BEBERAPA hari terakhir ini pengguna Twitter dihebohkan dengan cuitan dari Permadi Arya alias Abu Janda yang menanggapi kasus penggerudukan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Dalam cuitan di akun pribadinya @permadiaktivis, Abu Janda menyinggung satu ormas tertentu dan mengaitkan kasus itu dengan peristiwa kerusuhan di Manokwari, Papua Barat.
“Gara2 FPI geruduk asrama Papua di Surabaya.. sekarang warga Papua marah tidak terima sampai rusuh bakar2an,” tulis Permadi
Cuitan yang telah dibagikan sebanyak lebih dari 3.000 kali itu mendapat respon yang beragam. Kebanyakan dari mereka marah dengan ucapan Permadi itu. Sampai-sampai menyebut dirinya pemecah belah bangsa.
Upaya memecah bangsa nyatanya telah dilakukan sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Belanda menjadi dalang di balik semua itu dan lagi-lagi nama Papua terseret ke dalamnya.
Baca juga: Setengah Abad Papua Bersama Indonesia
Papua Dipisahkan
Setelah Indonesia resmi berdiri sebagai sebuah negara, batas-batas wilayah segera ditetapkan. Perhatian terhadap Papua pun tidak pernah luput. Oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) wilayah paling timur Indonesia itu ditempatkan ke dalam Provinsi Maluku, dari delapan provinsi yang dipilih (Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan).
Sukarno bahkan menegaskan dalam pidato radio tanggal 23 Agustus 1945, setelah resmi menjadi kepala negara, bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia. Dikutip dari Documenta Historica karya O. Raliby: “Bangsaku sekalian! Di Sumatera, di Jawa, di Borneo, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku –dari Sabang sampai Merauke!”
Namun kenyataannya walau telah ditetapkan sebagai wilayah Indonesia, Papua mendapat perhatian yang kurang dari pemerintah. Hal itu membuat kekuatan Belanda, melalui Menteri Jajahan H.J. van Mook, dengan mudah merangsak masuk ke wilayah itu.
Mendapat bantuan dari Inggris dan Sekutu, Belanda berhasil mengupayakan penguasaan kembali Kepulauan Indonesia melalui kekuatan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Sebelum melancarkan aksinya, mereka menunggu pasukan Sekutu membersihkan sisa-sisa tentara Jepang di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Papua.
Sesudah Jepang menyerah, J.P.K. van Eechoud yang mewakili pemerintah jajahan Belanda mengangkat Kolonel R. Abdoelkadir Widjojoatmodjo menjadi Commanding Officer NICA (CONICA) yang bertugas mengawasi wilayah Papua.
Di sinilah peran besar van Eechoud dimulai. Dalam tulisannya “Sejarah Irian Jaya” dimuat Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk, H.W. Bachtiar menjelaskan peranan Eechoud. Ia dipercaya pemerintah Belanda untuk memimpin usaha pemisahan Papua dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Pada 15 Juli 1946, melalui Staatsblad (Lembaran Negara), Belanda menyatakan pemisahan seluruh daerah Papua dari Karesidenan Maluku dan wilayah Indonesia secara keseluruhan. Papua membentuk pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh van Eechoud sebagai residen pertamanya.
“Pembentukan karesidenan ini tanpa mengundang perhatian, karena diadakan dalam rangka perubahan pemerintahan. Papua dianggap sebagai satu kesatuan politik yang berdiri sendiri,” tulis Bachtiar.
Bachtiar juga menyebut jika para pejuang gerakan kemerdekaan Indonesia, seperti M. Kasieppo, Lucas, dan Nicolaas Jouwe, yang semula menentang penjajahan Belanda berhasil dibujuk. Sementara pejuang lain yang tetap menentang, seperti Silas Papare, Alwi Rachman, Marcus Indey, dan Lukas Rumkoren ditangkap.
Baca juga: Papua di Antara Bung Besar dan Sang Jenderal
Pertentangan Pertama
Di tempat lain, van Mook berhasil mengumpulkan kepala-kepala daerah yang tidak dikuasai pemerintah Republik Indonesia dalam sebuah konferensi, yang dikenal sebagai Konferensi Malino. Keberadaan konferensi ini sangat menentukan nasib Papua dan daerah lain yang tergoda untuk merdeka. Sementara bagi Belanda sendiri, Konferensi Malino merupakan jalan pemecahan wilayah Indonesia yang mereka cita-citakan.
“Pemecahan wilayah Indonesia memberi kemungkinan kepada pihak Belanda untuk, seperti akan terbukti kemudian, memisahkan Papua dari daerah-daerah Indonesia yang lain,” tulis Bachtiar.
Setelah Konferensi Malino, van Mook kembali mengadakan pertemuan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Kali ini sang menteri mengundang orang-orang yang ingin bebas dari Indonesia tetapi khawatir dengan kedudukannya di dalam ketatanegaraan yang baru.
Golongan Indo-Belanda misalnya, mereka takut dengan nasib mereka di negeri yang merdeka ini. Oleh karena itu mereka mengusulkan agar wilayah Papua dijadikan tempat bagi golongan mereka, dan siapapun yang tidak ingin tunduk pada pemerintahan baru, dapat hidup bebas.
Mereka pun meminta pemerintah Belanda memberikan status politik khusus bagi Papua. Sehingga walau berada di wilayah Indonesia, kedudukan golongan Indo-Belanda ini tetap ada di bawah Kerajaan Belanda. Usul itupun segera mendapat perhatian dari penduduk di negeri Belanda.
“Kedudukan golongan Indo-Belanda di Indonesia dijadikan alasan yang dianggap sesuai dengan perikemanusiaan dan ajaran agama untuk menghindari agar Papua terlepas dari kekuasaan Belanda dan jatuh ke tangan ‘kaum republik’ (pemerintah Indonesia) yang dianggap merugikan mereka,” tulis Koentjaraningrat dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk.
Satu hal menarik yang terjadi pada konferensi di Pangkal Pinang adalah sikap para peserta terhadap penduduk di Papua. Meskipun wilayah paling timur Indonesia itu menjadi persoalan utama, tetapi tidak ada satupun yang menyinggung keberadaan pribumi di sana. “Dalam mempersoalkan kedudukan daerah itu, penduduknya seakan-akan tidak ada,” tulis Bachtiar.
Baca juga: Negara Indonesia Timur
Sebagai lanjutan dari Konferensi Malino, pada 18 Desember 1946, van Mook menyelenggarakan konferensi di Denpasar. Peserta yang hadir berasal dari wakil-wakil daerah Kalimantan dan Grote Oost (Timur Besar). Agenda utamanya adalah pengajuan pembentukan Negara Indonesia Timur.
Namun dalam rancangan yang dipaparkan tidak menyebut Papua sebagai bagian dari negara baru tersebut. Pemerintah Belanda tetap menghendaki Papua sebagai wilayah yang tidak terikat dengan negara manapun, kecuali Negeri Belanda.
“Meskipun para peserta konferensi dipilih oleh pemerintah Belanda, van Mook tidak dapat menghindari pertentangan pendapat yang dikemukakan sejumlah peserta,” tulis Koentjaraningrat.
Para peserta beranggapan Papua, sebagai daerah terbesar di wilayah timur, akan sangat membantu pertumbuhan negara baru mereka. Ditambah, sumber daya di Papua yang melimpah dapat digunakan untuk memperbaiki keadaan keuangan Indonesia Timur.
Hingga hari terakhir konferensi, Belanda tetap pada pendiriannya untuk tidak melibatkan Papua. Sementara di sisi lain kecaman dan tentangan terus berdatangan dari peserta konferensi kepada usulan pemerintah Belanda itu. Tidak ada satupun kata sepakat yang terlontar.
“Pertentangan pendapat ini mewujudkan pertentangan pertama antara pihak Indonesia dan pihak Belanda mengenai kedudukan Papua, suatu pertentangan yang akan berlangsung lama,” tulis Bachtiar.
Baca juga: Nasihat Soeharto untuk Gubernur Irian Jaya