Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, siswa-siswa kedokteran Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS) Surabaya dan Geneeskundige Hogeschool te Batavia (GHS) melanjutkan pendidikan di Ika Daigaku (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta.
Di antara mantan siswa NIAS yang belajar di Ika Daigaku terdapat Frans Pattiasina, Piet Mamahit, dan Oscar Eduard Engelen. Frans Pattiasina lahir pada 19 Februari 1920 dari orang tua asal Ambon yang tinggal di Makassar. Piet Mamahit berdarah Minahasa tapi kelahiran Denpasar, Bali pada 10 Oktober 1920. Sementara Oscar Engelen lahir di Kema, Minahasa pada 12 Maret 1922.
Frans Pattiasina, Oscar Engelen, dan Piet Mamahit terlibat dalam pergerakan pemuda kelompok Asrama Prapatan 10, Jakarta. Ketika tentara Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, mereka masih berstatus mahasiswa dan belum menjadi dokter. Seperti banyak pemuda di Jakarta, mereka mendukung negara baru Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
“Hari Proklamasi 17 Agustus 1945 pada pukul 7.30 tanggal 17 Agustus 1945, berangkatlah Piet Mamahit dengan satu rombongan mahasiswa di bawah pimpinan Soerarjo ke Pegangsaan Timur 56 untuk turut mengadakan penjagaan pada waktu diadakan upacara Proklamasi,” catat Oscar Eduard Engelen dalam Lahirnya Satu Bangsa dan Negara.
Baca juga: Achmad Mochtar, Martir Dunia Kedokteran
Permasalahan muncul ketika para tokoh merumuskan dasar negara. Tokoh dari Indonesia Timur, seperti Mr. Johannes Latuharhary keberatan dengan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, karena banyak orang Indonesia Timur tidak beragama Islam.
Atas arahan Mr. Latuharhary dan Mr. I Gusti Ketut Pudja, tiga orang diutus untuk menghadap Bung Hatta. Tiga utusan itu adalah Piet Mamahit, Moeljo Hastodipoero, dan Imam Slamet. Karena berwajah seperti orang Tionghoa sehingga dijuluki Tan Tjeng Bok dan memakai seragam tantara Jepang, Iman Slamet dikira orang Jepang oleh Bung Hatta.
“Bung Hatta setuju untuk membicarakan hal itu sore hari itu juga tanggal 17 Agustus 1945, pukul 17.00. Untuk menjelaskan persoalan, tiga orang diutus menghadap Bung Hatta sore itu,” catat Engelen dkk.
Baca juga: Kiprah Bumiputera di Jurnal Kedokteran Era Hindia Belanda
Dalam otobiografinya, Untuk Negeriku, Bung Hatta menyebut utusan yang menemuinya adalah orang Jepang, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) ditemani Nishijima, pembantu Laksamana Maeda, sebagai penerjemah.
“Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun dan menginformasikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik, yang [tinggal di wilayah] dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’,” kata Bung Hatta.
Akhirnya, demi persatuan Indonesia, maka tujuh kata bagian dari kalimat yang menjadi sila pertama Pancasila itu dihapus, hingga bunyinya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setelah Sekutu yang memboncengkan tentara Belanda mendarat di Jakarta, orang-orang dari Ambon dan Minahasa serta orang Indonesia timur lainnya terancam. Muncul sentimen etnis yang menganggap mereka mendukung Belanda. Hal itu karena tak semua orang Indonesia tahu bahwa banyak orang Indonesia timur juga terlibat dalam pergerakan nasional. Piet Mamahit, Oscar Engelen, dan Frans Pattiasina pun harus bekerja keras agar mereka tidak jadi korban serta tetap tenang dan mendukung Republik Indonesia.
Baca juga: Mantan KNIL yang Menolak Masuk TNI
Di masa-masa gawat itu, Frans Pattiasina bergabung dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API) Ambon serta menjadi salah satu pembantu Gubernur Maluku Mr. Latuharhary di Jakarta. Kakaknya, Marcus Pattiasina juga pendukung Republik Indonesia. Kakaknya, Johanes Marcus Pattiasina yang kelahiran 1912 juga pendukung Republik Indonesia. Ia bekerja di sektor perminyakan di Palembang.
Jean Bush Aden dalam Oil and Politics in Indonesia 1945 to 1980 menyebut Marcus Pattiasina tiba di Palembang pada 1933 dan bekerja di Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) Plaju. Sementara itu, Mestika Zed dalam Kepialangan, Politik, dan Revolusi: Palembang, 1900–1950 menyebut Marcus Pattiasina ikut serta dalam pendirian Perusahaan Minyak Republik Indonesia (Permiri) di Sumatra Selatan.
Baca juga: JA Latumeten, Psikiatris Nasionalis Kompeten Namun Kurang Beken
Ketika mendukung Republik Indonesia tersebut, kuliah mereka berantakan. Setelah tahun 1945, sebagai orang terpelajar dalam tentara Indonesia, mereka dengan mudah terserap menjadi perwira kesehatan. Frans Pattiasina pernah di Divisi Siliwangi. Piet Mamahit di Brigade ke-17 Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Setelah tentara Belanda angkat kaki pada 1950, Oscar Engelen, Frans Pattiasina, dan Piet Mamahit melanjutkan kuliah kedokterannya lalu menjadi dokter tentara.
Piet Mamahit berhasil menjadi brigadir jenderal. Begitu juga Frans Pattiasina dan kakaknya, Marcus Pattiasina yang dikenal sebagai ahli perminyakan. Piet Mamahit pernah menjabat ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sementara Frans Pattiasiana menjadi dokter yang memeriksa jenazah jenderal-jenderal yang dibunuh pada 1 Oktober 1965 dan ditemukan di Lubang Buaya. Ia juga pernah menjabat kepala Rumah Sakit AD Gatot Subroto, Jakarta.*