Berburu Mata-Mata di Era Revolusi
Berbagai cara dilakukan oleh para pejuang Republik untuk menghabisi aksi spionase musuh. Kerap mengorbankan orang-orang yang tak bersalah .
LANGIT masih terang ketika serangkaian kereta api memasuki Stasiun Kranji. Begitu berhenti, para anggota lasykar bersenjata langsung meminta semua penumpang untuk turun dan memeriksa identitas mereka satu persatu. Beberapa orang yang dicurigai langsung digiring ke kantor kepala stasiun dan dihadapkan kepada tim interogator.
Di antara yang tercurigai adalah seorang lelaki paruh baya dengan seorang anak perempuannya. Mereka dianggap mata-mata NICA karena didapati ada kertas berwarna merah putih biru (simbol bendera Belanda) di dalam tas-nya masing-masing.
“Pas sesudah magrib, itu laki dan anak gadis-nya langsung dieksekusi dengan sebilah celurit persis di belakang stasiun,”ungkap Mat Umar (92), salah seorang saksi kejadian tersebut.
Di era revolusi (1945-1949), elan perjuangan melawan Inggris dan Belanda begitu menderu. Kerap kali semangat berlebihan di kalangan para pemuda itu menjadi tak terkendali hingga menjadi suatu kegilaan.
Baca juga: Hoax Masa Revolusi
Kopral (Purn) Soempena (94) masih ingat, bagaimana seorang pemuda dari Jakarta mati mengenaskan di Stasiun Purwakarta pada suatu hari di awal 1946. Gegaranya sangat sepele: dia kedapatan membawa selembar saputangan bercorak merah putih biru di saku bajunya. Kendati Soempena dan kawan-kawannya dari Divisi Siliwangi telah berupaya keras menyelamatkan pemuda itu, namun massa yang jumlahnya puluhan sudah terlanjur kalap.
“Pada akhirnya kami tak bisa berbuat apa-apa saat dia dikeroyok banyak orang hingga tewas dan mayatnya diinjak-injak di atas rel kereta api,” kenang eks anggota Resimen Purwakarta itu.
Sejarawan John R.W. Smail sempat merekam pula kebrutalan “kaum revolusiener” itu. Dalam bukunya Bandung in The Early Revolution, 1945—1946 (dialihbahasakan menjadi Bandung Awal Revolusi, 1945-1946), Smail menyebut tingkat kecurigaan orang-orang Indonesia pada 1945-1946 (terutama kepada orang Indo, orang Tionghoa dan orang-orang bule) begitu tinggi.
Mereka yang dicurigai sebagai bagian (atau hanya sebatas) antek kaum penjajah itu memiliki potensi besar untuk mendatangi maut lebih awal. Praktek kebrutalan itu tercatat mencapai puncaknya di Bandung pada November-Desember 1945.
“…Dapat disimpulkan bahwa terdapat 1.500 korban pembunuhan dari total populasi non-Indonesia yang berjumlah sekitar 100.000, belum termasuk sejumlah orang Indonesia sendiri yang juga lenyap dalam kondisi serupa,” ungkap Smail.
Baca juga: Zaman Berdarah
Seorang saksi yang diwawancarai oleh Smail (pada 1945 dia baru berusia 12 tahun) mengungkapkan dua kasus perburuan mata-mata musuh di Bandung. Yang pertama, tertuduh adalah seorang bocah kecil yang kemudian diikat di tali pancang pada sisi jalan. Para pemuda kemudian menyiksanya hingga keesokan paginya dia mati. Kasus kedua, sang saksi juga melihat sebuah pamer kegilaan para pemuda yang membunuh seorang lelaki tua yang dituduh mata-mata Belanda.
Para algojo itu, kata Smail, adalah sekelompok kecil manusia yang rata-rata masih sangat belia dan muncul dari kalangan yang tidak terpelajar. Memang ada banyak orang seperti Soempena, yang (dengan menafikan keselamatan dirinya sendiri) berupaya membela korban. Namun kecenderungan massa mengagumi aksi para algojo itu menjadikan upaya tersebut sebagai kesia-sian semata.
Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution memiliki pendapat sendiri terhadap gejala itu. Dia secara langsung menyebut bahwa kebrutalan itu merupakan bentuk aksi provokasi yang sukses dari NEFIS (badan intel Belanda). Nasution menyebut mudahnya pejuang kita terjebak dalam hoax yang diciptakan para agen intelijen Belanda tersebut karena banyaknya masalah internal yang belum terselesaikan saat itu.
“Serangan psikologis itu mencapai targetnya karena adanya kekacauan organisasi pertahanan dan masih kurang cerdasnya rakyat kita…” tulis Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia Bagian I.
Pendapat Nasution di atas bisa jadi ada benarnya. Usai proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, di kalangan rakyat ada upaya untuk membenturkan secara langsung antara orang-orang keturunan Tionghoa dengan orang-orang lokal. Hal itu juga berlaku untuk orang Ambon (Maluku) dan Manado (Minahasa) yang dianggap secara genelogis merupakan antek Belanda yang paling setia.
“Kemunculan lasykar-lasykar bercorak etnis seperti Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS), Barisan Pemberontak Tionghoa (BPT) dan PIM (Pejuang Indonesia Maluku) seolah menjadi pembukti bahwa anggapan itu tidak selamanya betul,” ujar sejarawan Rusdy Hoesein kepada Historia.
Baca juga: Gempur-menggempur di Malang Timur
Tambahkan komentar
Belum ada komentar