Genjer sebelum “Genjer-genjer”

Karena penyebarannya yang cepat, genjer pernah dianggap sebagai gulma pertanian. Nyatanya, genjer jadi penyelamat para petani kala kelaparan.

Oleh: Daffa Abimanyu | 24 Mar 2025
Genjer sebelum “Genjer-genjer”
Genjer (Limnocharis flava). (Wikimedia Commons).

DI sawah-sawah para petani, sesaat sebelum ditanami padi, biasanya tumbuh rerumputan liar dengan tangkai yang ramping dan daun yang lebar. Nanti, ketika padi telah ditanam, tumbuhan liar ini akan dibabat habis oleh para petani, karena bisa jadi gulma yang menyaingi pertumbuhan padi.

Namun, tumbuhan ini sejatinya bukan sekadar gulma. Nyatanya, ia punya peran penting bagi kebutuhan pangan masyarakat pedesaan di Indonesia sejak lama. Bahkan, dari perannya ini, dulu digubah sebuah lagu –yang ironisnya bikin risau penguasa Orde Baru.

Tumbuhan ini adalah genjer. Dan ia punya riwayat yang cukup panjang dalam sejarah Indonesia.

Advertising
Advertising
Ilustrasi genjer dari tahun 1825 oleh John Curtis. (Wikimedia Commons).

Muasal Genjer

Genjer punya nama ilmiah Limnocharis flava. Tumbuhan ini termasuk rerumputan air yang biasa tumbuh di perairan tawar yang dangkal dengan arus yang stagnan hingga sedang.

Akar-akar genjer biasanya menempel pada lumpur di bawah permukaan air. Dari rimpangnya yang mungil kemudian tumbuh tangkai daun dan bunga yang menyembul keluar dari permukaan air. Bunganya berwarna kuning dan tampak sedap dipandang, hingga ia dinamai dengan Limnocharis flava (limno=lahan basah, merujuk pada tempat genjer biasa tumbuh; charis=cantik, flava= kuning).

Karena pertumbuhannya yang cepat, genjer biasa dikategorikan sebagai gulma pertanian, selain juga tumbuhan invasif. Pertumbuhan yang cepat ini utamanya disebabkan oleh biji-bijinya yang jumlahnya begitu banyak –satu buah bisa menghasilkan sekitar seribu biji-biji kecil! Bagian di sekitar ujung tangkai bunga genjer juga dapat menumbuhkan akar-akar baru, sehingga dapat terpisah dari genjer induk dan menjadi individu genjer yang baru.

Karena persebarannya yang luas sekarang, genjer kerap dianggap sebagai tumbuhan asli Indonesia. Padahal genjer berasal dari benua Amerika.

Carl Linnaeus, “bapak taksonomi” dari Swedia, telah menyebut genjer dalam karya besarnya Species Plantarum (1753). Linnaeus menyebutnya Alisma flava dan menyertakan informasi berikut: “Habitat in America meridionali.” America meridionali merujuk pada Amerika Selatan kini.

Genjer awalnya tumbuh liar di wilayah Argentina, ke utara hingga wilayah Meksiko, serta di Kepulauan Karibia, Amerika Tengah. Menariknya, menurut Robert Ralf Haynes dan Lauritz Broder Holm-Nielsen dalam “The Limnocharitaceae”, Flora Neotropica Vol. 56, 20 April 1992, genjer malah kurang dikenal oleh masyarakat di Amerika Tengah dan Selatan. Di sana, genjer tidak banyak dimanfaatkan.

Dari Amerika, genjer menyebar ke seluruh dunia. Pada masa itu spesimen genjer dibawa oleh para penjelajah dan ilmuwan Eropa yang berkunjung ke benua Amerika. Beberapa nama ilmiah pun sempat diajukan. Ini membuat genjer punya banyak sinonim seperti Limnocharis emarginata, Limnocharis plumierii, dan Damasonium flavum.

Dalam Abhandlungen herausgegeben vom Naturwissenschaftlichen Vereine zu Bremen Vol. 2, 1868, Franz Buchenau, ahli botani Jerman, menetapkan Limnocharis flava sebagai nama ilmiah genjer. “Flava” diambil dari nama awal yang diperkenalkan oleh Linnaeus seratus tahun sebelumnya. Nama yang diusulkan Buchenau inilah yang kemudian dinilai sebagai nama dan kategorisasi yang tepat oleh para ahli botani di tahun-tahun berikutnya. Nama tersebut kemudian disepakati dan dipakai hingga kini.

Ilustrasi botani genjer dari tahun 1838 oleh Stephan Endlicher. (Wikimedia Commons).

Kedatangan Genjer

Pada abad ke-19, para penjelajah dan ilmuwan botani kerap bekerja sama dengan proyek ekonomi pemerintah kolonial Eropa. Salah satu bentuk kerja sama tersebut berupa pertukaran tanaman antarkoloni negara-negara Eropa di Asia, Afrika, dan Amerika. Lewat aktivitas inilah genjer tersebar ke berbagai kawasan, termasuk Hindia Belanda (Indonesia kini).

Catatan tertua yang dapat ditemukan tentang genjer di Hindia Belanda sekaligus di Asia adalah bertahun 1866. Dalam buku katalog tanaman Kebun Raya Bogor, Catalogus Plantarum Horto Botanico Bogoriensis, yang ditulis oleh Johannes Elias Teysmann dan Simon Binnendijk, kepala dan asisten kepala Kebun Raya, pada 1866, genjer telah tercantum sebagai salah satu koleksi tanaman Kebun Raya Bogor.

Dalam katalog tersebut, ketika berbagai tanaman lain telah disebutkan nama lokalnya, genjer hanya disebutkan nama ilmiahnya: Limnocharis plumierii. Disebutkan pula tanaman ini didapatkan dari suatu tempat bernama Nova Granata (atau New Granada, yang kini menjadi wilayah Kolombia) dan Santo Domingo (wilayah Republik Dominika kini, di Kepulauan Karibia).

Kala itu Kebun Raya Bogor menjadi tempat bagi para ilmuwan Belanda untuk menguji coba berbagai tanaman dari luar negeri. Biji dan bibit tanaman biasa didapatkan dari kebun raya lain di luar negeri, selain juga dari para pelancong dan penjual tanaman eksotik. Sayangnya dalam katalog tersebut tak disebutkan dari tangan siapa genjer didapatkan. Juga alasan impor genjer ke Kebun Raya juga tak disebutkan.

Tak butuh waktu lama bagi genjer menunjukkan sifat aslinya. Ia menyebar secara alamiah lewat daya tahan bijinya yang luar biasa. Mulanya berlangsung di sekitar Bogor, kemudian menyebar ke perairan dan persawahan terdekat di Jawa Barat, Batavia dan Banten, hingga ke wilayah timur (Jawa Tengah dan Jawa Timur).

A.C.J. Edeling, seorang ilmuwan Belanda, dalam tulisannya “Botanische Wandeling in den omtrek van Bidara Tjina”, dalam Natuurkundig tijdschrift voor Nedederlandsch-Indie Vol. 31 (I870), menyebut bahwa dia menyaksikan genjer tumbuh secara liar di muara Sungai Ciliwung di pesisir utara Batavia. Edeling menyebut genjer sebagai “alien [spesies asing] yang telah ternaturalisasi [tumbuh liar tanpa bantuan manusia].”

Bagaimana genjer menyebar dengan pelan tapi pasti menarik perhatian para ilmuwan. Dalam “Uitheemsche planten om Buitenzorg verwilderd”, makalah yang disampaikan pada Nederlandsch Natuur- en Geneeskundig Congres di Leiden tahun 1889, J.C. Boerlage, seorang ahli botani Belanda, menyebut bagaimana kanal-kanal irigasi yang terhubung dengan aliran sungai-sungai di sekitar Bogor membantu penyebaran genjer.

“Jumlah benihnya sangat banyak, dan karena dikelilingi oleh kulit benih yang tebal seperti spons, yang membuat mereka mengapung di air, genjer dapat menyebar dengan mudah,” sebut Boerlage.

Bukan hanya sungai-sungai. Dari Kebun Raya Bogor, genjer juga menemukan lokasi yang baik di persawahan. Tumbuh subur dan menyebar secara teratur. Karena itulah ia dianggap sebagai gulma pertanian.

H.J. Wigman, seorang ilmuwan Kebun Raya Bogor, dalam tulisannya “Amerikaansche planten op java verwilderd” di jurnal Kebun Raya Bogor Teysmannia, Vol. 3, 1892, menyebut genjer sebagai tumbuhan impor yang harus digolongkan sebagai gulma. Namun tanaman rawa ini bukanlah gulma yang serius.

“Ia bukanlah gulma yang menyusahkan dan berbahaya serta dapat dibereskan tanpa banyak usaha oleh para petani,” catat Wigman.

Genjer tumbuh di tanah yang tergenang. (Wikimedia Commons).

 

Dari Jawa hingga Sumatra

Alih-alih dianggap sebagai gulma, genjer mulai dimanfaatkan untuk banyak hal. Keberadaannya menjadi penanda bagi tanah yang subur. Genjer juga digunakan sebagai pakan ternak dan, yang terpenting, bahan pangan rakyat.

Meski memiliki cita rasa yang sedikit pahit, dan relatif sulit tercerna oleh perut, penduduk menjadikan genjer sebagai bahan pangan. Pada awalnya pemanfaatan ini berkembang di masyarakat suku Sunda, yang secara kultural menggemari dedaunan dan lalapan. Namun kesulitan ekonomi mendorong masyarakat lainnya untuk memanfaatkan genjer sebagai bahan sayuran mereka.

Menurut H.J. Wigman dalam tulisannya “Bloemen als Voedsel, Toespijs Enz.” di jurnal Teysmannia, Vol. 7, 1897, tangkai dan bunga genjer telah dijual di pasar-pasar di sekitar Batavia. “Seluruh atau sebagian bunga genjer dimasak atau dimakan dalam sayuran oleh penduduk pribumi,” tulis Wigman.

Genjer sebagai bahan makanan diulas oleh Karel Heyne, ahli botani Belanda, dalam De Nuttige Planten van Nederlandsch-Indië, katalog deskriptif pertama tentang tumbuhan botani dan pemanfaatannya secara ekonomi di Hindia Belanda. Pada Vol. 1, yang terbit tahun 1913, Heyne menyebut genjer tersebar luas di Jawa dan Sumatra.

Di Jawa Barat, genjer terutama tumbuh di lahan-lahan basah di dataran rendah hingga dataran tinggi (1300 mdpl). Di Jawa Timur, yang penduduknya menyebut genjer sebagai “centongan” (sesuai bentuk daunnya yang mirip centong nasi), genjer belum tersebar semasif di Jawa Barat. Tumbuhan ini tumbuh di tanah rawa atau tanah yang tergenang, di parit dan kolam air tawar, dan terutama di sawah irigasi dalam jumlah besar, dan merupakan salah satu gulma paling umum.

“Di daerah Toba,” catat Heyne, “[genjer] digunakan sebagai pakan babi. Di Jawa Barat, daun muda dan bunga yang belum terbuka menjadi sayuran yang umum tersedia di pasar.”

Lantas, bagaimana genjer bisa sampai ke Sumatra?

C.A. Backer, ilmuwan Kebun Raya Bogor, dalam tulisannya “Sawahplanten. 1. De gele Sawahsla (Limnócharis fláva. - Ètjèng, m. - Gèndjèr, s.—Tjentòngan, j.)” di jurnal De Tropische Natuur, No. 1, Vol. 9, 1912, menyebut penyebaran genjer sebagai suatu hal yang mengundang teka-teki. Ia menemukan genjer di Kebun Raya, yang terletak sekitar 250 meter di atas permukaan laut. Namun Backer juga menemukan tanaman itu di sawah-sawah, yang berada sekitar 500 meter di atas permukaan laut. Genjer juga telah diamati di beberapa tempat di Sumatera (Deli, Danau Toba, Telukbetung), yang terpisah dengan Jawa oleh laut.

“Bagaimana ia bisa sampai di sana? Tentu saja tidak dengan air mengalir. Dengan burung mungkin? Pernahkah ada yang melihat burung atau hewan lain yang memakan bijinya?” tanya Backer.

Kendati tak yakin, Backer mencoba memberikan penjelasan. Menurutnya, daun muda genjer dinikmati oleh penduduk asli dan juga orang Eropa sebagai lauk. Bukan tidak mungkin seorang penduduk asli kemudian memiliki ide untuk membawa beberapa tanaman dari Bogor dan menanamnya di sawahnya agar dapat lebih sering menikmati sayur genjer.

“Jika memang begitu, buatlah patung untuk orang tua [penyebar genjer] yang mulia itu. Karena sekarang rambutnya sudah beruban. Dan jika tidak, siapa yang tahu penjelasan yang lebih baik?” catat Backer.

Dalam tulisannya, Backer juga membandingkan genjer dengan eceng gondok yang waktu itu juga telah tersebar luas. Namun menurutnya, alasan penyebaran genjer tidak sama dengan eceng gondok. Eceng gondok jelas tersebar karena banyak dikirim sebagai tanaman hias, sedang genjer, meski bunganya sebenarnya cukup indah, jelasnya bukan tersebar karena hal yang sama.

 

Tangkai bunga genjer yang dijual di suatu pasar. (Xufanc/Wikimedia Commons).

Makanan Rakyat

Pada masa pendudukan Jepang, peran genjer semakin penting. Ketika bahan pangan sulit didapat, genjer menjadi salah satu penyelamat rakyat dari kelaparan. Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, keadaan tersebut menjadi memori yang meresahkan bagi Muhammad Arief, seniman Banyuwangi, yang kemudian menggubah sebuah lagu berjudul “Genjer-genjer” pada 1953.

Lagu “Genjer-genjer” kemudian populer karena kerap dinyanyikan oleh para seniman Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kampanye mereka di desa-desa. Lebih-lebih setelah dibawakan oleh dua penyanyi kondang Indonesia, Bing Slamet dan Lilis Suryani.

Pemanfaatannya tak hanya di zaman susah. Pemanfaatan genjer sebagai bahan makanan tetap bertahan di banyak kalangan. Bahkan ia diolah menjadi masakan yang lezat dan sehat. Poorwo Sudarmo, yang dijuluki sebagai “bapak gizi”, dalam Hidangan Sehat: Menjempurnakan Kesehatan dengan Susunan Hidangan jang Benar (1961) menyebut genjer sebagai salah satu sayuran yang bukan hanya murah dan mudah didapat tapi juga sehat.

Sebagai sayuran, genjer juga mulai masuk dalam buku-buku resep masakan. Sitti Nur Zainu'ddin-Moro dalam Nasi dan Sambal2an (1965) memasukkan resep “sayur genjer”. Sedangkan buku Mustikarasa (1967) yang diterbitkan Departemen Pertanian memasukkan resep “oseng-oseng genjer”.

Setelah 1965, lagu “Genjer-genjer” sempat dilarang karena dianggap sebagai propaganda komunis dan memiliki kaitan dengan PKI. Tapi genjer sebagai tanaman tetap bertahan di desa-desa. Ia tetap meramaikan pinggiran persawahan sesaat sebelum musim tanam dan setelah musim panen. Genjer tetap menjadi andalan bahan pangan di pedesaan, hingga sekarang.*

TAG

genjer botani

ARTIKEL TERKAIT

Mohammad Arief Anak Santri Cerita dari Lima Helikopter Rintisan AURI Alkisah Pesawat Hibrida Sakae-Bleinheim dari Maospati Dokter Djawa Tapi Bukan Jawa Program Kesehatan yang Merakyat di Zaman Silam Brain Drain Insinyur Dirgantara Indonesia ke Negeri Orang Upaya Mengatasi Malnutrisi Melalui MSG dan Mi Instan di Masa Orde Baru Seputar Kanker yang Merongrong Sejak Dahulu Kala Anak Tiri Kawan RA Kartini dapat Nikel di Kolaka Poorwo Soedarmo dan Gizi Anak Negeri*