional tidak tercapai. Indonesia telah beralih ke ‘kendaraan’ lain seperti mi instan dan margarin,” tulis Institute of Medicine, Committee on Micronutrient Deficiencies.
Terlepas dari kegagalan proyek MSG, para ahli gizi tetap memilih fortifikasi untuk mengatasi malnutrisi. Sementara upaya mengatasi kekurangan vitamin A dilakukan dengan pemberian suplemen, target berikutnya untuk fortifikasi pangan adalah zat besi. Kimura menyebut setelah proses pencarian bahan makanan, para peneliti memutuskan mi instan sebagai “kendaraan” terbaik untuk fortifikasi zat besi. Mereka bereksperimen dengan fortifikasi zat besi pada mi instan di tahun 1991.
“Percobaan itu berhasil, tanpa gangguan teknis. Para peneliti melanjutkan dengan melakukan penelitian di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan yang menunjukkan mi instan dikonsumsi oleh hampir semua rumah tangga di kedua daerah tersebut. Temuan lainnya adalah masyarakat miskin mengonsumsi lebih banyak mi instan daripada konsumen pada umumnya,” tulis Kimura.
Baca juga:
Berbagai Rupa Program Perbaikan Gizi Era Orba
Pada 1994, para ahli melakukan percobaan memberikan mi instan yang difortifikasi dengan zat besi kepada ibu hamil dan anak balita. Hasil penelitian menunjukkan mi instan yang difortifikasi cukup efektif. Bagi para ahli, hasil ini memberikan justifikasi untuk menjadikan fortifikasi mi instan sebagai kebijakan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, mereka melobi pejabat pemerintah untuk mendanai proyek ini. Namun, seperti MSG, mi instan juga tak luput dari kontroversi. Dianggap sebagai makanan cepat saji dengan kandungan nutrisi yang kurang signifikan, banyak orang memandang mi instan tidak cukup sehat dan bergizi.
“Pada 1990-an, konsumen Indonesia sudah mengkhawatirkan kualitas gizi mi instan, kandungan natriumnya yang tinggi dan penggunaan bahan pengawet serta bahan tambahan, di antara isu-isu lainnya. Para kritikus sosial mengkhawatirkan implikasi budaya dari peningkatan konsumsi mi instan yang cepat dalam kehidupan sosial dan budaya di Indonesia,” tambah Kimura.
Di lain pihak, wacana fortifikasi mi instan disambut baik oleh perusahaan yang memproduksi makanan ini. Mereka sangat tertarik karena melalui fortifikasi pangan, perusahaan dapat memasarkan produk mi instan sebagai makanan sehat. Industri telah mencoba meyakinkan konsumen tentang keamanan dan kualitas produk mi instan selama beberapa waktu, dan mereka berharap kebijakan fortifikasi pangan dapat meningkatkan legitimasi klaim kesehatan mereka. Pada akhirnya Kementerian Kesehatan mengeluarkan peraturan tentang fortifikasi mi instan, tetapi bersifat tidak wajib. Dengan demikian, fortifikasi mi instan belum dapat dikatakan sebagai program nasional.
Baca juga:
Program Gizi setelah Reformasi*
Walaupun upaya fortifikasi MSG dan mi instan gagal, minat terhadap zat gizi mikro semakin meningkat. Para ahli kembali mencari bahan makanan yang dianggap baik untuk mewujudkan program nasional. Upaya ini terwujud melalui fortifikasi tepung terigu. Aturan mengenai tepung terigu berstandar nasional (SNI) mulai diwajibkan pada 2001.*