SEBAGAI salah satu lembaga yang meneliti vaksin corona, Universitas Oxford pada 23 April 2020 sudah mulai mengujicoba hasil risetnya pada manusia. Sebanyak 1110 sukarelawan menjadi bagian dari percobaan tersebut. Setengahnya menerima vaksin ujicoba, setengah lainnya mendapat vaksin meningitis.
Vaksin yang diujicoba merupakan ChAdOx1 nCoV-19, yang dibuat dari virus (ChAdOx1) atau virus flu biasa (adenovirus) yang sudah dilemahkan. Adenovirus biasanya menginfeksi simpanse. Secara genetis, virus ini telah berubah sehingga muskil berkembang pada manusia.
Materi genetik dari protein SARS-Cov-2 (disebut Spike Glycoprotein) ditambahkan pada konstruksi ChAdOx1. Protein ini biasa ditemukan pada permukaan SARS-Cov-2 dan punya peran penting dalam proses infeksi ke manusia.
Vaksinasi ChAdOx1 nCoV-19 diharapkan membuat tubuh mengenali dan mengembangkan respon imun terhadap protein Spike Glycoprotein. Dengan begitu, dapat menangkal virus SARS-CoV-2 memasuki sel manusia sehingga mencegah infeksi.
Vaksin virus ChAdOx1 telah diberikan pada lebih dari 320 orang. Sejauh ini, penggunaan vaksin tersebut diklaim aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping sementara yang ditimbulkannya semisal demam ringan, sakit kepala, atau lebam di lengan.
Baca juga: Saran Para Ulama dalam Menghadapi Wabah
Ujicoba vaksin yang dilakuakn Universitas Oxford ini merupakan satu dari 76 kadidat vaksin yang diteliti di berbagai lembaga riset dunia. Para ahli berpendapat, pandemi Covid-19 bisa diatasi apabila obat yang terbukti efektif menyembuhkan penyakit bisa diproduksi massal atau penemuan vaksin untuk mencegah infeksi virus. Dikutip dari BBCnews, para ahli memprediksi bahwa vaksin corona baru bisa diproduksi massal pada 2021.
Upaya pemberantasan penyakit dengan vaksinasi juga pernah dilakukan kala cacar mewabah. Vaksin cacar ditemukan pada 1778 di Inggris oleh Edward Jenner. Pada 1780-an metode variolasi diperkenalkan Inggris di Bengkulu, Sumatera selatan. Sementara, di Jawa metode ini diperkenalkan oleh Belanda. Variolasi atau inokulasi merupakan metode pertamakali yang digunakan untuk mengebalkan imun tubuh dari penyakit dengan mengambil sebagian infeksi ke tubuh orang lain.
Baca juga: Upaya Memberantas Cacar
Peter Boomgaard dalam “Smallpox, vaccination, and the Pax Neerlandica” menyebut, pada mulanya sejumlah kecil orang yang diinokulasi kebanyakan orang Eropa dan budaknya. Inokulasi ini jauh lebih berbahaya daripada vaksinasi. Ketika beberapa orang meninggal setelah diinokulasi, antusiasme untuk menjalani metode ini turun drastis.
Sementara, vaksin yang sudah diproduksi massal dibawa Inggris ke Bombay dan Sri Lanka pada 1802. Dua tahun kemudian vaksin yang sama dibawa ke Jawa oleh Belanda. Antara 1805 dan 1815, vaksinasi meluas di Jawa dan makin banyak orang yang menerima vaksin. Ketika Inggris berkuasa pada 1815, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles menjalankan program vaksinasi dengan sistematisasi detil dan menyeluruh. Petugas medis, khususnya mantri, dikirim ke pelosok sehingga distribusi vaksin bisa sampai ke desa-desa.
Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market mencatat, ketika vaksinasi pertamakali diperkenalkan di Priangan, orang-orang mencurigai program ini. Beredar desas-desus bahwa vaksinasi merupakan usaha pemerintah kolonial menandai setiap anak lelaki untuk dimasukkan sebagai tentara kelak ketika dewasa. Orang-orang yang takut lantas kabur ke hutan untuk sembunyi.
Baca juga: Penolakan Vaksin Dulu dan Kini
Pada 1818, pemerintah kolonial menggratiskan vaksinasi cacar di semua daerah. Dua tahun berikutnya, dikeluarkan Reglement voor den Burgelijke Geneeskundige Dienst (peraturan mengenai Dinas Kesehatan Publik) dan Reglement op de Uitoefening der Keoepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (peraturan pelaksanaan vaksinasi cacar). Dari situlah pengorganisasian program vaksin dimulai.
Seperti ditulis Baha’udin dalam “Dari Mantri hingga Dokter Jawa”, program itu cukup sukses dijalankan. Sebanyak 50.420 orang di Jawa dan Madura menerima pencacaran pada 1818. Jumlah itu naik pada tahun berikutnya menjadi 55.322 pencacaran. Pada 1820 sebanyak 83.237 orang menerima vaksin cacar.
Namun pada 1860, pencacaran mesti dilakukan dua kali karena beberapa orang menerima pencacaran ulang. Sebanyak 479.768 orang menerima pencacaran dan sebanyak 211.051 menerima pencacaran ulang. Hal serupa terjadi pada 1871, di mana 524.553 orang menerima pencacaran dan 209.479 divaksin ulang. Pada 1875, angkanya naik menjadi 570.652 orang menerima vaksin pertama dan 360.201 divaksin untuk kedua kalinya.
Baca juga: Bayi Perempuan di Tengah Wabah Pes
Keberhasilan program vaksinasi cacar ini kemudian dijadikan model kebijakan dalam menangani penyakit-penyakit rakyat (volkziekte), salah satunya pes.
Kala wabah pes melanda Jawa, penanganan penyakit berada di bawah Dinas Kesehatan Publik (Burgerlijke Geneeskundige Dienst, BGD). Lembaga ini, seperti ditulis dosen IAIN Surakarta Martina dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, membentuk program Pestbestrijding (pemberantasan pes). Mereka mendatangkan dokter dari Eropa, mengatur implementasi karantina, mengelola rumah sakit umum dan klinik, skema kebersihan intensif, penelitian obat dan vaksin, pelatihan dokter dan mantri pes, produksi vaksin, dan pengumpulan data statistik.
Awalnya, BDG mengimpor dua jenis vaksin pes dari Jerman dan Inggris. “Dalam penanganan pes, segala vaksin dicoba di negeri jajahan sampai ditemukan yang paling efektif,” kata Martina pada Historia. Pemberian kedua vaksin ini dilakukan pada 65.720 orang dalam jangka waktu tujuh bulan. Sebanyak 54.017 orang dengan vaksin Jerman dan 11.703 dengan vaksin Inggris. Namun, kedua vaksin tersebut dinilai kurang efektif di samping biaya impor dan harganya yang mahal.
Baca juga: Sudah Kena Pes Tertimpa Apes
Pada 1930-an, dokter Otten dari Institute Pasteur, Bandung mengembangkan vaksin dari bakteri pes hidup. Vaksin ini ternyata lebih efektif dibanding vaksin impor dari Jerman dan Inggris. Martina menyebut, kala penanganan cacar, dokter Otten juga mengembangkan vaksin kering cacar yang lebih efektif digunakan di wilayah tropis.
Pemvaksinan massal kemudian dilakukan dengan bantuan mantri, seperti ketika vaksinasi cacar. Pada 1939, pemerintah kolonial mengklaim sebanyak 2,5 juta orang telah menerima vaksin temuan dokter Otten dan lebih dari 10 juta orang telah divaksin ulang.
Vaksinasi ini berhasil mengurangi 25 persen tingkat kefatalan penyakit pes. Pada akhir masa pemerintahan kolonial, laporan tentang angka korban penyakit pes terus menurun karena meningkatnya daya imun penduduk terhadap penyakit pes.