PEMILU tinggal sepekan lagi. Dalam hajatan akbar pesta demokrasi itu, kita berperan menentukan masa depan bangsa untuk lima tahun ke depan. Calon presiden ataupun calon legislatif saling bersaing untuk memenangkan kursi jabatan. Siapapun yang terpilih, mereka akan menjadi pejabat publik yang sejatinya mengabdi pada rakyat.
Membahas soal pemilu, Soeharto adalah satu-satunya presiden Indonesia yang terpilih lewat lima kali proses pemilihan tersebut. Sebagai seorang pejabat negara yang memerintah selama 32 tahun, Soeharto tentunya sudah mencicip asam garam dan dia pastinya tahu bagaimana menjadi pejabat yang patut. Meski yang bersangkutan tak selalu konsisten dengan ucapannya, ada baiknya kita bahas kembali.
Salah satu nasihat terpenting Soeharto pernah disampaikan kepada Gubernur Irian Jaya (kini Papua) Jacop Patipi. Pada 1993, Patipi baru saja dilantik. Dia kemudian sowan ke Jakarta meminta petunjuk dan arahan dalam menjalankan tugas. Soeharto lantas memberikan petuah tentang "3 TA" alias tiga penyakit utama yang menggerogoti mental pejabat: harta, tahta, dan wanita.
Baca juga: Misi Soeharto di Papua
Soal tahta, Soeharto mengingatkan, untuk mencapai kedudukan yang tinggi janganlah menempuh cara-cara yang tidak baik. Capailah jabatan dengan bukti prestasi. “Jika seseorang mau bekerja keras, dialah yang akan mendapat imbalan posisi yang tinggi,” demikian pesan Soeharto kepada Patipi dalam koran Pelita, 22 April 1993.
Mengenai harta, Soeharto mengatakan, orang boleh saja kaya selagi dalam batas wajar. Kekayaan hendaknya diperoleh dengan cara halal. Dan yang terpenting: direstui Tuhan. “Dan gunakan kekayaan yang diperolehnya itu untuk membantu orang yang kekurangan (susah) jangan dipakai sendiri.”
Sedangkan soal wanita, Soeharto menekankan agar pejabat dimanapun berada hati-hati terhadap wanita. Karena memiliki tujuan terselubung, banyak orang berupaya untuk menyuguhkan wanita kepada seorang pejabat. Ini harus dihindari.
Baca juga: Ketika Poligami Jadi Soal Negara
“Ini yang paling tinggi barangkali yang Bapak Presiden berikan kepada kami untuk menjaga diri agar tidak terjerumus ke jalan yang tidak benar, ” kata Pattipi.
Inkonsisten
Bagaimana dengan Soeharto sendiri? Dari “3 TA” yang telah disebut, Soeharto hanya tangguh di bagian wanita. Tak ada yang meragukan betapa cintanya Soeharto kepada Siti Hartinah, ibu negara yang akrab disapa Ibu Tien. Soal kesetiaan terhadap pasangan, maka kita bisa mencontoh Soeharto.
“Hanya ada satu nyonya Soeharto, dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbullah satu pemberontakan yang terbuka dalam rumah tangga Soeharto,” demikian kata Soeharto kepada jurnalis Jerman, O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto.
Baca juga: Ketegaran Tien Soeharto dan Hartini Sukarno
Namun tidak demikian halnya dengan harta dan tahta. Selama berkuasa Soeharto beserta kroninya banyak terlibat dalam upaya-upaya memperkaya diri hingga tujuh turunan. Tak hanya meraup pundi-pundi, sosiolog cum jurnalis George Junus Aditjondro dengan gamblang memaparkan bagaimana Soeharto menjadikan Istana Kepresidenan sebagai lahan subur bagi berkembangnya korupsi dan kroniisme yang menyengsarakan ekonomi negara.
Gurita bisnis rezim Soeharto menggeliat di sana-sini lewat sistem oligarki berkaki tiga: istana, tangsi, partai penguasa. Istana adalah lingkaran dalam oligarki; keluarga besar Presiden yang juga meliputi kerabat dan keluarga besar yang tinggal di luar Istana. Sementara tangsi merupakan kekuatan militer dan kepolisian yang terlibat kongsi bisnis dengan perusahaan atau yayasan milik keluarga Cendana. Partai penguasa merujuk kepada Golongan Karya yang menjadi benteng dalam melindungi bisnis Istana sekaligus melancarkan bisnis keluarga Soeharto.
“Setelah mengakumulasi kekayaan yang berlimpah, keluarga Soeharto juga mulai menjadi tuan tanah, seperti oligarki model Amerika Latin, dengan mengakumulasi lahan, mulai dari peternakan Tapos di Kabupaten Bogor sampai konsesi hutan di Suriname, Amerika Tengah.” tulis George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan:
Baca juga: Jasin, Jenderal Penantang Soeharto
Soal tahta, Soeharto berhasil melanggengkan kekuasaan otoriter selama tiga dekade. Pakar politik-militer Salim Said mengemukakan cara Soeharto memukul lawan politiknya sekaligus memelihara sekutu dan anak buah yang loyal. Selain itu, mesin-mesin politik dikerahkan sedemikian rupa untuk memenangkan pemilu. Dan bila perlu, operasi khusus dilancarkan untuk rekayasa politik sekaligus membungkam kubu oposisi.
“Soeharto pada hakikatnya – seperti hampir semua penguasa otoriter – adalah seorang machiavelian yang mempraktikkan taktik stick and carrot (tongkat dan wortel). Mereka yang menguntungkan kekuasaan, mendapat anugrah, sementara yang berpotensi membahayakan, dengan cara saksama dan secepatnya, disingkirkan,” tulis Salim Said dalam pengantar Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Setelah berkuasa selama 32 tahun lamanya, pada 21 Mei 1998, Soeharto dijungkalkan oleh rakyatnya sendiri dari singgasana kepresidenan karena dianggap tidak amanah dan tidak sanggup lagi mengelola negara.
Baca juga: Nasib Jenderal Pembangkang di Era Soeharto