SUATU hari di bulan Maret 1966, Radius bersama ayahnya menonton siaran TVRI. Presiden Sukarno sedang mengumumkan nama-nama anggota Kabinet Dwikora III. Radius kaget ketika namanya disebut sebagai gubernur Bank Indonesia.
“Saking kagetnya, seminggu saya tidak pergi ke mana-mana,” kata Radius, dikutip Dawam Rahardjo dalam Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa.
Radius pantas terkejut. Dia tak mendapatkan pemberitahuan sebelumnya. Dia juga tak melobi siapapun. Jabatan itu biasanya juga diduduki oleh senior yang sudah berpengalaman. Namun, pada akhirnya, dia tahu penunjukannya sebagai gubenur BI atas rekomendasi Sultan Hamengku Buwono IX, atasannya di Badan Pemeriksa Keuangan (Bepeka), yang kemudian jadi figur penting di awal Orde Baru.
Radius tak mau berlama-lama menenangkan diri. Dia harus siap untuk menghadapi tugas berat ini di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Di awal menduduki jabatan itu, persoalan pokok yang harus diselesaikannya adalah mengembalikan independesi Bank Sentral dalam kebijaksanaan moneter. Pada akhir Desember 1966, Radius melakukan penyederhanaan direksi Bank Indonesia (BI). Langkah ini merupakan upaya memisahkan Bank Sentral dari Bank Negara Indonesia (BNI) unit-unit lain.
“Itu pulalah yang mempermudah dilaksanakannya Undang-Undang Bank Sentral 1968,” ujarnya.
Sebelumnya Penetapan Presiden No. 17 Tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara mengatur pengintegrasian bank-bank pemerintah ke dalam bank tunggal, yakni Bank Negara Indonesia (BNI). Dengan UU No. 13 Tahun 1968, pemerintah menetapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Baca juga: Masa Kecil Radius Prawiro
Radius juga melakukan reformasi sistem perbankan yang dipusatkan pada bank sentral. Tujuannya untuk mengetahuii keuangan Bank Sentral dan bank-bank negara, merekonstruksi catatan-catatan akuntansi yang berlaku surut, terlantar, atau dipalsukan; serta mengungkap pola korupsi.
“Masa enam tahun ketika data keuangan Indonesia tidak diumumkan, merupakan sebuah tabir kebodohan yang menyembunyikan kesalahan-kesalahan yang begini banyak,” tulis Radius Prawiro dalam makalah Seminar BI tahun 2001, dimuat buku Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: Buku 3 (1966-1982) suntingan Hadi Soesastro dkk.
Kebijakan lain yang diambil Radius di tahun-tahun pertama sebagai gubernur BI, catat Dawam Rahardjo, adalah melaksanakan screening terkait afiliasi politik, masalah penyelewengan keuangan, dan keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia.
Kemudian, Radius melancarkan Kebijaksanaan 3 Oktober 1966, sebuah kebijaksanaan fiskal atau moneter untuk memerangi inflasi dan menciptakan stabilisasi ekonomi. Inflasi dan keadaan ekonomi yang carut-marut memang menjadi persoalan besar di masa transisi Orde Baru ini.
“Dengan inflasi yang melaju lebih dari 650 persen setahun, nilai uang hampir tak ada artinya lagi,” tulis Radius.
Kebijakan 3 Oktober 1966 berhasil menjaga keseimbangan ekonomi dan menjinakkan inflasi dari 650 persen pada 1966 menjadi 86 persen pada 1968 atau menjelang dimulainya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I.
Radius juga berupaya menekan jumlah uang yang beredar di masyarakat, penyebab inflasi, dengan merangsang masyarakat untuk menabung. Pada Oktober 1968, pemerintah menggalakkan program tabungan nasional dalam bentuk Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas) dan Tabungan Asuransi Berjangka (Taska). Selain memberikan bunga yang cukup tinggi, pemerintah merangsang minat masyarakat berupa hadiah undian.
Baca juga: Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang
Pil Pahit Devaluasi
Pada 1971, Amerika Serikat (AS) menghentikan pertukaran dolar dengan emas. Kebijakan ini berdampak pada Indonesia; menyebabkan laju inflasi naik menjadi 25,8 persen. Situasi ini mendorong pemerintah untuk menggulirkan devaluasi, kebijakan menurunkan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS.
Untuk kali pertama dalam sejarah Orde Baru, pemerintah mengambil kebijakan devaluasi pada 23 Agustus 1971. Pemerintah menaikkan harga dolar AS sebesar 12 persen, dari Rp378 menjadi Rp415. Harga dolar AS tersebut bertahan paling lama dalam sejarah ekonomi Orde Baru hingga 15 November 1978.
Menurut Patmono SK dkk dalam Radius Prawiro: Kiprah, Peran dan Pemikiran, kebijakan devaluasi diambil untuk menjaga kurs rupiah agar tetap realistis guna memperkuat daya saing barang ekspor dan barang substitusi impor.
Devaluasi dilakukan karena nilai rupiah dinilai terlalu tinggi (overvalued) terhadap dollar AS, yang akan merugikan kegiatan ekspor. Ongkos produksi barang ekspor akan melonjak dan dampaknya tak bisa bersaing di pasar internasional. Kebijakan devaluasi diharapkan menstabilkan ekonomi, menyokong kegiatan ekspor, dan merangsang produksi domestik.
Rupanya, ini bukan kebijakan devaluasi yang terakhir. Selama Orde Baru, pemerintah berkali-kali menggulirkan devaluasi. Bahkan, “Radius Prawiro agaknya merupakan pejabat yang paling akrab dengan devaluasi.”
Baca juga: Jalan Radius Prawiro Menjadi Ekonom Orde Baru
Pada 15 November 1978, pemerintah Presiden Soeharto melalui Menkeu Ali Wardhana kembali melakukan devaluasi. Nilai rupiah yang tadinya Rp415 menjadi Rp625 per dolar atau sebesar 33,6 persen. Kebijakan ini diambil karena kemacetan dalam ekspor nonmogas, paceklik, serta rendahnya harga-harga komoditas pertanian di pasar internasional.
Devaluasi tanggal 15 November 1978 bertujuan untuk mendorong sektor ekspor di Indonesia. Saat itu, pemerintah tidak lagi mematok harga dolar AS pada tingkat tertentu, tetapi membiarkannya hingga mengambang terkendali atau disebut managed floating exchange rate. Penerapan sistem ini mengakibatkan nilai tukar rupiah terus mengalami depresiasi (pelemahan) terhadap dolar AS.
Menurut Radius, itu terjadi karena pemerintah tidak memanfaatkan boom minyak untuk sektor yang menguntungkan dan tetap mempertahankan nilai tukar rupiah pada Rp415 per dolar. “Devaluasi ini mengundang kritik yang pedas namun pemerintah berpikir bahwa boom minyak telah berakhir dan Indonesia menghadapi problema struktural yang serius dalam perekonomiannya,” terang Radius dalam Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi.
Saat itu Radius tak sepenuhnya terlibat karena menjabat di “kavling” lain sebagai Menteri Perdagangan dan Koperasi Indonesia (1973-1983). Ketika Radius menjabat menteri keuangan dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), giliran Radius yang “terpaksa” menerapkan jurus devaluasi pada 30 Maret 1983.
Saat itu pemerintah menetapkan menurunkan nilai rupiah hingga 48 persen dari Rp702,50 menjadi Rp970 per dolar AS, untuk menyikapi ancaman terhadap devisa negara dan neraca pembayaran luar negeri pada 1982.
Sebenarnya pemerintah berkeinginan melakukan devaluasi pada 1982 namun ditunda karena ada pemilihan umum. Saat itu terdapat kenaikan pengeluaran impor lebih dari 7 miliar dolar Amerika, padahal penerimaan dari minyak menurun. Keadaan ini membahayakan posisi cadangan devisa dan neraca pembayaran luar negeri. Radius harus menanggungnya.
“Jalan yang paling tepat untuk mengatasi keadaan itu adalah melakukan devaluasi karena harga dolar akan naik sehingga mengurangi nafsu orang untuk mengimpor besar-besaran,” kenang Radius berdalih, dikutip Ilyas Saad dan Irdam Ahmad dalam buku Kajian Implementasi Kebijakan Trilogi Pembangunan di Indonesia.
Baca juga: Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru
Devaluasi diikuti dengan kebijakan ekonomi lainnya sebagai kelanjutan dari deregulasi dan debirokratisasi yang sudah dimulai pada 1983. Salah satunya kebijakan pencabutan insentif sertifikat ekspor (SE) pada 1986 agar mereka yang memiliki stok menumpuk terdorong untuk segera merealisasikan ekspor.
Setelah devaluasi 1983, pemerintah berjanji takkan lagi melancarkan jurus itu meski terjadi resesi dan deflasi. Tapi janji tinggallah janji.
Pada 12 September 1986, Radius kembali mengumumkan kebijakan devaluasi sebesar 47 persen dari Rp1.134 ke Rp1.664 per dolar AS. Kebijakan devaluasi ini juga disertai dengan perubahan sistem kurs, dari kurs tetap menjadi kurs mengambang terkendali. Dengan sistem baru ini, kurs bisa bergerak bebas sesuai batas-batas yang telah ditetapkan oleh Bank Sentral.
Radius menyadari keputusan devaluasi 1986 dipertanyakan banyak pihak. Dalam biografinya dia menyebut di masa itu yen sedang mengalami apresiasi terhadap dolar AS. Sebagian besar utang luar negeri Indonesia dalam bentuk yen. Maka, apresiasi yen terjadap dolar AS menyebabkan nilai riil utang luar negeri Indonesia menjadi lebih besar, baik dalam dolar AS maupun rupiah.
APBN mengalami tekanan karena nilai utang Indonesia meningkat menjadi sekitar 4 miliar dolar AS. Akibatnya, Debt Service Ratio (DSR) Indonesia meningkat menjadi 33%, anggaran untuk membayar utang meningkat. Di sisi lain, harga ekspor minyak menukik sampai di bawah 10 dolar AS (per barel), yang mengancam neraca pembayaran.
Kebijaka devaluasi punya efek positif. Pemerintah berhasil mengendalikan laju inflasi. Pada 1986, laju inflasi hanya 5,9 persen, tahun berikutnya naik menjadi 9,1 persen, turun menjadi 5,8 persen (1988), dan menjadi 6,0 persen (1989).
“Keberhasilan menjaga laju inflasi rata-rata di bawah 7% setelah devaluasi sebesar itu merupakan hal luar biasa,” ujar Radius.
Devaluasi 1986 juga menyebabkan penyediaan rupiah untuk membayar utang luar negeri naik 45 persen. “Manfaat positif dari devaluasi yang bisa dirasakan langsung hanyalah pulangnya modal yang sempat lari ke luar negeri selama ini,” ujar pengamat ekonomi M. Sadli, dikutip Patmono SK dkk.
Sialnya, kebijakan itu juga menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia. Nilai ekspor minyak terus menurun dari 66,8 persen ke 50,9 persen. Seiring dengan itu, rush pun terjadi di kalangan masyarakat yang menguras tabungan, menukarkannya ke mata uang asing, lalu memindahkannya ke bank-bank luar negeri.
Saat itu Radius sudah digeser dari jabatan menkeu menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri (Menko Ekuin). Presiden Soeharto menunjuk Johannes Baptista (JB) Sumarlin sebagai ad interim menteri keuangan menggantikan Radius. Sumarlin mengatasi kisruh akibat devaluasi dengan mengeluarkan surat perintah kepada bank-bank BUMN untuk membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Paket Deregulasi
Devaluasi hanyalah salah satu kebijakan yang antara lain untuk mengatasi minimnya devisa negara akibat turunnya harga minyak. Sementara itu pemerintah kelimpungan mencari cara untuk menghadirkan devisa negara dari sektor baru selain migas.
Pada situasi seperti ini, Menteri Keuangan Radius Prawiro dan penasehat ekonomi presiden Widjojo Nitisastro mengadakan pertemuan pada tahun 1983. Radius Prawiro menyebut pertemuan itu dikhususkan untuk mencari resep membangkitkan gairah ekonomi, khususnya sektor perbankan nasional usai periode yang disebut boom minyak ini selesai. Tercetuslah ide pemberian kebebasan kepada sektor perbankan lewat serangkaian paket deregulasi –yang dinilai banyak pihak sebagai liberalisasi.
Proses deregulasi dimulai pada tahun 1983, ketika Radius menjadi menteri keuangan, lewat kebijakan Paket 1 Juni 1983 (Pakjun 83). Kebijakan ini membebaskan bank-bank untuk menentukan suku bunga sendiri.
Paket deregulasi perbankan yang lebih substansial diperkenalkan pada 27 Oktober 1988 kebijakan Paket Oktober 1988 (Pakto '88) saat Radius menjabat Menko Ekuin. Pada intinya Pakto 88 merupakan deregulasi perbankan yang memberikan kemudahan bagi pendirian bank-bank baru.
Pakto ’88 berjalan baik. Seperti yang diharapkan, bank-bank swasta tumbuh di dengan pesat. Dana masyarakat pun bisa mengalir. Namun, kebijakan ini justru jadi bom waktu. Karena lemahnya manajemen, banyak bank yang “sakit” dan melimpahkan masalah kepada pemerintah. Nasabah yang panik menarik uang secara besar-besaran. Masalah itu mencapai puncaknya pada 1997 saat badai krisis moneter menerjang.
Menurut J. Soedradjad Djiwandono dalam “A team player technocrat: Radius Prawiro, 1928–2005”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 41, No. 2, 2005, pengalaman Radius sebagai menteri perdagangan juga membuatnya tertarik untuk mengatasi maraknya hambatan yang ditimbulkan kebijakan terhadap persaingan dan perdagangan dalam negeri. Ketika menjabat Menko Ekuin, kantornya mensponsori beberapa seminar tentang persaingan dalam negeri.
“Bahkan, komitmennya untuk mendorong liberalisasi perdagangan begitu kuat sehingga, sebagai menteri muda perdagangan selama masa jabatannya, saya menerima teguran bersahabat darinya karena secara terbuka menyatakan bahwa deregulasi bukanlah tujuan kami, tetapi hanya sarana untuk mencapai efisiensi pasar yang lebih besar. Ia mengingatkan saya bahwa pernyataan itu dapat dianggap sebagai antideregulasi,” catat Djiwandono.
Djiwandono menambahkan, dalam pembuatan kebijakan ekonomi, Radius adalah seorang yang percaya pada fleksibilitas, menyadari dinamika tantangan yang dihadapi ekonomi nasional. Hal ini tercermin dalam subjudul bukunya: “Pragmatisme dalam Aksi”. Namun, pragmatisme ini harus diimbangi dengan komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip ekonomi makro dan mikro yang baik.
“Dan, mungkin karena penugasan awalnya sebagai kepala bank sentral, ia percaya pada peran penting kebijakan moneter dalam memengaruhi pembangunan ekonomi,” catat Djiwandono.
“Sebagai seorang nasionalis dan bankir sentral, Radius juga percaya bahwa sektor moneter dan keuangan yang dikelola dengan baik akan mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, membantu memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.”*
Tulisan ini hasil kerja sama Historia.ID dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya telah terbit di Media Keuangan.