PEREMPUAN di era prakolonial memainkan peran cukup signifikan. Khususnya sebelum Perang Jawa (1825-1830), perempuan dapat dijumpai dalam bidang politik, perdagangan, militer, budaya, dan kehidupan sosial.
“Dunia sebelum Perang Jawa dan setelah Perang Jawa itu berbeda. Ini adalah refleksi dari satu dunia matriarki yang tenggelam; jauh dari kita,” kata sejarawan Peter Carey dalam bedah bukunya, Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Pada Abad ke XVIII dan XIX di Griya BPPI Jakarta, 27 April 2016.
Dalam bukunya yang ditulis bareng Vincent Houben itu, Peter Carey membeberkan bahwa dalam gejolak politik era Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) menuju zaman kolonial, perempuan bukan hanya menjadi teman ranjang. Mereka terdidik secara informal untuk bisa bertahan di kondisi serba sulit.
Peter Carey menyebut Jawa prakolonial adalah dunia yang radikal. Dari sisi geografis, 75 persen wilayah Jawa terdiri dari hutan belantara. Perjalanan melintasi Jawa harus melalui sungai besar dan jalan raya berlumpur. Dalam lingkup masyarakat penuh gejolak, perempuan dipaksa cepat dewasa. Mereka harus bertahan dan mencari cara bagaimana bisa bergerak di tengah kondisi sulit.
“Mereka diasah. Mereka hidup di situasi penuh tantangan bagaimana mereka bisa survive,” ujarnya.
Sebaliknya, pada masa Hindia Belanda (1818-1942) yang menandai era kolonial sesungguhnya, Jawa mengadopsi sistem patriarki. Ini terasa pada masa berkuasanya Herman Willem Daendels (1808-1811). “Daendels mengumumkan bahwa ‘perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dengan perempuan hanya ada urusan pribadi’,” katanya.
Tatanan perempuan berubah 180 derajat setelah Perang Jawa. Ketika Belanda menaklukkan Jawa, dimulailah satu dunia baru. Negara birokrasi lahir di mana gaya Belanda menjadi pola utama. “Bangsawan muda tidak dididik lagi oleh eyang buyut tapi diindekoskan di keluarga Indo-Belanda,” ujarnya.
Peter Carey menilai situasinya menjadi lebih permisif. Perempuan Jawa yang tadinya perkasa, sejak saat itu telah “dijinakkan”. “Perempuan perkasa diganti budaya museum yang dipertontonkan di ekspo kolonial, bahwa ‘orang Jawa sebagai bangsa yang paling lembut di dunia’,” ujarnya.
[pages]