Gubernur di Tengah Operasi Anti Mata-Mata
Kisah Soetardjo saat terjebak dalam sebuah operasi pembersihan para telik sandi Belanda.
DALAM menjalankan tugasnya, Gubernur pertama Jawa Barat Soetardjo kerap pergi-pulang melintasi Tasikmalaya-Bandung. Untuk alasan keamanan, keluarganya dimukimkan di Tasikmalaya. Sementara, Soetardjo berkantor dan tinggal sebentar di Bandung. Secara berkala, Soetardjo mengunjungi keluarganya. Kesempatan berkunjung dimanfaatkan untuk melihat kondisi keluarga seraya melepas rindu.
“Sebulan sekali saya menegok keluarga di Tasikmalaya berkendara mobil lewat jalan selatan melalui Majalaya,” ujar Soetardjo dalam memoar Soetardjo: “Petisi Soetadjo” dan Perjuangannya yang dituliskan anaknya Setiadi Kartohadikusumo.
Meski menjabat sebagai gubernur, ketika bepergian Soetardjo enggan memakai iring-iringan. Tujuannya agar tak memancing perhatian tentara Belanda dan Sekutu. Soetardjo hanya ditemani seorang agen polisi kantor gubernuran tanpa konvoi dan barisan pengawal.
Baca juga: Desas-Desus Sabotase Banjir Bandung 1945
Dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946, sejarawan John R.W. Smail mencatat betapa mencekamnya situasi di kota Bandung dan sekitarnya. Smail mengutip keterangan koresponden harian Merdeka yang melaporkan perilaku arogan orang Belanda. Sejumlah serdadu menggunakan senapan submesin untuk memaksa orang-orang di pasar menjual makanan kepada mereka. Tiga hari kemudian, aksi balasan terjadi.
“Seorang responden Belanda melaporkan perilaku orang Indonesia yang semakin brutal; menculik tentara Sekutu yang ditugaskan mengurus tahanan perang Jepang; mengusir orang-orang Eropa keluar dari rumahnya dan memboikot mereka di toko-toko; mengurangi aliran makanan segar ke kota,” tulis Smail.
Soetardjo dalam memoarnya, mengenang suasana yang sama mengerikan. Tebaran ancaman silih berganti. Suara rentetan senapan setiap sore dan malam terdengar di dalam kota. Konflik bersenjata antara pasukan Republik kontra Sekutu dan Belanda memang tak terhindarkan.
Baca juga: Kisah di Balik Bandung Lautan Api
Sekali waktu, saat hendak pulang ke Tasikmalaya, Soetardjo mengalami penghadangan di jalan pedalaman. Soetardjo menuturkan, kendati memakai mobil berplat nomor “D1”, dia masih juga ditahan oleh pemuda-pemuda pejuang yang menjaga lalulintas di pos tertentu. Mereka terlihat seperti laskar bersenjata.
Seorang pemuda memberhentikan mobil yang membawa Soetardjo. Dengan sikap sopan, Soetardjo diminta masuk ke dalam sebuah rumah di tepi jalan. Instruksi itu dituruti. Soetardjo masih sempat menguraikan senyum. Di dalam rumah, Soetardjo di bawa masuk ke dalam salah satu kamar oleh pemimpin pasukan penjaga. Apa yang terjadi kemudian?
Di dalam kamar, Soetardjo diminta untuk menanggalkan peci dari kepalanya. Setelah peci dibuka, dengan mengucap maaf, sang penjaga mohon diperkenankan melihat batok kepala Soetardjo. Soetardjo bersedia menundukkan kepalanya. Setelah diperiksa tanpa menyentuh kepala, penjaga mengucapkan terimakasih.
Soetardjo bertanya penuh keheranan, “Apakah kamu tahu, siapa saya ini?”
“Barangkali tahu,” kata penjaga itu. “Kalau tak keliru, Bapak adalah gubernur kita.”
“Apakah maksudnya, kepala saya kamu periksa?” Soetardjo balik bertanya.
”Saya mendapat perintah dari atasan saya, supaya kita mengadakan pemeriksaan seperti itu pada setiap orang yang liwat sini, tak ada yang terkecuali,” demikian jawaban si penjaga tadi.
Waktu itu dikabarkan ada beberapa mata-mata NICA berkeliaran di pedalaman. Mereka adalah-orang pribumi suruhan tentara Belanda untuk menyusup atau menyabotase pasukan Republik. Tanda pengenal mata-mata itu dapat diamati dari ukiran di kepalanya. Di atas tempurung kepalanya akan ada satu tempat kecil yang rambutnya dicukur dan di atas kulit kepala itu ditulis letter “N”.
Alih-alih memarahi, Soetardjo malah mengucapkan pujian dan terimakasih atas tindakan siaga si penjaga. Perjalanan ke Tasikmalaya terus dilanjutkan.
“Dengan senang hati saya memimpin perjuangan rakyat Jawa Barat itu,” demikian Soetardjo mengenang pengalaman di masa revolusi sebagai gubernur pertama Jawa Barat.
Sewaka yang kelak menjadi gubernur Jawa Barat ketiga (1946-52) mengakui betapa sukarnya menjadi gubernur di masa kritis pasca Indonesia merdeka. Keganasan revolusi kala itu bisa menyasar siapa saja tanpa pandang bulu ataupun jabatan. Dalam memoarnya Tjorat-Tjaret dari Djaman ke Djaman, Sewaka mengatakan, “Memang tak mudah memegang pemerintahan dalam saat meletusnya revolusi semacam itu.”
Baca juga: Tragedi pembunuhan Gubernur Ario Soerjo
Tambahkan komentar
Belum ada komentar