Penelitian genetis menunjukkan kemungkinan migrasi Austronesia ke kepulauan Nusantara hingga Oceania didominasi oleh masyarakat yang menganut paham matrilineal. Ini menyiratkan bahwa perempuan berperan besar dalam kependudukan di kawasan itu.
"Mereka sepertinya telah sangat mendominasi migrasi pada masa lalu. Sistem kekerabatan matrilokal atau matrilineal pun diduga mendukung fenomena itu," ujar Marlin Tolla, peneliti Balai Arkeologi Papua dalam diskusi via zoom, yang diadakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas).
Kesimpulan itu berdasarkan sampel data DNA mitokondria yang ditemukan pada penduduk Papua. DNA mitokondria diwarisi lewat garis ibu, sedangkan DNA kromosom diwarisi dari garis ayah. Karenanya data DNA mitokondria itulah yang kemudian bisa menunjukkan adanya kontribusi perempuan dalam menciptakan dinamika demografi di wilayah persebaran para penutur Austronesia.
"Berkembangnya bahasa Austronesia bisa saja adalah campur tangan sistem matrilokal," kata Marlin.
Baca juga: Bukti Leluhur Austronesia Tertua di Taiwan dan Cina Selatan
Marlin menjelaskan, kependudukan manusia paling awal di Papua diperkirakan dimulai sejak 40.000-55.000 tahun lalu. Pihaknya menemukan adanya haplogroup (kelompok gen) DNA mitokondria, yakni haplogroup P, Q, dan N, tersebar sangat pesat di wilayah ini sebelum masa persebaran Austronesia.
Haplogroup N diperkirakan muncul di Afrika Timur pada 55.000 hingga 67.000 tahun lalu, yang dikuatkan oleh temuan arkeologis dan genetis.
"Haplogroup N adalah salah satu cikal bakal atau tertua yang ditemukan terutama di Papua hingga saat ini," kata Marlin.
Tertinggi adalah haplogroup Q terutama ditemukan di dataran tinggi Papua dari sekira 28.000 tahun lalu. Didapatkan pula di dataran rendah sebagian.
Sedangkan haplogroup P diperkirakan muncul sekira 45.000 tahun lalu. Persebaran terbanyak di dataran tinggi Papua.
"Tentu dengan haplogroup ini berpengaruh terhadap bagaimana hubungan mereka ketika penutur Austronesia masuk ke Papua pada masa holosen," kata Marlin.
Berdasarkan teori Out of Taiwan, sekira 4.000 tahun yang lalu para penutur Austronesia tiba di kepulauan Nusantara dari Taiwan, lalu menyebar hingga kepulauan Oceania. Mereka datang membawa paket budaya Neolitik, di antaranya budaya gerabah, beliung, bahasa, kemampuan berlayar, bertani, menciptakan teknologi, mengolah makanan, dan domestikasi hewan.
"Sebaran penutur Austronesia kita dapatkan bahkan juga di Papua yang kita pikirkan hanya orang-orang berbahasa Papua yang hadir di sana. Nanti kita lihat dari sisi genetik," kata Marlin.
Baca juga: Mula Pendatang Mendiami Papua
Sepertinya, kata Marlin, perempuan dan komunitas yang menganut paham matrilineal merupakan cikal bakal kependudukan Austronesia di Papua. Pihaknya menemukan sebaran haplogroup B dari masa persebaran Austronesia. Adapun haplogrup B diperkirakan berasal dari Taiwan atau Cina Selatan.
"Ternyata mitokondria DNA leluhur Asia sangat tinggi ditemukan sebanyak 94 persen, sementara mitokondria DNA leluhur Melanesia hanya menyusun enam persen dari garis keturunan mama yang didapat pada pemukim di Papua," kata Marlin.
Adapun Y kromosom, yang menandai garis keturunan ayah, ada sebanyak 28 persen, berasal dari leluhur Asia. Kemudian 66 persennya adalah leluhur Melanesia atau penutur bahasa Papua.
Artinya, kata Marlin, pengaruh perempuan Austronesia sangat kuat pada saat itu, terutama di antara penduduk Polinesia kala itu. Sebaliknya, pengaruh perempuan Melanesia sangat sedikit.
"Fenomena apa ini? Apakah Austronesia perempuan sangat kuat? Kenapa laki-laki atau orang Melanesia yang berdiam di Papua sebelum kedatangan Austronesia lebih memilih mengadakan percampuran dengan penutur Austronesia perempuan yang datang?" kata Marlin.
Baca juga: Indonesia Penutur Austronesia Terbesar
Teorinya, penutur Austronesia kemudian mewarisi sistem matrilokal atau matrilineal. Ini yang lalu mempengaruhi peranan besar perempuan dalam pengambilan keputusan, kepemilikan atas kekayaan, dan status dalam kehidupan masyarakat.
Bahkan di daerah asalnya, dominasi perempuan ini tampaknya sudah ada. Ini didapati lewat temuan di situs kubur yang berada di Cina Selatan. Komunitas di sini merupakan para penutur Austronesia awal. Bekal kuburnya yang melimpah, yaitu berupa perhiasan, keramik, dan tumpukan kerang menjadi penanda status perempuan dalam komunitas itu.
"Penutur Austronesia mewarisi sistem kekerabatan matrilokal atau matrilineal sebelum patrilokal terjadi seperti pada masa sekarang," kata Marlin.
Pada masa kini, warisan dominasi perempuan masih bisa dilihat jelas di Papua. Misalnya, penduduk perempuan di sekitar Danau Sentani telah dikenal sebagai nelayan andal. Beberapa klan di Papua hingga Oceania juga diketahui memiliki pemimpin perempuan. Ada pula rumah adat yang diperuntukkan bagi perempuan sebagai kepala suku.
Namun, karena adanya difusi budaya, respons adaptasi, gaya hidup, dan sebagainya, dalam perkembangannya dominasi semacam itu hanya dianut oleh beberapa suku di Papua dan terutama di Oceania. "Tidak ada salahnya dengan sistem patrilineal, tapi ini kadang menjadi faktor perempuan menjadi orang kedua dan tidak berperan dalam hal besar," kata Marlin.
Masyarakat Agraris
Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, para antropolog telah mempelajari bahwa di masyarakat Indonesia bagian timur pembagian tugas dan kekuasaan merata antara kedua jenis kelamin. Lebih jauh, ia membandingkan perempuan yang hidup di lingkungan masyarakat agraris memang lebih bebas daripada di kota-kota niaga di pesisir.
Sebagai wilayah yang juga menjadi pendaratan para penutur Austronesia, di Jawa gelar kebangsawanan juga bisa diturunkan lewat garis ibu. Ada beberapa data sejarah yang membenarkan bahwa perempuan pada masa lalu mengambil bagian besar dalam kehidupan ekonomi dan politik.
Baca juga: Ratu Sima dalam Catatan Tiongkok
Tersebutlah penguasa Ho-ling dari 674 bernama Sima (Hsi-mo) yang diyakini sebagai perempuan. Pada masa-masa berikutnya tercatat nama Sri Isanatunggawijaya dari Kerajaan Medang, sebagai perempuan pertama di atas singgasana raja yang tercatat dalam prasasti. Kemudian ada Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddhani dan Dewi Suhita dari masa Majapahit.
Beberapa prasasti juga menyebut bangunan suci yang didirikan oleh para ratu (bini-haji). Prasasti tertua, Prasasti Teru I Tepusan (842) mencatat peristiwa dibukanya lahan persawahan milik Sri Kahulunan.
"Agaknya ia adalah permaisuri raja yang berkuasa," kata Lombard.
Baca juga: Syarat Perempuan Bertahta
Prasasti lain menyebut peran perempuan sebagai pemilik tanah. Prasasti Taji (901) yang ditemukan di Ponorogo memberitakan pembukaan tanah untuk pembangunan candi. Tercatat nama-nama perempuan pemilik tanah yang tanahnya dibeli: Si Padas, ibunya Ni Sumeg, dan Si Mendut, ibunya Ni Mangas.
Kebebasan perempuan dalam usaha juga disebut dalam prasasti. Prasasti Kinawe dari masa Kadiri (928) menyebutkan sebuah kawasan tanah milik perempuan bangsawan bernama Dyah Muatan yang ternyata penguasa dari Gunungan. Dijelaskan bahwa yang bakal menjadi pewarisnya ialah putranya sendiri Dyah Bingah serta keturunan Dyah Bingah. Bukan saudara tirinya, baik laki-laki maupun perempuan, hasil perkawinan Dyah Muatan dengan suaminya sekarang.
"Sebab tanah milik itu bukan kepunyaan rakryan suaminya," kata Lombard.
Baca juga: Perempuan-Perempuan Bersenjata
Di luar itu, dikenal pula tokoh perempuan dalam pewayangan Jawa yang menonjol karena keberaniannya. Srikandi, salah seorang istri Arjuna, selalu siap sedia menyambar musuh dengan busurnya.
"Seperti juga Srikandi, di kalangan perempuan Jawa masih tetap ada segi jantan dan semangat juangnya," kata Lombard.
Diketahui juga kalau raja-raja Jawa mempunyai pasukan pengawal yang terdiri dari perempuan perkasa. Di antaranya yang terkenal adalah korps perempuan dari keraton Jawa, prajurit estri Mangkunegaran.
Pengaruh yang Mengubah
Lombard berpendapat kecenderungan untuk membatasi kebebasan perempuan dan mengawasi segala gerak-geriknya muncul bersamaan dengan perkembangan bandar-bandar dan agama Islam.
"Bahkan di Jawa Tengah, para priyayi mengembangkan suatu kesusastraan sok moralis yang sangat seksis sifatnya dengan tujuan menampilkan perempuan sebagai makhluk yang tak pernah dewasa," kata Lombard.
Lombard mengutip pepatah terkenal wong wadon iku suargane nunut, nerakane katut. Artinya perempuan itu, baik ke surga maupun ke neraka selalu mengikuti suaminya. "Mereka boleh dikatakan disisihkan dari kehidupan politik yang sebelumnya menjadi ajang mereka berkiprah," lanjut Lombard.
Baca juga: Peran Perempuan Jawa Kuno
Menurut Lombard, tak seorang pun perempuan bertakhta ketika Mataram Islam atau kota-kota di pesisir Jawa naik ke atas panggung sejarah. Terkecuali adalah Ratu Kalinyamat yang menguasai pelabuhan Jepara pada abad ke-16.
Terlepas dari pendapat Lombard, ketika perkembangan budaya India di Nusantara pun kedudukan perempuan tak selalu setara dengan laki-laki. Kedudukan perempuan yang lebih rendah, salah satunya, muncul dalam praktik sati, di mana perempuan harus mengikuti suaminya hingga ajal menjemput. Jika tidak ia bukanlah istri setia.
Namun, kebiasaan yang ditemukan di Jawa sedikit berubah dari asalnya di India. Menurut Titi Surti Nastiti, epigraf Puslit Akenas, dalam berita Portugis disebutkan sati tidak hanya dilakukan perempuan. Laki-laki bangsawan diketahui melakukan bunuh diri sebagai tanda setia kepada rajanya.
Baca juga: Istri Setia Sampai Sati
Ada lagi anggapan kalau perempuan pada masa Jawa Kuno sering kali dijadikan hadiah untuk raja. Misalnya, dikisahkan dalam naskah Nagarakrtagama, Raja Majapahit Hayam Wuruk bersuka cita menikmati gadis-gadis ketika mampir di suatu desa dalam lawatan agungnya bekeliling negeri.
Soal ini, kata Titi, konteks zaman haruslah diperhatikan. Perbuatan Hayam Wuruk kala itu belum tentu dipandang buruk. Justru mungkin ia akan dianggap sebagai raja yang dicintai. Apalagi jika mengingat Mpu Prapanca sebagai penulis Nagarakrtagama, tak akan mungkin menuliskan hal buruk tentang rajanya.
Baca juga: Perempuan Setelah Perang Jawa
Sementara itu, sejarawan Peter Carey pernah berpendapat saat acara bedah bukunya, Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Pada Abad ke XVIII dan XIX, bahwa tatanan perempuan berubah 180 derajat setelah Perang Jawa. Pada masa Hindia Belanda (1818-1942) yang menandai era kolonial sesungguhnya, Jawa mengadopsi sistem patriarki. Ini terasa pada masa berkuasanya Herman Willem Daendels (1808-1811).
"Daendels mengumumkan bahwa 'perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dengan perempuan hanya ada urusan pribadi'," kata Carey.
Pilihan sebagai Manusia Modern
Ayu Utami, sastrawan yang banyak mengangkat tema feminisme, dalam diskusi yang diadakan Puslit Arkenas itu, berpendapat perlunya melihat apa yang membedakan kondisi dulu dengan kini. Khususnya soal apa yang membuat struktur masyarakat yang tadinya memberi peran besar kepada perempuan kemudian bergeser ketika masuknya pengaruh dari India, Arab, dan Barat?
“Masyarakat Asia Tenggara memberi peran lebih besar kepada perempuan. Lalu bagaimana pergeserannya dari struktur Asia Tenggara tadi ketika bertemu dengan pengaruh India, Arab, dan Barat?” kata Ayu.
Yang jelas, lanjut Ayu, kini ada hal istimewa yang dimiliki oleh masyarakat modern, yaitu kesadaran akan hak asasi manusia. Dulu, mungkin tak ada kesadaran itu sehingga bisa menjadikan perempuan tak dilihat sebagai manusia yang berdiri sendiri. Mereka dianggap dalam perlindungan tuan, suami, atau ayahnya.
Baca juga: Bukan Raden Ayu Lemah Lembut
“Kita mendukung emansipasi, mendukung siapa pun manusia mengaktualisasi dirinya tanpa diskriminasi. Itulah kesadaran modern, juga kesadaran yang dimungkinkan sistem masyarakat modern yang sudah mengakui hak asasi manusia,” kata Ayu.
Menurut Ayu, dalam kehidupan modern di mana ada perlindungan langsung dari negara, pandangan lama tentang perempuan semacam itu harus diubah.
“Masalah kita sekarang bagaimana menggunakan hasil penelitian tadi kepada pilihan modern atau pilihan kita hari ini. Bagaimana hasil penelitian ini mempengaruhi sikap kita dan mutu argumentasi kita dalam membuat pilihan, baik politik maupun sehari-hari,” kata Ayu.