Seperti klinik dokter umum atau dokter gigi, klinik dokter hewan mudah ditemui di berbagai tempat. Dokter-dokter hewan menjadi tujuan pemilik hewan peliharaan ketika kucing, anjing, hingga kelinci mereka terluka atau sakit.
Kemajuan teknologi membuat konsultasi mengenai kondisi kesehatan hewan peliharaan dapat dilakukan secara online atau virtual. Pemilik hewan dapat melakukan konsultasi terlebih dahulu sebelum membawa hewan peliharaannya ke klinik hewan.
Memiliki hewan peliharaan tak bisa dipandang sepele. Seperti halnya manusia, hewan juga memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi mulai dari makanan, kebersihan, hingga kesehatan yang harus ditangani khusus oleh dokter hewan.
Lantas bagaimana awal mula munculnya profesi dokter hewan di Indonesia?
Soedjasmiran Prodjodihardo, dkk. dalam 100 Tahun Dokter Hewan Indonesia: Sejarah, Kiprah, dan Tantangan menjelaskan, pada masa lalu praktik yang berkaitan dengan profesi kedokteran hewan telah dikenal oleh masyarakat di wilayah Indonesia. Kala itu profesi yang disebut “tabib” atau “dukun” hewan tersebut memiliki spesialisasi keahlian yakni memelihara maupun mengobati hewan ternak seperti kerbau, sapi, dan kuda.
“Di desa-desa tabib atau dukun ini banyak menggunakan berbagai ramuan obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit hewan,” tulis Soedjasmiran.
Baca juga: Dokter Perempuan Pertama Indonesia
Keadaan penyakit hewan yang kian mengkhawatirkan serta keterbatasan dokter hewan membuat pemerintah kolonial Belanda mendatangkan dokter-dokter hewan dari negara asal mereka ke Indonesia.
Mulanya dokter hewan yang bertugas di Indonesia merupakan dokter hewan militer dan dokter hewan pemerintah kolonial Belanda yang bekerja di Burgelijke Veeartsnijkundige Dienst atau Jawatan Kehewanan Pusat. Keterbatasan dokter hewan membuat pemerintah kolonial mendatangkan dokter-dokter hewan dari negeri Belanda.
Wabah penyakit yang menyerang hewan ternak pada abad 19 mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk mendidik tenaga dokter hewan pribumi. Pada 1861, J. van der Helde, dokter hewan pemerintah (gouvernement veearts), ditugaskan mendirikan dan memimpin sekolah dokter hewan di Surabaya. Lama pendidikannya dua tahun. Murid pertamanya hanya tiga orang yang semuanya berasal dari Jawa. Baru pada 1867, muridnya datang dari pulau-pulau lain. Namun, kurang dari sepuluh tahun berjalan, sekolah dokter hewan di Surabaya itu dibubarkan pada 1875.
Baca juga: Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi
Pada 1880, sekolah dokter hewan dibuka di Purwokerto, Jawa Tengah. Sekolah ini diselenggarakan secara informal dengan cara mengikuti praktik dokter hewan pemerintah. Soedjasmiran menyebut pendidikan dengan cara ini ditiadakan setelah menghasilkan delapan orang dokter hewan dari sembilan orang siswa.
Usaha mendirikan Indlandsche Veeartzen School (Sekolah Dokter Hewan yang serupa dengan Sekolah Dokter Jawa) di Surabaya pada 1893 ditolak oleh Direktur Departemen Pengajaran, Ibadat dan Kerajinan. Direktur Stovia (Sekolah Dokter Bumiputra) juga tidak setuju. Penolakan itu muncul karena dokter-dokter Belanda khawatir posisi mereka terancam oleh kehadiran para dokter hewan pribumi.
Sementara itu, guna memenuhi tenaga dokter hewan yang siap sewaktu-waktu saat dibutuhkan, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan dokter hewan dari Eropa untuk membantu para dokter hewan Belanda. Meski begitu pemerintah kolonial tetap merekrut tenaga pribumi untuk menangani pelayanan kesehatan hewan. Para tenaga pribumi yang lolos seleksi kemudian dilatih membaca dan menulis mengenai pembuatan laporan serta tentang materi kesehatan hewan. Mereka yang dikenal sebagai “mantri hewan” ditugaskan di berbagai daerah dengan gaji 15 gulden.
Baca juga: Dokter dalam Daftar Kematian
Penerapan Politik Etis tahun 1901 berdampak besar pada perkembangan sekolah dokter hewan untuk pribumi. Selain membangun Veeartsenijkundige Laboratorium atau Laboratorium Penyakit Hewan dengan biaya 48.000 gulden, pemerintah kolonial Belanda juga mendirikan Indische Veeartzen School atau Sekolah Dokter Hewan Pribumi. Masa pendidikannya selama empat tahun.
Sekolah Dokter Hewan Pribumi ini didirikan di Bogor, Jawa Barat, pada 1906. Syarat masuk sekolah ini harus lulus sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat sekolah menengah pertama. Alumni pertama Sekolah Dokter Hewan Pribumi adalah drh. Johannes Alexander Kaligis (J.A. Kaligis) yang lulus tahun 1910. Setelah itu, drh. R. Noto Soediro dan drh. R. Soetedjo lulus tahun 1911.
Baca juga: Jejak J.A. Kaligis, Dokter Hewan Bumiputra Pertama
Pada 1914, sekolah ini berganti nama menjadi Nederland Indische Veeartzen School (NIVS). Selain J.A. Kaligis, Noto Soediro, dan R. Soetedjo, alumni NIVS yang juga berjasa dalam perkembangan ilmu kesehatan hewan di Indonesia di antaranya A.F. Waworoentoe, peneliti dan perintis Lembaga Virologi Kehewanan; R. Djaenoedin, kepala Lembaga Penelitian Penyakit Hewan (LPPH) dan profesor di NIVS; serta Anwar Nasution, penemu pengganti fosfor untuk pemberantasan tikus sawah yang berasal dari bakteri botulisme yakni toksin botulinus.
Berbeda dengan dokter hewan lulusan dari negeri Belanda yang disebut dierenarts (dokter hewan), dokter hewan lulusan Sekolah Dokter Hewan Pribumi disebut veearts (dokter ternak) karena disesuaikan dengan kepentingan pemerintah kolonial untuk mengamankan hewan-hewan ternak milik pemerintah dan perkebunan-perkebunan.
Ketegangan antara Belanda dan Jepang berdampak pada Sekolah Dokter Hewan Pribumi di Bogor. Sekolah yang telah menghasilkan 143 dokter hewan ditutup pada 1941. Pada masa pendudukan Jepang, sekolah itu dilanjutkan dengan nama Bogor Zui Semon Gakko. Setelah Indonesia merdeka, pada 1946 sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Dokter Hewan Bogor hingga pada 1947 menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan.*