Bukti Leluhur Austronesia Tertua di Taiwan dan Cina Selatan
Rute migrasi leluhur Austronesia dari Taiwan dan Cina Selatan bisa dirunut sampai Nusantara lewat data linguistik, genetik, dan arkeologis.
Bahasa merupakan warisan utama penutur Austronesia untuk populasi seluas setengah bola dunia, khususnya yang ada di Nusantara. Selain bahasa, jejak mereka juga terlacak lewat warisan biologis dan budaya lainnya.
Rumpun bahasa Austronesia bisa jadi terbesar di dunia. Ada sekira 1.200 bahasa dan sekitar 270 juta penutur. Menurut Peter Bellwood dalam “The Austronesians in History: Common Origins and Diverse Transformations”, termuat di The Austronesians, Historical and Comparative Perspectives, itu berkisar dari bahasa dengan puluhan juta penutur, seperti Melayu, Jawa, Tagalog, hingga sejumlah besar bahasa dengan hanya sedikit penutur, yaitu ratusan.
“Yang terakhir ini sangat lazim di Oceania,” catat dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University itu.
Orang-orang yang skeptis mungkin mempertanyakan apakah 270 juta penutur itu berbagi leluhur budaya dan biologis yang sama? Lalu bagaimana orang-orang yang berbicara bahasa dalam rumpun Austronesia saat ini tidak identik secara fisik?
Menurut Bellwood pertanyaan itu sulit dijawab secara absolut karena setiap masyarakat Austronesia memiliki sejarah yang berbeda. Bagaimana pun masyarakat Austronesia juga sangat bervariasi bahkan pada masa lalu.
Namun, orang pastinya harus menolak penjelasan kalau bahasa Austronesia menyebar dengan cara meminjam bahasa oleh masyarakat menetap yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain, orang-orang yang menetap ini menerima keberagaman. Kendati contoh penyebaran semacam ini mungkin terjadi, terutama di Melanesia barat. Pasalnya, jika memang begitu yang terjadi, pola distribusi sebagaimana yang ditemukan tak mungkin bisa sedemikian tak terputus dan bebas kantong.
Masyarakat Austronesia jelas telah menyebar dan menjadi kian beragam dengan cara yang rumit. Namun, kata Bellwood, jejak mereka tetap bisa terlacak, selain lewat bukti linguistik, juga secara biologis dan arkeologis. Bukti inilah yang menunjukkan adanya asal-usul bersama dari wilayah-wilayah penyebaran budaya Austronesia. Semuanya dapat dirunut kembali hingga sekira 6.000 tahun yang lalu.
Persebaran bahasa Austronesia mulai dari Madagaskar di barat hingga ke Pulau Paskah di timur. Secara universal bahasa ini dipakai di Indonesia, Filipina, Singapura, dan Malaysia, serta penduduk asli Taiwan. Bahasa ini juga digunakan oleh populasi minoritas di Vietnam, Kamboja, dan Kepulauan Mergui di lepas pantai Myanmar.
Lebih jauh ke timur, bahasa-bahasa Austronesia menempati hampir semua pulau-pulau Oceania. Ini dengan pengecualian di pedalaman dan sebagian besar wilayah pesisir pulau besar Papua.
Baca juga: Indonesia Penutur Austronesia Terbesar
Warisan bahasa Austronesia ditandai dengan kata-kata yang mirip dalam bunyi dan makna. Beberapa kata, seperti bilangan satu sampai sepuluh di berbagai kawasan persebaran Austronesia menunjukkan adanya kekerabatan itu.
Misalnya, dalam bahasa Jawa kuno, hitungan dua sampai sepuluh, yaitu: rwa, telu, pat, lima, nem, pitu, wwalu, sanga, sapuluh. Dalam bahasa Minangkabau, hitungan dua sampai sepuluh, yaitu: duo, tigo, ampek, limo, anam, tujuah, salapan, sambilan, sapuluah. Dalam bahasa Bugis, hitungannya menjadi dua, tellu, eppa, lima, enneng, pitu, aruwa, asera, seppulo. Itu tak jauh berbeda dengan bahasa Tagalog yang kini menjadi bahasa resmi di Filipina, yaitu: dalawa, tatló, ápat, lima, ánim, pitó, waló, siyám, sampû.
Contoh lain lagi milsanya kata manuk dalam bahasa Jawa yang berarti burung, dalam bahasa Tagalog disebut manok. Orang Fiji menyebutnya manumanu. Sementara bagi orang Samoa itu adalah manu.
Bahasa-bahasa yang mirip satu sama lain itu bisa dirunut dari induknya yang berada di Taiwan. Dalam bukunya, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Bellwood menjelaskan ciri budaya dan bahasa ini telah ada di Taiwan 1.000 tahun sebelum muncul di pulau-pulau sebelah setelannya.
Sebagaimana juga dijelaskan Paul Jen-kuei Li, pakar bahasa Formosa dari Institute of Lingustics, Academia Sinica, di Taipei dalam tulisannya “The Great Diversity of Foromosan Languages” yang termuat di Jurnal Language and Linguistics. Menurutnya bahasa Formosa di Taiwan sangat beragam di semua tingkat linguistik, mulai dari aspek fonologi, morfologi, sampai sintaksis.
“Sebenarnya bahasa Formosa adalah yang paling beragam dari seluruh keluarga bahasa Austronesia,” katanya. “Keanekaragaman linguistik ini menunjukkan tingkat lamanya permukiman di pulau itu, yang mana menjadikan Taiwan sebagai pusat penyebaran bahasa Austronesia.”
Bukti Tertua
Soal asal usul, Sofwan Noerwidi, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta dalam “Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia” termuat di Amerta menjelaskan, teori Out of Taiwan meraih banyak dukungan. Ini sebagaimana yang didukung pula oleh Peter Bellwood. Bellwood mengajukan penjelasan kalau para penutur Austronesia tersebar dari Taiwan dan bermula dari kawasan di pantai Cina bagian selatan.
Namun, kata Sofwan, ada teori asal usul Austronesia lainnya yang juga berkembang. “Ada tiga kubu model rekonstruksi, Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan, dan dari kawasan Melanesia,” jelasnya.
Teori Out of Taiwan lebih banyak pendukung karena ditopang pula oleh bukti arkeologis. Sejauh ini diketahui kalau Taiwan menyimpan bukti budaya Austronesia yang tua. Sebelum sampai dan menetap di sana, rupanya menurut Bellwood orang Austronesia pertama diyakini berasal dari wilayah Cina Selatan. Itu seperti yang ditemukan di Situs Hemudu, Teluk Hangzou, Provinsi Zhejiang, di Cina Selatan dari 7.000 tahun lalu.
Di Hemudu ditemukan sisa-sisa tembikar, alat pertanian kayu dan tulang, bukti untuk pertukangan dan pembuatan kapal, dayung, kumparan pemintal benang (spindle whorl) untuk menenun, anyaman, tali, dan sejumlah besar padi yang dipanen. Di situs itu juga digali tulang babi peliharaan, anjing, ayam, dan kerbau peliharaan.
Menurut Peter Bellwood dalam “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation”, termuat di The Austronesians, Historical and Comparative Perspectives, temuan-temuan itu menunjukkan adanya pergeseran dari gaya hidup berburu yang diduga berasal dari masa Paleolitik Asia Timur ke kehidupan menetap sambil bertani dan beternak.
Berikutnya, penduduk Hemudu dan permukiman pertanian Cina kontemporer lainnya pun hidup selama satu episode evolusi budaya. Ini yang pada akhirnya memiliki dampak terhadap seluruh wilayah Asia Timur dan Pasifik beriklim sedang dan tropis.
“Salah satu dampak ini adalah ekspansi penutur bahasa Austronesia yang pada akhirnya fenomenal, meskipun yang mengembangkan momentum pertamanya 1.000 km atau lebih di selatan Hemudu (Pulau Taiwan, red.),” kata Bellwood.
Sementara catatan arkeologis Neolitik di Taiwan dimulai dari sekira 5.000-6.000 tahun lalu. Itu ditunjukkan dengan kumpulan temuan arkeologis bertipe Cina Selatan.
“Mungkin pada awalnya dibuat oleh sekelompok kecil pemukim pertanian yang melintasi Selat Formosa dari Fujian,” kata Bellwood.
Tipe temuan Cina Selatan yang dimaksud seperti tembikar berhias motif tali, alat batu yang dipoles, dan mata tombak. Sementara barang-barang lain seperti kumparan pemintal benang (spindle whorl) untuk menenun, kemungkinan tiba beberapa waktu kemudian.
Pun di Taiwan, ada bukti pertanian beras dari sisa serbuk sari berumur 5.000 tahun yang lalu. Juga diketahui adanya pembukaan hutan untuk pertanian.
“Di Taiwan, mereka hidup relatif tidak terganggu selama beberapa waktu. Itu sebelum salah satu komunitas Taiwan-Austronesia pindah ke selatan ke Filipina,” jelas Bellwood.
Baca juga: Dua Rute Migrasi Leluhur Nusantara
Sebagian para penutur Austronesia dari Taiwan kemudian bergerak menembus kepulauan Filipina. Dari sana satu kelompok bergerak ke barat daya, melalui Kalimantan dan kemudian Sumatra dan Jawa. Itu dengan cabang-cabang menembus Semenanjung Melayu, bagian timur Vietnam dan Kamboja.
Kelompok lainnya dari Filipina pindah ke selatan ke Sulawesi. Rupanya Sulawesi adalah lokasi koloni Austronesia tertua di Nusantara. Berdasarkan hasil penelitian terbaru diketahui awal kolonisasi Austronesia di Kepulauan Nusantara adalah sekira 3.500 tahun yang lalu. Ini diperoleh dari pertanggalan Situs Minanga Sipakko di Sulawesi Barat.
Dari Sulawesi, baru kemudian secara gradual semakin lebih muda ke barat menuju Sumatera dan Jawa. Yang ke selatan menuju Kepulauan Sunda Kecil. Sementara yang ke timur menuju Maluku dan Pasifik.
Perjalanan ini diketahui berkat bukti material bertipe sama yang juga tercatat ada di pulau-pulau Asia Tenggara. Semuanya muncul di lokasi penggalian yang tersebar luas antara 6.000 dan 3.500 tahun yang lalu. Tampilan temuan itu menunjukkan tren yang mulanya berkembang di wilayah Cina, Taiwan, dan Luzon. Umur temuan yang setipe ditemukan semakin ke selatan semakin muda, yaitu menuju Indonesia dan Oseania barat. Di antaranya adalah tembikar berslip merah yang berusia 4.500-3.500 tahun lalu, muncul di daerah pesisir dan pedalaman Filipina, Sulawesi, Kalimantan Utara, dan Halmahera.
Sementara penelitian serbuk sari di dataran tinggi Jawa Barat dan Sumatra menunjukkan bahwa beberapa pembukaan hutan yang cukup intensif untuk pertanian, sudah berlangsung setidaknya 4.000 tahun lalu. Bahkan mungkin sebelumnya.
Pada 1.500 SM, koloni petani ini telah menyebar ke perbatasan barat Melanesia. Ekspansi terus-menerus melalui Melanesia ke Polinesia barat. Ini yang kemudian diwakili oleh budaya Lapita, khususnya berupa tembikar berslip merah dengan berbagai ukiran. Persebaran ini tampaknya lebih cepat daripada gerakan sebelumnya.
“Itu mungkin karena produksi makanan yang dilakukan populasi berbahasa Papua (populasi pendahulu penutur Austronesia, red.) sudah menempati beberapa wilayah pantai yang besar pulau New Guinea, Bismarck, dan Solomon,” lanjut Bellwood.
Baca juga: Awal Kedatangan Manusia ke Nusantara
Sementara keterkaitan dengan Austronesia yang secara biologis ditandai dengan keberadaan ras Mongoloid Selatan di wilayah persebarannya, di luar Melanesia dan sebagian Filipina. Secara genetis keterkaitan orang-orang di Nusantara khususnya di bagian barat dengan Taiwan dan Cina Selatan juga terbukti.
Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, menjelaskan paling tidak DNA orang-orang Indonesia bagian barat, khususnya Kalimantan, Sumatra, dan Jawa terpengaruh oleh DNA leluhur penutur Austronesia. Ini dapat dilacak sejak 4.000 tahun yang lalu.
Secara genetis, menurut Hera, datangnya penutur Austronesia ini adalah gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan.
“Termasuk dari Cina Daratan masuk ke Formosa, ke Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” kata Hera.
Warisan bersama juga terlihat lewat kebiasaan seperti seni tato, penggunaan cadik pada kano, dan karakteristik sosial seperti perhatian terhadap urutan kelahiran saudara kandung dan penghormatan untuk pendiri suku dan leluhur.
Pada akhirnya setelah terpisah dan tersebar, masing-masing para penutur bahasa Austronesia mengembangkan bahasanya dan mulai meninggalkan kebiasaan lama. Seiring penyesuaian mereka dengan lingkungan dan budaya berbeda, setiap kelompok akhirnya menemukan nama baru bagi kelompoknya masing-masing.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar