Setiap pagi, seorang pemuda Ambon pergi naik tram dari Lapangan Banteng menuju pasar Jatinegara yang dulu namanya Meester Cornelis. Pulangnya dia membawa belanjaan: beras, telur, sayuran, dan segala macam.
Para pemuda pejuang menguntitnya. Ternyata, dia berbelanja ke pasar untuk keperluan musuh.
“Terbukti dia membawa belanjaannya ke markas Batalion ke-10 yang merupakan musuh besar para pejuang Republik,” kata Adnan Buyung Nasution, pengacara, dalam biografinya, Pergulatan Tanpa Henti Volume 1.
Buyung menjelaskan bahwa Batalion ke-10 merupakan serdadu NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) yang terkenal kejam. Markasnya di bekas tangsi Batalion KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) ke-10 yang terletak di Waterlooplein (kini Lapangan Banteng). Sebagian dari mereka adalah para bekas serdadu KNIL yang direkrut kembali, yang kebanyakan orang Ambon dan Indo-Belanda.
Baca juga: Ketika Adnan Buyung Nasution Bertemu Tan Malaka
Menurut Rosihan Anwar, wartawan zaman perang kemerdekaan, tentara NICA terdiri dari eks-KNIL yang dipersenjatai setelah keluar dari kamp interniran oleh Jenderal Van Oyen dan Laksamana Helfrich.
“Tentara NICA bertindak ganas. Pertempuran berkobar dengan pemuda yang bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR),” tulis Rosihan dalam Belahan Jiwa.
Batalion ke-10, kata Buyung, ditambah pasukan khusus, Korps Speciale Troepen (KST), menebar teror dan maut di seantero Jakarta dan sekitarnya sehingga merupakan mimpi buruk yang menakutkan bagi penduduk Jakarta.
Korban Tentara NICA
Pertempuran hampir saban hari terjadi di daerah Kwitang, Kramat, dan Senen, antara pemuda pejuang Republik dan serdadu NICA. Markas Batalion ke-10 dekat dengan markas pemuda mahasiswa Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) dan markas Polisi Republik Indonesia (kini markas Brimob). Serdadu NICA pernah menyerang dan menduduki markas Polisi RI yang mengakibatkan 13 personel polisi menjadi korban.
Menurut Rosihan, pemerintah Indonesia mengajukan protes kepada Panglima Tentara Sekutu Jenderal Christison. Serdadu NICA ditarik dari markas Polisi RI lalu serdadu Sekutu (Inggris-India) berjaga di situ.
“Tetapi keadaan itu tidak lama. NICA kembali menduduki Seksi Polisi RI di Prapatan,” tulis Rosihan.
Oleh karena itu, kata Buyung, para pemuda pejuang bersama BKR, cikal bakal TNI, bersatu mengangkat senjata melawan NICA yang mengobarkan pertempuran dengan pemerintah dan rakyat Indonesia, menangkapi dan menembaki tanpa pandang bulu, laki-laki maupun perempuan, tua atau muda, pejabat atau rakyat.
Baca juga: Adnan Buyung Nasution dalam Dokumen Rahasia AS
Pejabat yang menjadi korban serdadu NICA adalah Mr. Mohamad Roem, ketua Komite Nasional Jakarta Raya.
Pada 21 November 1945, serdadu NICA menyerbu rumah Roem di Jalan Kwitang 10 yang berseberangan dengan markas pemuda mahasiswa dan markas Polisi RI. Roem membuka pintu untuk menerangkan kepada serdadu NICA bahwa di rumahnya tidak ada senjata. Tetapi, ketika pintu terbuka, Roem ditembak serdadu NICA. Peluru bersarang di pangkal pahanya. Dia roboh tidak sadarkan diri, kemudian dirawat di Rumah Sakit Pusat Jakarta selama dua bulan.
“Sejak itu, Mr. Mohamad Roem menjadi cacat, kalau berjalan agak pincang, dibantu dengan tongkat. Tapi pincangnya Mr. Mohamad Roem justru menjadi trade mark diplomat ulung Indonesia itu,” kata Saifuddin Zuhri, mantan Menteri Agama, dalam Berangkat dari Pesantren.
Baca juga: Menghabisi Mata-mata
Kejadian sebaliknya dialami Sudiro yang tengah dalam perjalanan menuju kantor Fonds Kemerdekaan (kini terletak di paviliun kiri dari gedung Mahkamah Agung). Mobil yang ditumpanginya mogok tepat di depan gapura markas Batalion ke-10. Sudiro dan sopirnya pun merasa dalam bahaya, apalagi beberapa hari sebelumnya kereta api yang lewat ditembaki dari tangsi Batalion ke-10 yang mengakibatkan jatuh beberapa korban.
Ketika Sudiro dan sopirnya sedang memperbaiki mesin mobil, datanglah seorang serdadu muda yang berasal dari Maluku. Sudiro dan sopirnya sudah tidak bisa lari dan hanya bisa berdoa semoga Tuhan melindungi. Ternyata, serdadu itu malah membantunya memperbaiki mobil sehingga bisa hidup kembali.
Sudiro mengatakan, banyak orang waktu itu mengisahkan kekejaman serdadu-serdadu Tiende Bat, sebutan Batalion ke-10, yang sebagian besar terdiri dari saudara-saudara kita dari Maluku.
“Tetapi saya justru mengalami peristiwa yang berbeda dan bahkan mengesankan. Suatu peristiwa yang tidak akan saya lupakan untuk selama-lamanya,” kata Sudiro, mantan Walikota Jakarta Raya, dalam Pelangi Kehidupan.
Dituduh Mata-mata
Kekejaman serdadu NICA sudah kadung melekat dalam benak masyarakat. Sehingga, mereka juga menjadi sasaran pembalasan para pemuda pejuang. Tragisnya, yang menjadi korban adalah seorang pemuda Ambon sepulang belanja dari pasar Jatinegara.
“Dalam kancah perang yang luar biasa kacau dan sulit menentukan mana kawan mana lawan itu saya pernah melihat seorang Ambon dibunuh, digorok,” kata Buyung yang saat itu berusia sebelas tahun (1934–2015).
Pulang dari belanja di pasar Jatinegara, pemuda Ambon itu masuk ke markas Batalion 10. “Tak ayal lagi dia dituduh sebagai mata-mata, ditangkap oleh para pemuda pejuang persis di depan rumah tempat tinggal saya,” kata Buyung.
Baca juga: Naim yang Malang Dituduh Mata-mata
Pemuda itu ditarik dari trem dan jatuh, dipukuli pakai popor senapan sampai pecah kacamatanya. Kemudian dia diseret ke kawasan yang masih berupa rawa-rawa (sekarang Jalan Pramuka). Di sana dia dibunuh dengan cara digorok.
Buyung menyaksikan eksekusi pemuda Ambon itu dari jauh; dia tidak berani mendekat. Meski begitu, dia mendengar suara yang keluar dari leher yang digorok itu, menyeramkan dan mendirikan bulu roma.
“Saya tidak bisa tidur sampai beberapa hari. Peristiwa itu sangat membekas di hati saya. Sejak itu saya merasa ngeri kalau melihat orang dipukuli,” kata Buyung.
Baca juga: Mata-mata Rantai Emas
Memang, kata Buyung, kekejaman sudah merupakan bagian dari revolusi: kill or to be killed (membunuh atau dibunuh). Seluruh pemuda pejuang dan BKR menjalankan kaidah perang itu juga dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dari tentara NICA yang mau berkuasa kembali di bekas tanah jajahannya.
Pertempuran antara pemuda pejuang melawan serdadu-serdadu NICA paling gencar terjadi di poros Sawah Besar, Tanah Abang, Senen, Kramat, Matraman, sampai Jatinegara. Tempat tinggal keluarga Buyung di Jalan Matraman Raya sangat riskan apalagi menjadi markas pemuda pejuang yang kalau ketahuan bisa berbahaya. Tentara Belanda setiap saat mondar-mandir melakukan patroli dan melakukan penyergapan untuk menangkap siapa saja yang dicurigai.
“Maka, Ayah memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut dan meninggalkan Jakarta yang keadaannya semakin parah,” kata Buyung.