Masuk Daftar
My Getplus

Perjalanan Mencari Ayah yang Sah

Mulanya orang membuktikan garis keturunan lewat getaran listrik dalam darah, baru kemudian dengan tes DNA.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 09 Okt 2019
Albert Abrams mendemonstrasikan alat ciptaannya, ERA (Reaksi Elektronik Abrams) pada 1923. (borderlandsciences.org).

Anastasia Nikoleavna, putri termuda raja terakhir Rusia, Tsar Nicholas II, diyakini selamat dari eksekusi yang menghabisi seluruh keluarganya. Tragedi itu terjadi pada 1918, hampir setahun setelah kaum Bolshevik merebut kekuasaan.

Setelahnya banyak perempuan yang mengaku sebagai Putri Anastasia. Salah satu yang terkenal adalah Anna Anderson. Selama 70 tahun kontroversi menyelubunginya. Banyak pendukung yang menganggapnya sebagai putri Kaisar Romanov yang berhasil lolos. Ia pun kerap diundang dalam acara sosialita. Ada juga yang tak percaya klaim itu, tetapi tak punya bukti.

Suatu ketika, penggalian di pemakaman massal Ekaterinburg, Rusia, ditemukan sisa-sisa rangka dari sembilan individu manusia. Sampel DNA diambil dari tulang belulang yang ada untuk kemudian dicocokkan dengan sampel darah dari keluarga Tsar yang masih hidup. Menariknya, DNA putra bungsu Tsar, Pangeran Alexei, dan Putri Anastasia tak teridentifikasi ada di antara rangka-rangka itu. Ini pun mendukung anggapan mereka yang percaya kalau sang putri berhasil selamat dari tragedi berdarah itu.

Advertising
Advertising

Baca juga: Proyek DNA Historia 

Anna meninggal pada 1984. Tes DNA yang lebih berkembang akhirnya digunakan. Antropolog Terry Melton dari Pennsylvania State University dalam artikel “Establishing the Identity of Anna Anderson Manahan” yang terbit di laman Nature Genetics menjelaskan contoh jaringan milik Anna dari bekas operasinya di suatu rumah sakit digunakan sebagai bahan tes. Akhirnya diketahui kalau Anna tak punya hubungan darah dengan keluarga bangsawan Romanov. Alih-alih Putri Anastasia, ia dinyatakan sebagai buruh asal Polandia yang punya riwayat gangguan mental, Franziska Schanzkowska. 

Siapa ayahku? Pertanyaan ini mungkin sangat sulit dijawab seabad yang lalu. Waktu itu tes DNA belum populer.

Uji DNA untuk menentukan asal usul seseorang berawal dari ilmuwan abad ke-19 dan ke-20 yang terobsesi dengan misteri pewarisan sifat melalui keturunan. Nara Milanich, sejarawan Barnard College dan penulis Paternity: The Elusive Quest for the Father mengatakan surat kabar pada masa itu ikut memicu kegilaan akan tes paternitas. Itu dengan meliput kisah-kisah tentang suami yang dikhianati, juga keturunan selebritas yang diragukan.

Misalnya, pada 1920-an ada banyak kecemasan di wilayah Amerika Serikat kalau-kalau bayi mereka ditukar saat berada di bangsal bersalin di rumah sakit. Para hakim pun dibuat kebingungan karena harus memutuskan siapa orang tua yang sah dari bayi-bayi itu.

Getaran Elektronik

Laman How Stuff Works menjelaskan, beberapa orang lalu mulai membuat daftar ciri fisik berbasis ras, seperti ukuran hidung, bentuk telinga, dan tekstur rambut yang selalu diturunkan dari generasi ke generasi.

Namun, ada yang lebih menggunakan imajinasi ilmiahnya pada 1920-an, yaitu Albert Abrams, dokter dari San Fransisco.

Ia mengembangkan teori tentang sistem kelistrikan tubuh manusia yang disebut Reaksi Elektronik Abrams (ERA). Seperti banyak orang lain, Abrams meyakini kalau kunci untuk membuka misteri pewarisan sifat ada di dalam darah.

Abrams pun menemukan alat yang disebut osilofor. Alat ini mengukur getaran elektronik dalam darah manusia. Misalnya, darah orang Irlandia bergetar pada 15 ohm. Darah orang Yahudi di 7 ohm.

Baca juga: Mengukur Kemurnian Manusia Indonesia

Metode ini kemudian disewa oleh Hakim Thomas Graham dari Pengadilan Tinggi San Fransisco. Ia menggunakan alat Abrams untuk menentukan hasil dari gugatan paternitas yang melibatkan seorang pria bernama Paul Vittori. Waktu itu Vittori menolak membayar tunjangan anak bagi seorang bayi perempuan yang tak diakui olehnya. Namun, mesin ajaib milik Abrams menemukan sebaliknya. Vittori rupanya adalah ayah si bayi.  

Kasus ini langsung menjadikan Abrams sebagai salah satu ahli per-ayah-an yang paling laris di dunia. “Jika kita berpendapat kalau tes darah elektronik ini gila dan menggelikan, mengapa hakim California menganggap ini adalah teknologi yang berguna?" tanya Milanich.

Milanich meyakini penemuan Abrams mendapat banyak daya tarik, karena sistem hukum pada masa itu begitu menginginkan metode ilmiah untuk menyelesaikan misteri paternitas. Namun, tes ini menurutnya tidak akurat dan hanya menawarkan suasana tenang.

Golongan Darah

Pada 1930-an, para ilmuwan menemukan bahwa darah manusia benar-benar mengandung beberapa petunjuk tentang asal-usul seseorang. Ini bukan dari getaran elektronik, tetapi pengelompokan darah, atau yang dikenal sebagai golongan darah: A, B, AB, dan O.

Golongan darah ini lebih pasti karena misalnya, bayi yang memiliki golongan darah AB dan ibunya punya golongan darah A, pasti darah ayahnya bergolongan B atau AB. “Akhirnya, para hakim dapat menggunakan sains yang sebenarnya untuk menentukan apakah seorang pria dapat secara realistis menjadi ayah seorang anak,” jelas Milanich.

Tetapi, bahkan sains pun ternyata memiliki keterbatasan. Kendati bisa menentukan seseorang bukanlah ayah seorang anak, tes ini tak bisa digunakan untuk mengonfirmasi apakah seorang pria memang ayah seorang anak. Karena hal ini dan beberapa faktor lainnya, kata Jill Adams dalam “Paternity Testing: Blood Types and DNA” yang terbit di laman Nature, butuh waktu beberapa lama bagi sistem hukum untuk memercayai sistem golongan darah.

Baca juga: Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika

Seiring waktu, penggunaan antigen darah tambahan, seperti sistem MN dan Rh, mempertajam penggunaan golongan darah untuk masalah paternitas dan forensik. Namun, sistem ini pun hanya 40 persen efektif untuk membuang kemungkinan seseorang pria sebagai ayah seorang anak.

Pada 1970-an, munculah pengujian human leukocyte antigen (HLA). HLA adalah suatu protein yang ditemukan pada sebagian besar sel di tubuh manusia. Ia bertanggung jawab pada pengaturan sistem imun tubuh. Biasanya digunakan untuk proses pencocokan antara donor dan penerima donor pada proses transplantasi sel punca. HLA tidak sama dengan golongan darah meski sama-sama bersifat genetik. HLA mampu menyingkirkan kemungkinan laki-laki sebagai ayah dengan efektivitas 80 persen.

DNA

Orang yang membuat terobosan adalah Oswald Avery, seorang ahli imunokimia asal Kanada di Rumah Sakit Institut Rockefeller untuk Penelitian Medis. Pada 1944, dia mengidentifikasi DNA sebagai prinsip transformasi atau sistem pewarisan sifat.

Sebelumnya, Avery telah bekerja selama bertahun-tahun dengan bakteri yang bertanggung jawab atas pneumonia, pneumococcus. Ia pun menemukan bahwa jika pneumococcus yang hidup tapi tak berbahaya dikawinkan dengan bakteri yang lemah tetapi mematikan, bakteri yang tidak berbahaya akan segera menjadi mematikan.

Avery pun bertekad mencari tahu zat mana yang bertanggung jawab untuk transformasi. Untuk itu, ia berkerja sama dengan ilmuwan lainnya, Colin MacLeod dan Maclyn McCarty. Mereka mulai memurnikan dua puluh galon bakteri.

Baca juga: DNA Tan Malaka Menghilang

Avery lalu mencatat bahwa zat itu tampaknya bukan protein atau karbohidrat. Namun lebih merupakan asam nukleat, dan dengan analisis lebih lanjut, ia dinyatakan sebagai DNA.

Pada 1944, setelah banyak pertimbangan, Avery dan rekan-rekannya menerbitkan sebuah makalah di Journal of Experimental Medicine, di mana mereka menguraikan sifat DNA sebagai “prinsip transformasi”. Meskipun makalah itu tidak banyak dibaca oleh ahli genetika.

Seiring berjalannya waktu, DNA telah berkembang pesat. Laman Easy DNA menjelaskan di Amerika Serikat, kelima puluh negara bagian memiliki undang-undang yang memungkinkan pengujian DNA. Mereka pun memiliki lebih dari 150 laboratorium pengujian DNA. Di sana, mereka melakukan ribuan pengujian pribadi tentang siapa ayah mereka.

TAG

dna genetika

ARTIKEL TERKAIT

Svante Pääbo dan Jalan Panjang Menjawab Asal-Usul Manusia Saksi Mata-mata Dieksekusi Melengserkan Dekan yang Suka Perempuan Akar Kebudayaan Nusantara dan Pasifik Siapa Sebenarnya Bangsa Indonesia? Perubahan Peran Perempuan di Nusantara Historia Raih LINE Indonesia Awards Tak Ada Ras, Semua Manusia dari Afrika DNA dan Keragaman Manusia Mencintai Indonesia dalam Suka dan Duka