Naim yang Malang
Dua pemuda ini dituduh mata-mata Belanda karena namanya dan kacamata yang dipakainya. Keduanya dieksekusi mati.
Nama adalah doa. Orang tua memberikan nama terbaik agar anaknya bernasib baik. Tapi, pemuda pejuang ini justru bernasib buruk karena namanya.
Pemuda itu bernama Naim. Dia anggota Kelompok Merah Putih yang bermarkas di Jalan Bank No. 5 Purwokerto (dulu gedung percetakan De Boer). Kelompok ini terdiri dari 40 pemuda yang dipimpin oleh Moerdono.
Baca juga: Menghabisi Mata-mata
Pada suatu hari di masa revolusi kemerdekaan, Naim ditugaskan menjadi kurir ke Purworejo, Jawa Tengah. Dia ditangkap oleh pemuda di sana. Karena bahasa Jawanya kurang baik, dia tidak bisa menjawab pertanyaan dari “hakim” dengan lancar.
Meskipun di atas baju Naim melekat bendera merah putih, tanda paspor bagi orang Republik, dia tetap tidak dipercaya. Bahkan, dia dituduh mata-mata musuh, Belanda.
“Akhirnya dia dihukum tembak. Alasannya karena namanya: Naim. Oleh para ‘hakim’ dinyatakan sebagai singkatan dari Nederland Anti Indonesia Merdeka,” kata Sudiro, mantan Walikota (kini Gubernur) Jakarta Raya, dalam Pelangi Kehidupan.
Baca juga: Berburu Mata-Mata di Era Revolusi
Asmadi, mantan anggota Tentara Pelajar, mengungkapkan bahwa suasana saling mencurigai bahkan tidak percaya terhadap setiap orang yang dijumpai di tengah jalan, timbul akibat mata-mata musuh yang berusaha menyesatkan pasukan-pasukan yang datang dari luar kota.
Mereka melakukan adu domba antarpasukan. Yang langsung menerima akibatnya ialah para kurir, karena mereka umumnya berjalan kaki dari markas besar ke markas sektor, dari markas sektor ke garis depan atau yang menghubungkan antarmarkas sektor.
“Banyak pula di antara para kurir yang terbunuh di tengah jalan karena dituduh sebagai mata-mata musuh,” kata Asmadi dalam Pelajar Pejuang.
Baca juga: Gubernur di Tengah Operasi Anti Mata-Mata
Baca juga: Kisah Kutil "Robin Hood" dari Pantura
Sudiro menyebut ada anggota Kelompok Merah Putih lain yang bernasib nahas seperti Naim. Dia lupa namanya. Seperti Naim, anggota itu diberi tugas ke daerah Tegal. Dia ditangkap oleh kelompok yang dipimpin oleh Sakhyani atau dikenal dengan sebutan Kutil.
Kalau Naim dituduh mata-mata karena namanya, kawannya itu karena kacamata yang dipakainya.
“Dia dijatuhi hukuman mati karena di kacamatanya –buatan luar negeri– ada huruf-huruf tertentu, yang sebenarnya hanyalah inisial dari pabrik yang memproduksinya. Oleh para ‘hakim’, huruf-huruf itu dianggap sebagai kode bagi seorang mata-mata musuh,” kata Sudiro.
Baca juga: Anton Lucas dan Cerita Kutilnya
Kutil memimpin revolusi sosial di wilayah Karesidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal, dan Pemalang pada Oktober sampai Desember 1945, di mana seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana, dan camat), serta sebagian besar lurah, diganti oleh aparat pemerintahan baru dari aliran Islam, sosialis, dan komunis. Untuk menjalankan revolusi sosial, Kutil membentuk organisasi AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia).
Menurut sejarawan Anton Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah, seperti badan-badan perjuangan lainnya waktu itu, tugasnya ditetapkan sendiri oleh Kutil, yaitu mencari sisa-sisa orang Jepang dan melucutinya, membagikan kekayaan kepada rakyat, dan menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi agen NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).
Baca juga: Koleksi Digital Anton Lucas
Tragisnya, salah satu korban yang dituduh mata-mata adalah pemuda anggota Kelompok Merah Putih dari Purwokerto. “Tambah seorang lagi korban dari Peristiwa Tiga Daerah,” kata Sudiro.
Karena Kutil adalah tokoh utama dalam revolusi sosial itu, maka Peristiwa Tiga Daerah sering disebut sebagai “gerakan Kutil”. Gerakan Kutil akhirnya bisa ditumpas oleh TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
“Kutil adalah orang pertama dalam sejarah Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman mati melalui proses pengadilan formal di Pekalongan,” tulis Anton.
Menurut Sudiro, tuduhan mata-mata kepada Naim dan kawannya sungguh menggelikan, tapi akibatnya pejuang ini telah mati konyol. “Seperti yang dialami oleh ratusan mungkin ribuan orang lainnya dalam zaman meluapnya semangat kemerdekaan kita,” kata Sudiro.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar