Masuk Daftar
My Getplus

Akar Kebudayaan Nusantara dan Pasifik

Hubungan budaya masa lalu menjadi modal dalam membangun hubungan diplomatik antara Indonesia dengan kawasan Pasifik.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 31 Mar 2021
Bangsa Melanesia di Vanuatu, negara kepulauan di Samudra Pasifik bagian selatan. (Katja Tsvetkova/Shutterstock).

Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan hubungan dengan kawasan Pasifik. Namun, Indonesia belum mendapat pengakuan sebagai bagian dari wilayah itu meskipun memiliki akar budaya yang sama.

“Akar budaya di Pasifik kalau bisa dikatakan asalnya dari Nusantara,” kata Daud Aris Tanudirjo, dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada, dalam diskusi daring bertema “Relasi Peradaban: Nusantara dan Pasifik” yang diadakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Selasa (30/03).

Pemerintah telah melakukan pendekatan dengan negara-negara Pasifik melalui budaya dan ekonomi. Melalui program Pasific Elevation, diharapkan pengaruh Indonesia di kawasan Pasifik meningkat. Dengan program itu, Indonesia ingin membantu pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Pasifik.

Advertising
Advertising

“Kita sharing ilmu pariwisata, penanggulangan bencana alam sebagai sesama negara di cincin api yang rentan terhadap bencana, kita basis ekonominya perikanan kita share info juga, kita juga menyediakan pasar, siap menyerap produk negara Pasifik,” kata Tantowi Yahya, duta besar Indonesia untuk Selandia Baru, Samoa, Kerajaan Tonga, Kepulauan Cook dan Niue, sekaligus dubes keliling untuk Pasifik. 

Baca juga: Dua Rute Migrasi Leluhur Nusantara

Secara ekonomi, Pasifik merupakan pasar potensial untuk produk Indonesia. Hubungan Indonesia dan Pasifik dinilai akan membuka kesempatan bagi wilayah Indonesia Timur untuk mengembangkan produk lokalnya.

“Tak mesti lewat Jakarta atau Surabaya. Ekspor komoditas dari Indonesia Timur itu langsung. Artinya bisa menekan ongkos, biaya ekonomi rendah,” kata Tantowi.

Sektor pariwisata di wilayah Indonesia Timur pun diproyeksikan bakal lebih terbuka dengan terjalinnya hubungan ini. “Ekonomi akan tumbuh, beban pemerintah Indonesia terhadap kawasan timur akan tereduksi karena mereka sudah menemukan pasarnya sendiri,” kata Tantowi.

Namun, kata Tantowi, selama ini dunia cenderung memotret Indonesia dari sisi Samudera Hindia. Karenanya lebih dianggap sebagai bagian dari Asia alih-alih bagian dari negara-negara Pasifik.

Padahal, dari sisi kebudayaan Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat di Pasifik. “Kita punya modal kuat untuk meyakinkan bahwa kita adalah bagian mereka,” ujar Tantowi. “Kita bukan orang asing di kawasan Pasifik.”

Kebudayaan Pasifik

Daud menjelaskan, kepulauan Indonesia telah menjadi jembatan antara dua daratan di utara dan selatan, serta lautan di barat dan timur. Sejak lebih dari 60.000 tahun lalu Nusantara menjadi jalur persebaran manusia dari Asia ke Pasifik.

“Sebagai jembatan, kalau kita yakini manusia paling awal dari Afrika maka sebetulnya penghunian Pasifik termasuk Australia tak bisa dilepaskan selalu melalui Indonesia dulu,” kata Daud.

Baca juga: Indonesia Penutur Austronesia Terbesar

Itu terbukti oleh jejak budaya yang menghubungkan Indonesia dengan Australia. Misalnya, di Indonesia ditemukan gambar cadas yang mempengaruhi bentuk gambar cadas di Australia. “Jelas kita mengisi kebudayaan yang ada di Pasifik,” kata Daud. “Juga penghunian Kepulauan Pasifik, Papua, Papua Nugini, Australia, itu dari Nusantara.” 

Arus Globalisasi

Namun, bukan hanya Nusantara yang membawa pengaruh ke wilayah Pasifik. Nusantara pun mendapatkan pengaruh dari masyarakat yang berasal dari wilayah kepulauan di Samudra Pasifik itu. “Seolah kita mengkolonisasi daerah sana, tapi yang terjadi adalah pertukaran budaya,” kata Daud.

Berdasarkan penelitian arkeologi, arus balik dari Pasifik ke Nusantara terjadi pada 12.000 tahun lalu. Terbukti dengan adanya hewan dan tanaman dari Papua yang dibawa manusia ke kawasan Wallacea. Di antaranya walabi, kuskus, bandikut, pisang, tebu, dan beberapa jenis tanaman lain.

“Sehingga Alfred Russel Wallace [naturalis Inggris] bisa mengidentifikasikan adanya percampuran itu,” kata Daud. “Jadi, tak hanya satu arah."

Baca juga: Keistimewaan Wallacea

Meningkatnya relasi budaya Nusantara dan Pasifik terjadi pada sekira 5.000 tahun yang lalu pada awal migrasi bangsa Austronesia. Migrasi ini mengakibatkan proses globalisasi di wilayah Indo-Pasifik. Dalam prosesnya terjadi pertukaran, baik barang, budaya, maupun manusia.

Misalnya, teknologi gerabah Asia Tenggara atau Taiwan mulai diperkenalkan para migran sekira 3.500 tahun lalu di Melanesia dan Polinesia. Teknologi ini kemudian dikenal sebagai gerabah Lapita. “Gerabah Lapita awalnya dianggap perkembangan dari Indonesia Timur tapi kini ada dugaan lain, yaitu dibawa langsung dari Mikronesia,” kata Daud. 

Sebaliknya, pada masa yang sama batu obsidian dari Melanesia dibawa hingga ke Nusantara. Batu obsidian dipertukarkan dari Melanesia hingga ke Sabah (barat) maupun ke Fiji di timur.

Baca juga: Bukti Leluhur Austronesia Tertua di Taiwan dan Cina Selatan

Para migran berbahasa Austronesia itu mengadopsi pula tanaman setempat untuk dikonsumsi. Di antaranya taro, uwi (yams), sukun, pisang, dan tebu.

Tanaman-tanaman itu tadinya di daerah Indonesia timur sebagai bagian dari masyarakat Melanesia, lalu diambil oleh orang Austronesia. Tanaman-tanaman itu tersebar luas bersama persebaran bangsa penutur Austronesia.

“Suku Maori juga bawa ini, karena mereka sebetulnya juga Austronesia, berangkatnya dari Nusantara kemudian berkembang sampai ke Selandia Baru,” kata Daud.

Baca juga: Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika

Sementara pengaruh budaya Austronesia tak menghapus jejak genetika yang menunjukkan hubungan antara Nusantara dengan Pasifik sejak puluhan ribu tahun lalu. Itu terbukti dari keberadaan genetika Denisovan, khususnya di Melanesia dan Australia.

“Di Indonesia Timur termasuk suku bangsa yang sudah hadir cukup lama di sana biasanya memiliki genetika Denisovan yang khusus dimiliki Melanesia dan Australia. Tapi ada percampuran dengan genetika baru,” kata Daud.

Bahkan bukan hanya dari sisi genetika, cara bercocok tanam tertua di Papua pun masih ada. Justru para penutur Austronesia mempelajarinya dari masyarakat penghuni Papua. “Identitas mereka sendiri masih ada,” kata Daud. 

Teknologi Pelayaran

Proses pertukaran itu memanfaatkan teknologi pelayaran yang maju. Ini yang membuat para penutur Austronesia menjadi pelaut ulung. Mereka berhasil bergerak cepat ke timur, mendatangi daerah-daerah baru, mengkoloni pulau yang tak berpenghuni di Pasifik.

Menurut Daud, teknologi kapal double-canoe itu bermuatan banyak, namun tetap cukup cepat sehingga proses migrasi dan interaksi menjadi jauh dan intensif. “Masyarakat Austronesia tak hanya mengambil tapi juga memberi. Jadi take and give, ini jadi ada percampuran,” ujar Daud.

Namun, ada masa ketika proses globalisasi itu mengalami penurunan. Jika sebelumnya arus pertukaran budaya, benda, dan orang terjadi dengan wilayah Pasifik, pada masa berikutnya bergeser ke barat. Pasalnya, pusat perekonomian lebih ramai di jalur dari dan menuju Tiongkok, India, Yunani, dan Romawi. 

“Ini yang menarik banyak minat waktu itu, jadi Pasifik agak tertinggal. Ini yang membuat seolah Pasifik terpisah,” kata Daud. 

Baca juga: Awal Kedatangan Manusia ke Nusantara

Itu pun menjelaskan mengapa seolah Nusantara kemudian berpaling ke wilayah barat. Maka, tak heran jika Indonesia lebih dilihat sebagai bagian dari Asia daripada Pasifik.

“Ini karena pasang surut globalisasi. Pada masa Hindu Buddha, interaksi lebih banyak ke Tiongkok, India, dan Mediterania,” kata Daud. “Pengaruhnya berhenti sampai ke perbatasan garis Wallace.”

Kini, kata Daud, ketika minat banyak negara kembali menuju ke Pasifik, negara-negara serumpun Austronesia mulai memanfaatkan hubungan budaya masa lalu sebagai sarana diplomatik. Wilayah Papua bisa dibilang merupakan serambi, tempat pertemuan antara Nusantara dan Pasifik. 

“Orang Indonesia harusnya banyak berperan, kita juga harus tampil, bijak menempatkan posisi kita,” kata Daud. 

Baca juga: Leluhur Langsung Bangsa Indonesia dari Taiwan

 

TAG

dna indonesia australia austronesia

ARTIKEL TERKAIT

Satu Rumpun Bahasa Svante Pääbo dan Jalan Panjang Menjawab Asal-Usul Manusia Saksi Mata-mata Dieksekusi Melengserkan Dekan yang Suka Perempuan Siapa Sebenarnya Bangsa Indonesia? Perubahan Peran Perempuan di Nusantara Historia Raih LINE Indonesia Awards Tak Ada Ras, Semua Manusia dari Afrika DNA dan Keragaman Manusia Mencintai Indonesia dalam Suka dan Duka