Suatu hari, Truman Simanjuntak mengikuti seminar tentang Austronesia. Arkeolog senior yang banyak meneliti manusia prasejarah ini kemudian dirubung wartawan. Seorang wartawan mengajukan pertanyaan tak terduga: Siapa sebenarnya bangsa Indonesia?
“Jawaban saya waktu itu rasanya kurang memuaskan. Ini lalu menjadi tantangan saya untuk menjawabnya,” kata Truman dalam bedah buku terbarunya, Manusia-Manusia dan Peradaban Indonesia yang diadakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Truman menilai arkeologi bisa menjawab pertanyaan itu. Ilmu ini bisa menggali masa lampau tanpa batas, selama ada interaksi manusia dengan lingkungan yang kemudian menyimpan data hingga kini.
“Nilai-nilai yang tercermin itu kemudian menjadi pondasi masyarakat masa sekarang dan masa yang akan datang,” ujar Truman.
Truman memerlukan waktu lima tahun untuk menyarikan semua temuannya menjadi jawaban pertanyaan wartawan itu. Ia tuangkan jawabannya dalam buku yang menjelaskan perjalanan Indonesia sejak dihuni manusia pertama hingga kini.
Baca juga: Awal Kedatangan Manusia ke Nusantara
Menurut Truman, ada empat kata yang mengantarkan Indonesia pada kondisi masa kini. “Ada proses migrasi, adaptasi, interaksi, kemudian berevolusi hingga pada Indonesia yang kita punyai kini,” katanya.
Dari proses itu, kata Truman, Indonesia sarat dengan nilai-nilai dan capaian para leluhur. Misalnya, ada Homo erectus yang punya ide dalam menciptakan bentuk hiasan geometris pada cangkang kerang. Belum lagi gambar cadas tertua yang usianya puluhan ribu tahun, yang lawannya hanya ada di Spanyol. “Indonesia harusnya leading peradaban global,” tegas Truman.
Ketika melakukan perjalanan ke pelosok Nusantara, Truman menemukan ilmu pengetahuan, kearifan lokal terutama dalam interaksi dengan lingkungan, keuletan, dan gotong royong. Inilah yang mestinya menjadi landasan dalam berbangsa dan bernegara.
“Semua nilai itu dipres oleh para pendahulu kita menjadi Pancasila,” kata Truman. “Pancasila bukan begitu saja muncul pada sekitar kemerdekaan, perumusannya iya, tapi nilainya sudah ada jauh sejak ribuan tahun.”
Kesadaran Multietnik
Sementara itu, peneliti utama Balai Arkeologi Yogyakarta, Harry Widianto, mengungkapkan bahwa perjalanan evolusi Homo sapiens yang rumit menjadi awal terbentuknya populasi yang mendiami kepulauan Nusantara. Diaspora Sapiens atau manusia modern dimulai sejak pertama kali mereka keluar dari Afrika, kemudian menjangkau berbagai wilayah yang jauh, termasuk Indonesia.
Setidaknya, sejak 70 ribu tahun lalu kepulauan Nusantara sudah disinggahi manusia modern awal. Ras Australomelanesid ini mendiami Indonesia bagian timur. Di antara mereka kemudian ada yang bermigrasi ke barat melalui Nusa Tenggara Barat dan Timur. “Perjalanan dimulai 40 ribu tahun lalu,” kata Harry.
Jejak mereka kemudian bercampur dengan ras Mongoloid di wilayah NTT dan NTB. Ras Mongoloid ini mengisi bagian barat, seperti Jawa, Kalimantan, dan Sumatra, juga Asia Tenggara.
“Ini saudara kita datang dari utara menempati kepulauan Indonesia bagian barat,” kata Harry. “Manusia yang ketemu di NTT-NTB itu percampuran.”
Baca juga: Leluhur Langsung Bangsa Indonesia dari Taiwan
Menurut Harry, pengetahuan ini penting bagi kesadaran multietnik masyarakat Indonesia. Kendati berbeda secara fisik, tapi secara historis orang-orang di Indonesia bagian timur sangat dekat dengan masyarakat bagian barat.
“Kita punya tiga warna, di timur, NTB-NTT, dan barat. Kita ini berangkai. Ini penting untuk memahami diversitas untuk kedamaian bangsa,” kata Harry.
Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo, mengamini kalau keberagaman Indonesia telah ditunjukkan oleh populasi awal yang mendiaminya. Selain yang sudah dibahas dalam buku Truman, Daud menjelaskan bahwa hasil penelitian genetika terbaru semakin menunjukkan itu, bahwa Australomelanesid yang cukup lama mendiami kepulauan Nusantara rupanya memiliki ciri yang berbeda-beda.
“Kalau saya membaca deskripsi Australomelanesid (dalam buku karya Truman, red.) yang cukup lama tinggal di Indonesia memberi kesan jenis manusia ini mempunyai ciri yang sama di daerah-daerah huniannya. Penelitian genetika akhir-akhir ini, Australomelanesid punya ciri beda,” kata Daud.
Baca juga: Dua Rute Migrasi Leluhur Nusantara
Di wilayah barat, ras Australomelanesid tak memiliki genetika Denisovan, yaitu manusia Neanderthal yang pernah hidup di Asia Timur dan Eropa Timur. Genetika ini hanya ditemukan pada ras Australomelanesid yang mendiami wilayah timur Indonesia.
“Bagaimana mereka masih menyimpan gen itu sampai sekarang? Ini bukti keunikan kepulauan Indonesia. Pembahasan ini akan memperkaya soal keragaman tadi,” kata Daud.
Bagi Daud, evolusi budaya tak selalu berjalan linier dan sama di semua tempat. Proses perubahannya multilinier, bahkan ke segala arah.
“Daya serap budaya luar maupun kemampuan dan kebutuhan berinovasi beda-beda, bergantung pada komunitas yang menjalaninya,” ujar Daud.
Baca juga: Leluhur Orang Papua
Contohnya sikap orang Baduy yang tidak ingin menyerap modernitas. Padahal, mereka berada tak jauh dari hingar bingar Jakarta. Komunitas pengguna kubur megalitik di Gunung Kidul dan pendukung kubur kalang di Bojonegoro diyakini masih eksis ketika Kerajaan Mataram Hindu mendirikan candi-candi megahnya.
“Seakan tersisih padahal mereka bagian dari kerajaan itu. Mereka tetap teguh pada prinsipnya. Saya kira ini hampir terjadi di setiap perjalanan budaya di segala zaman,” kata Daud.
Ini yang kemudian memunculkan bercak-bercak budaya di negara kepulauan Indonesia. Ini pula yang akan menambah keyakinan akan adanya keragaman.
“Di Indonesia tidak pernah ada yang mendominasi. Selalu terjadi percampuran persamaan kebersamaan,” ujar Daud.
Karakter Luhur Manusia Indonesia
Hidup di wilayah kepulauan Nusantara memunculkan karakter masyarakat yang khas. Menurut Daud, lingkungan kepulauan akan membentuk budaya yang jarang ditemukan di wilayah lain.
“Saya berharap kajian adaptasi lingkungan kepulauan dibahas lebih banyak di buku ini, walaupun di dalam buku sudah disebut kekhasan kita adalah kepulauan,” kata Daud.
Nilai luhur manusia Indonesia, lanjut Daud, berpangkal pada proses adaptasi terhadap lingkungan kepulauan. Karenanya orang Indonesia lebih mengenal sebutan tanah air ketimbang mother land atau father land.
Baca juga: Bukti Leluhur Austronesia Tertua di Taiwan dan Cina Selatan
Ini yang menjadi ciri budaya Nusantara, bahwa masyarakatnya sangat menghargai perpaduan tanah dan air sebagai sumber kehidupan. “Makanya pasti ada inovasi yang muncul dalam lingkungan yang khas ini,” ujar Daud.
Tinggal di lingkungan kepulauan juga memunculkan sifat keterbukaan. Para leluhur bangsa Indonesia terbiasa bertualang, singgah ke berbagai tempat, bertemu ragam manusia dan budaya yang berbeda.
“Mereka selalu bertemu manusia dan hal baru di lingkungan yang baru. Jadi tidak mungkin jadi orang tertutup,” ujar Daud.
Baca juga: Indonesia Penutur Austronesia Terbesar
Kebiasaan bertualang mencari hal baru itu menumbuhkan kepercayaan pada kekuatan di luar dirinya. Misalnya, ketidakpastian di laut menyebabkan mereka lebih religius.
“Mengapa Pancasila, sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa?” tanya Daud. “Akarnya adalah perjalanan panjang para penghuni kepulauan yang penuh bahaya, lebih berisiko daripada kalau di daratan.”
Sifat tak kenal menyerah untuk menemukan hal baru juga menjadi karakter orang kepulauan. Ini muncul dari tradisi leluhur untuk mengkoloni daerah baru, menjelajah dari satu pulau ke pulau lainnya.
Baca juga: Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika
Peribahasa seperti bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, menurut Daud, juga mencerminkan jiwa para penutur Austronesia. “Tradisi mereka berlayar menentang angin dulu, susah dulu, tapi kalau tak menemukan tempat baru, mereka hanya akan kembali mengikuti arusnya, kembali pulang,” lanjut Daud.
Daud menilai Truman telah menginisiasi upaya untuk tak hanya bercerita tentang masa lalu lewat data arkeologi. Tapi karya terbarunya ini telah merumuskan lebih jauh bagaimana nilai luhur yang berasal dari masa prasejarah ditransmisikan ke masa kini. Termasuk, bagaimana ciri keindonesiaan yang bineka tunggal ika terbentuk.
“Pesan seperti itu jarang kita temui dalam buku arkeologi,” kata Daud. “Ini memberikan contoh kerja arkeologi yang bermanfaat lebih nyata, di mana kita bisa ikut membentuk kebangsaan kita.”