BEBERAPA waktu lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kerusuhan besar yang terjadi di Wamena, Papua. Bentrok yang menewaskan puluhan orang itu oleh sebagian pihak dianggap sebagai kegagalan pemerintah dalam menjamin keselamatan warga negaranya.
Namun diberitakan detik.com ratusan warga Minang, yang dianggap mengalami kerugian terbesar dalam kerusuhan tersebut, memilih untuk bertahan di Wamena. Ketua Harian DPP Ikatan Keluarga Minang (IKM) Andre Rosiade meminta pemerintah menjamin keselamatan para pendatang di Wamena.
“Kita berkeliling Kota Wamena untuk melihat kondisi kota termasuk melihat kantor Bupati Jayawijaya yang terbekar. Kami juga berkunjung ke posko pengungsian warga Minang di Jalan Irian. Di Posko itu kami bertemu dengan warga Minang. Ada 300 orang warga Minang tidak ingin dievakuasi, tetap ingin hidup dalam melanjutkan usahanya di Wamena,” kata Andre.
Ikatan masyarakat pendatang (baca: orang-orang asing di luar suku asli) di Papua memang sudah kuat terbentuk. Mereka telah menetap dalam waktu yang sangat lama. Sehingga tidak heran jika kerusuhan sebelumnya tidak begitu saja membuat mereka menyerah, kemudian keluar dari Papua.
Baca juga: Papua, Hadiah Ulang Tahun untuk Raja Belanda
Ragam Pengaruh
Bukti tertua kedatangan pendatang di tanah Papua tercatat dalam naskah perjalanan para utusan kaisar Tiongkok di Nusantara. Peneliti Belanda WP Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa menuturkan para penguasa kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa telah menghadiahi Kekaisaran Tiongkok dengan berbagai upeti sejak abad ke-9. Salah satu hadiah kegemaran kaisar yang turut disertakan adalah burung-burung dengan warna yang begitu memikat mata, yang tidak ada di negerinya, yakni burung kasuari, burung nuri hitam, dan burung buceros.
“Ada seekor burung penghasil crane-crest (mahkota bangau) yang terkenal. Burung ini sebesar angsa, berbulu hitam, lehernya panjang, dan memiliki paruh runcing. Tengkorak kepalanya kira-kira setebal 2,5 cm. Tengkorak ini berwarna merah di luar dan berwarna seperti lilin malam berwarna kuning di dalam. Bentuk tengkorak ini sangat bagus sehingga disebut mahkota bangau,” tulis Groeneveldt.
Berbagai jenis burung yang terekam dalam catatan penjelajah Tiongkok itu merupakan hewan endemik Papua. Saat para penguasa di Sumatera dan Jawa menjadikannya sebagai bahan upeti maka tidak heran jika banyak peneliti yang menyebut tanah Papua telah memiliki hubungan yang dekat dengan daerah-daerah Indonesia lainnya jauh sebelum bangsa Eropa menduduki daerah paling timur Nusantara itu. Meski begitu selama periode tersebut tidak banyak bukti yang menyebut kegiatan mereka di sana selain berburu burung.
Baca juga: Papua di Antara Konflik Dua Negara
Dalam tulisannya “Akulturasi di Irian Barat” dimuat Penduduk Irian Barat, sejarawan HW Bachtiar menjelaskan jika pada abad ke-14 Papua telah menjalin hubungan dengan banyak kerajaan di Nusantara, termasuk Sriwijaya dan Majapahit. Hal itu terjadi bersamaan dengan peningkatan kebutuhan upeti para raja untuk Kekaisaran Tiongkok.
Mengenai keberadaan Majapahit di Papua, Kitab Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca menuturkan kalau Majapahit memang telah sampai di Papua. Di bawah pimpinan Maha Patih Gajah Mada, kerajaan yang hampir menyatukan seluruh wilayah Nusantara itu mampu menancapkan kekuasaannya di sana.
“Tetapi keterangan ini tidak menjelaskan siapa orang-orang yang menghubungkan Sriwijaya atau Majapahit dengan Irian Barat. Apakah pada waktu mereka menetap di sana atau telah berhubungan dengan penduduk pribumi Irian Barat,” ucap Bachtiar.
Setelah Sriwijaya dan Majapahit mundur dari pergolakan kekuasaan di Nusantara, kerajaan-kerajaan Islam mulai menampakkan diri. Tidore menjadi satu dari sedikit kerajaan Islam yang mampu menunjukkan taringnya dalam masa peralihan ini. Berpusat di Maluku, Sultan Tidore berusaha memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Papua.
Pertama-tama Tidore menyisir daerah pesisir. Di daerah yang sekarang dikenal sebagai Raja Ampat, sultan mengangkat beberapa tokoh menjadi penguasa yang mewakili Tidore di Papua. Lambat laun wilayah kekuasaannya semakin bertambah dan banyak tokoh yang mulai ditunjuk memerintah di sana. Penduduk Maluku pun banyak yang bermigrasi, sambil menyebarkan agama Islam mereka membangun kehidupannya di Papua.
Mengenai hubungan para pendatang dari Maluku ini dengan penduduk lokal, Bachtiar menuturkan bahwa tidak selalu baik. Beberapa penguasa memilih metode yang kasar, seperti memungut pajak dengan kekerasan, atau menghancurkan desa-desa di sekitarnya dan menjadikan penduduknya budak untuk diperjualbelikan.
Baca juga: Setengah Abad Papua Bersama Indonesia
Di Bawah Orang Eropa
Pada pertengahan abad ke-16, kekuatan besar dari Barat muncul di perairan sekitar Papua. Mereka adalah para penjelajah dari Spanyol dan Portugis yang datang dalam misi pencarian rempah-rempah. Meski sempat beberapa waktu mendarat, kedua bangsa ini tidak memberikan pengaruh yang besar.
Memasuki abad ke-17 giliran Belanda yang mulai berkeliaran di sekitar perairan Papua. Mereka membawa misi yang sama dengan Spanyol dan Portugis. Nama-nama seperti Willem Cornelis Schouten, Jan Cartenz, dan Jacob Weyland memimpin pasukan Belanda dalam sejumlah survei alam di Papua.
Walau telah berkuasa di sejumlah tempat, Belanda tidak langsung menyasar Papua. Mereka lebih banyak memanfaatkan tangan Sultan Tidore untuk mengelola alam di sana. Baru pada abad ke-19, para pejabat Belanda memutuskan mengambil alih pemerintahan Papua. Berbondong-bondong mereka membangun pemukiman yang layak ditinggali orang-orang Eropa. Akibat kedatangan itu, kebudayaan dari Barat mulai bersinggungan di sekitar pesisir Papua.
“Penduduk pantai sejak pertengahan abad ke-19 telah mendapat pengaruh agama Protestan yang dibawa oleh para penyiar agama tersebut dari Negeri Belanda. Sementara para pendeta agama Katolik baru tiba pada awal abad ini, dan pengaruh mereka terutama meluas di daerah pantai selatan,” tulis Koentjaraningrat dkk dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk.
Baca juga: Papua di Antara Bung Besar dan Sang Jenderal
Pada masa ini, pemerintah Belanda membawa serta pekerja-pekerja dan pegawai tingkat rendah dari wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi untuk membantu pembangunan wilayah Papua. Percampuran suku di sini telah terjadi dalam lingkup yang luas. Singgungan antara penduduk lokal dengan para pendatang ini menghasilkan bentuk kebudayaan baru. Banyak dari mereka yang belakangan diketahui menetap di Papua walau pemerintah Belanda yang membawa mereka telah menarik diri dari Indonesia.
Gelombang perpindahan besar juga terjadi pada 1926. Pemerintah Belanda menempatkan ratusan orang Indonesia yang dianggap sebagai pemberontak ke daerah ‘Tanah Merah’ Boven-Digul. Sebagai orang-orang yang diasingkan, mereka dipisahkan dari segala bentuk interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Barulah setelah Indonesia merdeka, beberapa bekas tahanan mulai berhubungan dengan penduduk lokal. Meski banyak yang kembali ke tempat asalnya, beberapa orang memutuskan tetap tinggal di Papua.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama