Masuk Daftar
My Getplus

Gunung Agung dan Masagung

Tak hanya ikut "mencerdaskan bangsa", Gunung Agung berjasa dalam perebutan Irian Barat.

Oleh: Petrik Matanasi | 24 Mei 2023
Anggota Thay San Kongsie. The Kie Hoat, Lie Thay San, dan Tjio Wie Tay.. (repro "Bapak Saya Pejuang Buku")

Toko Buku Gunung Agung yang menjadi pemberitaan tanah air sepekan belakangan akhirnya buka suara terkait isu akan PHK karyawan secara besar-besaran. Pihak manajemen toko buku legendaris itu akhirnya mengumumkan keputusan pilu, yakni akan menutup toko-tokonya yang masih tersisa di tahun ini.

“Penutupan toko/outlet tidak hanya kami lakukan akibat dampak dari pandemi Covid-19 pada tahun 2020 saja, karena kami telah melakukan efisiensi dan efektifitas usaha sejak tahun 2013 untuk berjuang menjaga kelangsungan usaha dan mengatasi kerugian usaha akibat permasalahan beban biaya operasional yang besar. Penutupan toko/outlet yang terjadi pada tahun 2020 bukan merupakan penutupan toko/outlet kami yang terakhir karena pada akhir tahun 2023 ini kami berencana menutup toko/outlet milik kami yang masih tersisa,” ujar manajemen Gunung Agung sebagaimana diberitakan cnbcindonesia.com, 23 Mei 2023.

Padahal, toko buku yang berpusat di Kwitang, Jakarta Pusat itu telah puluhan tahun ikut “mencerdaskan bangsa”. Hal itu memang menjadi obsesi pendiri Gunung Agung, Tjio Wie Tay, sejak memutuskan berbisnis buku. Maka setiap kesempatan untuk mencerdaskan bangsa datang, ia tak ragu untuk ambil bagian.

Advertising
Advertising

Pada awal 1960-an Indonesia sedang diramaikan oleh upaya perebutan Irian Barat dari tangan Belanda. Presiden Sukarno yang menggunakan segalam macam cara untuk mendapatkanya, lalu mengeluarkan Trikora.

Baca juga: Eks KNIL Ikut Bebaskan Papua

Namun, mendapatkan Papua yang oleh Bung Karno disebut Irian Barat tak hanya diupayakan lewat kekuatan senjata. Ada pula upaya mendekatkan Papua dengan Indonesia melalui bacaan. Sebagai bekas daerah pendudukan Belanda, tentu banyak buku yang beredar di Papua adalah buku-buku berbahasa Belanda.

Oleh karena itu, Tjio Wie Tay sebagai pedagang dan penerbit buku kemudian diajak untuk membiasakan orang-orang di Papua dengan bahasa Indonesia melalui buku. Tjio Wie Tay dikenal oleh Presiden Sukarno dalam Pekan Buku Indonesia 1954. Tjio Wie Tay yang –kemudian dikenal sebagai Masagung– sudah menjadi direktur utama NV Gunung Agung yang memiliki toko buku Gunung Agung itu pun menerima ajakan pemerintah untuk ikut serta perebutan Irian Barat.

NV Gunung Agung kala itu sudah dikenal sebagai penerbit buku. Menurut Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984, Tjio Wie Tay memulai Gunung Agung sejak 1953. Dalam waktu relatif singkat jumlah tokohnya bertambah dan tersebar di beberapa kota.

Operasi Tjio Wie Tay di Papua yang sepi tentu berbeda dari para kombatan yang memanggul senjata. Pada 1963, Tjio Wie Tay mengadakan pameran buku di beberapa kota di Papua: Kotabaru, Biak, Merauke, Fak-fak, Manokwari, dan Sorong.

Baca juga: Beratnya Medan Trikora Papua

“Bahkan kemudian membuka cabang Kotabaru dan Biak. Cabang Gunung Agung di Manokwari disiapkan sejak tahun 1962 tetapi baru diresmikan pada September 1964,” catat Ketut Masagung, putra Tjip Wie Tay, dalam Bapak Saya Pejuang Buku.

Semasa di Papua, Tjio Wie Tay menjadi kenal dengan beberapa orang seperti sukarelawan sohor Herlina si “Pending Emas” dan diplomat Mr. Sudjarwo Tjondornegoro (asisten Menteri Luar Negeri) yang ikut mengurus masalah Papua. Di sana, Sudjarwo pernah tinggal satu atap dengan Tjio Wie Tay.

Suatu hari, ketika Tjio Wie Tay sedang mengobrol dengan Mr Sudjarwo, Herlina, dan lain-lain, berulangkali telpon berdering. Rupanya telepon itu ditujukan kepada Tjio Wie Tay.

“Gunung Agung, ada telepon,” kata orang yang mengangkat telpon memberi tahu Tjio Wie Tay, yang namanya termasuk sulit diucapkan oleh kebanyakan orang Indonesia.

Di lain waktu, telpon berdering lagi untuk Tjio Wie Tay. Yang mengangkat adalah Mr Sudjarwo. Mulanya Sudjarwo hendak memanggail Tjio Wie Tay sebagai Mas Gunung Agung. Namun itu dirasa terlalu panjang hingga dia merasa perlu menyingkatnya.

“Mas Agung, ada telpon,” kata Sudjarwo kepada Tjio Wie Tay.

Setelah itu, Tjio Wie Tay pun dipanggil Mas Agung. Ketut Masagung mencatat bahwa Herlina adalah orang pertama yang memanggil Mas kepada Tjio Wie Tay.

Demi memudahkan banyak pihak, Tjio Wie Tay mendaftarkan nama baru untuk dirinya, Mas Agung, di Pengadilan Negeri Jakarta pada Juni 1963. Namun dalam keputusan pengadilan pada 26 Agustus 1963, nama resmi baru Tjio Wie Tay bukan Mas Agung tapi Masagung.

Baca juga: Gunung Agung 70 Tahun Jual Buku

Meski kurang sesuai apa yang diajukan sebelumnya, pria kelahiran 1927 yang tutup usia pada 24 September 1990 ini tetap menerima nama Masagung itu. Setelah masuk Islam dan naik haji, Tjio Wie Tay dikenal sebagai Haji Masagung. 

Setelah Presiden Sukarno lengser, Haji Masagung menjadi salah satu pengusaha buku nasional yang penting. Toko Gunung Agung-nya kemudian bersaing dengan Gramedia, yang sama-sama punya penerbitan dan banyak toko di Indonesia.

TAG

operasi trikora sejarah-papua

ARTIKEL TERKAIT

Jayapura Bermula dari Kamp KNIL Diplomasi Gelap Pembebasan Irian Barat Imajinasi Yamin Tentang Papua Sikap PKI Atas Papua Debat Pendiri Bangsa Soal Papua Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane Peliharaan Kesayangan Hitler Itu Bernama Blondi Kisah Sabidin Bangsawan Palsu Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika