BANYAKNYA pertanyaan tentang asal-usul manusia modern yang istilah ilmiahnya Homo sapiens acap jadi perdebatan para ahli saat membicarakan evolusi manusia. Salah satu pertanyaan itu sukses dijawab pakar genetika asal Swedia, Dr. Svante Pääbo, dan timnya di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig, Jerman. Hasil riset panjang Pääbo itu menjadi pemenang Nobel 2022 dalam bidang fisiologi dan kesehatan.
Homo sapiens, menilik hipotesa “Out of Africa”, disebutkan –dengan penanggalan karbon– sudah eksis antara 300-200 ribu tahun lampau di bagian timur Benua Afrika dan kemudian menyebar ke seantero bumi lewat empat gelombang migrasi antara 30-40 ribu tahun lalu. Homo sapiens menyebar dan bertahan seiring pergantian zaman sementara manusia-manusia yang lebih dulu seperti Homo heidelbergensis, Homo erectus, Homo neanderthalensis, Homo floresiensis, dan Homo denisova perlahan punah.
Riset Pääbo kemudian memberi jawaban dan pembuktian bahwa ternyata, Homo sapiens tidaklah hidup sendirian seiring migrasi mereka. Homo sapiens pernah hidup berdampingan dan bahkan kawin dengan manusia Neanderthal, manusia purba yang selama ini dianggap sub-spesies manusia dan punya hubungan paling dekat dengan manusia modern.
“Paling tidak kita pernah hidup bareng dengan enam homo yang lain antara 600-250 ribu tahun lalu. Kita pernah hidup berdampingan dengan (manusia) Neanderthal, Naledi, Denisova, Luzon, Flores. Hanya saja kita sudah terbiasa hidup sendirian, jadi kita enggak paham mempunyai masa hidup yang sama. Jadi kita merasa istimewa dan merasa bukan binatang. Padahal secara biologi ya kita binatang,” kata pakar neurogenetika dan biologi molekuler dr. Roslan Yusni Hasan alias dr. Ryu Hasan saat dihubungi Historia.
Hasil riset Pääbo dan timnya tentu dikerjakan lewat proses dan perjalanan panjang setidaknya 15 tahun ke belakang. Upaya mereka tak lepas dari munculnya Human Genome Project (HGP) pada 1993 yang dirampungkan pada 2001 oleh sejumlah ilmuwan asal Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, dan China dalam naungan International Human Genome Sequencing Consortium (IHGSC). Hasil dari HGP itu berperan penting ketika Pääbo membandingkan gen dan DNA sejumlah manusia purba yang ia temukan sejak 1990-an.
Baca juga: Nobel, Hadiah Atas Rasa Kemanusiaan
Mengungkap Keterkaitan Satu Sama Lain
Buah jatuh tak pernah jauh dari pohonnya. Kiasan itu begitu pas untuk melihat sosok Pääbo yang kecemerlangannya dalam ilmu pengetahuan menurun dari ayah dan ibunya. Lahir di Stockholm, Swedia pada 20 April 1955, Pääbo adalah anak tunggal dari ibu yang seorang ahli kimia, Karin Pääbo dan ayah pakar biokimia, Karl Sune Detlof Bergström. Pada 1982, Bergström berbagi Penghargaan Nobel bersama dua ilmuwan lainnya, Bengt Ingemar Samuelsson, dan John Robert Vane di bidang fisiologi dan kesehatan.
“Profesor Samuelsson dan Bergström melakukan analisis struktural kimiawi dari prostaglandin dan itu menjadi dasar bagi Vane yang melakukan studi efek aspirin dan obat-obatan terkait terhadap produksi prostaglandin, di mana ketiganya mendapatkan Nobel pada 1982,” tulis pakar biomedis Sheffield Hallam University, Profesor Kim D. Rainsford, dalam Aspirin and Related Drugs.
Baca juga: Kontroversi Nobel
Pääbo, lulusan biologi molekuler dan biokimia di Universität Zurich dan University of California Berkeley, awalnya fokus meneliti fosil-fosil hewan dan mumi di Mesir.
“Pengurutan DNA kuno pertamakali yang saya lakukan adalah terhadap mumi Mesir yang ternyata sudah terkontaminasi dari manusia saat ini. Kemudian banyak orang mulai mendapatkan DNA dari dinosaurus dan fosil-fosil lainnya,” ungkap Pääbo kepada Nature, 7 Oktober 2022.
Menjelang pergantian milenium, fokus Pääbo beralih ke paleogenetika untuk meneliti spesies-spesies purba, termasuk manusia. Pada 1997, ia sukses melakukan metode pengurutan “mtDNA” atau DNA mitokondria terhadap satu spesimen Homo neanderthalensis yang sudah ditemukan sejak 1856 di Lembah Neander, 12 kilometer sebelah timur kota Düsseldorf, Jerman. Berlanjut di 2002, Pääbo dan tujuh rekan ilmuwannya menemukan mutasi gen FOXP2 dari DNA manusia Neanderthal.
“Mutasi gen FOXP2 ini terkait dengan kemampuan verbal. Bahasa itu kan kira-kira matang antara 200-150 ribu tahun lalu. Tapi mutasi ini juga ditemukan pada Neanderthal. Jadi Neanderthal memiliki kemampuan verbal yang sama, tidak berbeda dari Homo sapiens,” sambung dr. Ryu Hasan.
Baca juga: Kelana Opsir KNIL Mencari Manusia Purba
Pada 2006, Pääbo dan rekan-rekannya di Institut Max Planck bekerjasama dengan perusahaan bioteknologi Amerika, 454 Life Science, untuk melakoni proyek riset yang berskala lebih besar, yakni Neanderthal Genome Project (NGP). Salah satu langkah awalnya adalah mengurutkan tiga miliar fraksi-fraksi DNA dari sekitar 60 persen genom keseluruhan Neanderthal yang sukses dilakoni pada 2009.
Dalam perjalanannya, pada 2010 metode “mtDNA” Pääbo sukses mengidentifikasi satu spesies baru yang berbeda dari Neanderthal maupun Homo sapiens. Pääbo mengidentifikasi satu spesimen tulang kelingking yang ditemukan arkeolog Rusia Michael Shunkov di Gua Denisova. Temuan itu kemudian menjadi cikal-bakal Homo denisova, yang kelak diketahui pula punya keterkaitan dengan Neanderthal dan Homo sapiens.
“Jadi (manusia Denisova) ini hominid yang sama sekali baru. Itu juga menunjukkan setidaknya ada dua kelompok manusia berbeda yang menghuni Eurasia. Baru ketika Homo sapiens keluar dari Afrika, daratan Eropa sudah dikuasai spesies Neanderthal dan Denisova. Keduanya sebetulnya spesies yang sama tapi terpisah menjadi dua spesies dari penanggalan karbon: antara 473-445 ribu tahun yang lalu, di mana awalnya satu spesies,” jelas Ryu.
Masih di tahun 2010, tim Pääbo menghasilkan penemuan yang jadi dasar 12 tahun kemudian mendapatkan Nobel. Ia melakoni pengurutan DNA mitokondria dari tulang-belulang manusia Neanderthal kira-kira berasal dari 29-28 ribu tahun lalu di situs Gua Vindija di Donja Voća, Kroasia.
Dengan analisa komparatif lewat data dari HGP, ditemukanlah bukti bahwa manusia Neanderthal dan Homo sapiens pernah melakukan kawin silang dan diperkirakan antara 1-4 persen gen manusia modern yang ada kini terkandung gen manusia Neanderthal.
“Dan itu didapatkan dari garis ibu karena itu (pengurutan DNA-nya) ada di mitokondria yang hanya dibawa sel telur. Sementara kalau di sperma tidak membawa itu karena mitokondrianya (laki-laki) ada di tulang ekor. Jadi pada 2010 sudah tidak disangsikan lagi ada kawin silang setelah dulu masih debatable. Baru pada 2010 membandingkan HGP dengan NGP timnya Max Planck, ditemukan bukti itu,” lanjut Ryu.
Baca juga: DNA dan Keragaman Manusia
Temuan itu ia tuangkan di jurnal Science pada Mei 2010 dengan tajuk “A Draft Sequence of the Neandertal Genome”. Empat tahun berselang, dibukukan dengan judul Neanderthal Man: In Search of Lost Genomes, yang berisi kisah-kisah riset mereka dan pemikiran-pemikiran Pääbo tentang evolusi manusia.
“Inilah yang saya apresiasi dan layaklah buat saya, Pääbo ini menerima Nobel. Karena kemudian teknik-tekniknya bisa dikuasai banyak orang dan menghasilkan pakar-pakar yang lain. Tahun 2018 misalnya, terdapat upaya identifikasi DNA manusia Denisova dari fosil yang ditemukan di Laos dari sekitar 130 ribu tahun yang lalu. Ternyata manusia Denisova itu sudah keluyuran keluar dari Siberia sampai ke Oseania,” tambahnya.
Masih di tahun 2018, pakar paleogenetik Viviane Slon bersama Pääbo menganalisis fragmen tulang manusia lain berjenis kelamin perempuan berusia 90 ribu tahun yang ditemukan di Gua Denisova. Hasilnya ditemukan bukti adanya kawin silang dan bahwa pemilik tulang itu merupakan manusia hibrid yang merupakan keturunan dari manusia Denisova dan Neanderthal.
“Jadi kalo dari hasil studi itu ya, bahwa Homo sapiens di Oseania (Asia Pasifik dan Asia Tenggara), pribumi Australia, Melanesia, dan Filipina, itu masih menyimpan 3-6 persen gen (manusia) Denisova. Terus Homo sapiens Asia daratan juga menyimpan 0,2 persen gen (manusia) Denisova. Homo sapiens di luar Afrika masih menyimpan 0,5-2,1 persen gen Neanderthal. Itu adalah kesimpulan yang dihasilkan dari tim (Max Planck) ini.”
Baca juga: Mengurai Nenek Moyang Ayu Utami Via DNA
Meskipun keenam manusia purba itu sudah mulai punah sekira sejak 40 ribu tahun lampau, setidaknya gen mereka, utamanya gen manusia Neanderthal, masih menyusup ke dalam DNA setiap manusia modern saat ini. Persentasenya bervariasi antara 1-4 persen. Di masa mendatang, seiring kemajuan teknologi pemetaan DNA, tentu tak menutup kemungkinan adanya bukti-bukti baru dari spesimen lain.
“Akhirnya sekarang ini hampir semua manusia yang tersisa tersusupi gen Neanderthal dan Denisova. Di sisi lain sekarang ini belum diteliti misalnya Homo florensiensis dan Homo luzonensis. Kita tunggu saja mungkin akan ada penelitian-penelitian berikutnya jika sudah ada pengembangan teknik penelitian lain,” tandas Ryu.