Kelana Opsir KNIL Mencari Manusia Purba
Eugène Dubois menemukan missing link Teori Darwin saat masih berdinas di KNIL
SATU set meja kayu retro yang jadi alas mesin ketik melengkapi sesosok patung pria berkumis mengenakan setelan kemeja dan celana putih yang sudah lusuh. Ia jadi bagian dari salah satu diorama di Ruang Pamer I Museum Purbakala Sangiran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Siang itu masih termasuk masa-masa libur Lebaran. Tak heran museum disesaki pengunjung. Pun begitu, sosok patung yang digambarkan sedang mengetik itu acap luput dari perhatian. Ia dianggap kurang menarik untuk dijadikan latar berfoto ria para pengunjung yang masih awam jika dibandingkan koleksi-koleksi lain yang dipamerkan semisal tempurung manusia purba atau fosil-fosil hewan purba.
Banyak dari para pengunjung yang membanjiri Museum Sangiran itu pemudik yang mencari wahana rekreasi untuk mengisi libur mudik. Berbekal karcis masuk Rp8 ribu (turis mancanegara Rp15 ribu), kebanyakan dari mereka hanya membawa hasil foto di kamera mereka.
Ada juga yang membawa pulang oleh-oleh yang dijajakan banyak pedagang yang hilir-mudik atau menggelar lapak di lingkungan museum yang dikelola Balai Pelestarian Situs Manusia Purba. Jika mau bawa pulang wawasan seperti yang dilakukan beberapa pengunjung, mesti bersedia merogoh kocek untuk menyewa jasa pemandu.
Baca juga: Situs Purbakala Seko Nasibmu Kini
Pun begitu, tetap saja sosok patung pria berkumis dengan kemeja lusuh luput dari penjelasan detail. Sayup-sayup terdengar sang pemandu mengatakan bahwa sosoknya adalah Eugène Dubois, sang penemu manusia Jawa.
Tapi di balik itu menarik menggali Siapa Dubois? Mengapa ia tergelitik memburu manusia purba sampai ke Hindia Belanda (kini Indonesia) dan meninggalkan kehidupan mapannya di Belanda?
Pakar Purbakala Masuk Tentara
Nama Marie Eugène François Thomas Dubois acap muncul di halaman-halaman buku mata pelajaran sejarah di sekolah menengah. Ia disebutkan sebagai penemu Pithecanthropus erectus atau manusia Jawa di Trinil, Ngawi, Jawa Timur pada 1891.
Penemuannya dianggap melengkapi mata rantai yang hilang dari teori evolusi Charles Darwin. Nama Dubois tentu patut dikenang setiap Hari Purbakala Nasional yang jatuh setiap 14 Juni.
Lahir Eijsden, Belanda pada 28 Januari 1858, Dubois sejak kecil sudah dikenalkan dengan ilmu alam. Ayahnya, Jean Joseph Balthasar Dubois, merupakan seorang apoteker yang lantas jadi burgemeister (walikota) di Eijsden. Mengutip Pat Shipman dalam The Man who Found the Missing Link: Eugène Dubois and His Lifelong Quest to Prove Darwin Right, di usia sekolah di Roermond, Dubois sudah berkenalan dengan teori evolusi Darwin dari mentornya Karl Vogt, pakar biologi dan geologi asal Jerman.
Baca juga: Manusia Jawa, Bukti Teori Evolusi Darwin
Meski begitu, Dubois punya perbedaan pandangan dengan mentornya soal Teori Darwin. Teori yang dikenalkan Darwin dalam On the Origin of Species pada 1859 itu menyatakan leluhur manusia berasal dari satu gen kera. Sementara Karl Vogt menganggap manusia memang berasal dari kera namun dari kera yang berbeda. Vogt menulis dalam Lectures on Man pada 1864, manusia ras kulit putih berasal dari kera yang berbeda dari orang Negro atau manusia kulit berwarna gelap lain.
Perbedaan pendapat itu mendorong Dubois ingin membuktikan teori Darwin itu dan ia merasa hanya bisa melakukannya jika berkelana ke Asia pascalulus dari studi medisnya di Universiteit van Amsterdam pada 1884. Di sela kuliahnya, Dubois belajar anatomi manusia ketika membantu proyek-proyek salah satu dosennya, Max Fürbringer, ahli anatomi asal Jerman. Dubois hidup mandiri saat kuliah lantaran menentang ambisi ayahnya yang ingin Dubois meneruskan karier politik sang ayah.
Dubois kemudian jadi dosen di kampusnya dan menikah dengan Anna Geertruida Lojenga. Rasa penasarannya untuk mencari mata rantai yang hilang evolusi manusia kian kuat lewat diskusi dengan beberapa koleganya sesama “Darwinis” seperti Hugo De Vries, Charles Lyell, dan Ernst Haeckel.
Namun, bagaimana caranya bisa sampai ke Hindia Belanda? Salah satu cara tercepat dan termudah mencapai koloni Belanda itu adalah dengan masuk tentara. Di sisi lain, Dubois butuh uang untuk menghidupi anak-istrinya.
Dubois lantas mendaftarkan diri ke Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Dengan begitu Dubois bisa mendapat gaji untuk menafkahi keluarga selagi menjalani riset yang tentu juga butuh duit.
“Mulanya Dubois mengajukan subsidi untuk risetnya tapi hasilnya nihil. Apalagi Belanda sedang diguncang depresi ekonomi parah pada 1885, di mana akhirnya pembiayaan proyek sains bukan jadi prioritas pemerintah. Dengan bergabung dengan Tentara Kerajaan-lah jalannya terbuka lebar, mengikuti jejak para pakar lain seperti Pieter Bleeker dan Cornelis Swaving,” ungkap L. T. Theunissen dalam Eugène Dubois and the Ape-Man from Java: The History of the First ‘Missing Link’ and Its Discoverer.
Eksplorasi Sumatra dan Jawa
Mendaftar ke KNIL, Dubois masuk unit Geneeskundige (medis) sebagai Opsir Medis Kelas II, sesuai bidang akademiknya. Ia lalu dikirim ke Sumatra pada 1887, membawa istri dan ketiga anaknya.
Dalam pelayaran selama 44 hari itu, Dubois seringkali mengajari istrinya, Anna, berbicara bahasa Melayu untuk mengusir bosan. Mereka akhirnya tiba di Padang pada 11 Desember 1887.
Bulan-bulan pertama di Padang Dubois disibukkan tugas sebagai opsir medis di rumahsakit. Baru pada Mei 1888 rutinitasnya tak sesibuk di Padang ketika Dubois dipindahtugaskan untuk memimpin sebuah bangsal rumahsakit untuk KNIL di Payakumbuh. Dia bisa memulai lagi aktivitas risetnya, mengeksplorasi gua-gua dan dasar-dasar sungai di Payakumbuh. Tapi, yang dia dapatkan hanya fosil hewan purba.
“Ia hanya mendapat kekecewaan lantaran deposit tanah di Sumatra tergolong masih terlalu muda untuk bisa menemukan bukti-bukti manusia purba. Tapi kemudian Dubois mendengar kabar bahwa di Jawa telah ditemukan fosil manusia purba, utamanya di timur Pulau Jawa,” tulis H. James Birx dalam Encyclopedia of Anthropology, Volume 1.
Fosil yang dimaksud adalah sisa-sisa tengkorak manusia purba yang lantas dinamakan homo wajakensis (Manusia Wajak) lantaran ditemukan di Wajak, Tulungagung. Fosil itu ditemukan secara tak sengaja oleh insinyur pertambangan B. D. van Rietschoten.
Dubois pun minta dipindahkan ke Jawa. Kegagalannya di Sumatra membuat Dubois putar otak memainkan kata-kata dalam artikel dan suratnya kepada pemerintah Hindia Belanda agar tetap berkenan menyokong proyeknya.
“Penemuannya tinggal menunggu waktu. Pakar-pakar asing lain juga sedang mengalihkan perhatian mereka ke Hindia Belanda,” tulis Dubois dalam laporannya mengenai prestis pemerintah kolonial Belanda di antara para kolonial Eropa lain, dikutip Theunissen.
Pemerintah merasa tersentil. Tak hanya mengabulkan permintaan Dubois untuk dipindah ke Jawa, pemerintah juga menyerahkan fosil temuan di Wajak kepada tim Dubois. Direktorat Pendidikan, Agama, dan Industri bahkan mengirim bantuan personil ahli Franke dan Van de Nesse serta 50 buruh untuk proyek riset dan ekskavasi Dubois. Di situs tempat homo wajakensis ditemukan, para buruh gali Dubois akhirnya menemukan fosil manusia Wajak kedua pada 1890.
Dubois mengeksplorasi banyak tempat, termasuk Perbukitan Kendeng tempat pelukis Raden Saleh menemukan banyak fosil hewan purba. Baru pada periode Agustus hingga Oktober 1891, Dubois menemukan satu per satu yang dicarinya.
Di Trinil, Jawa Timur, Para kuli gali Dubois menemukannya sebuah fosil tempurung kepala dan tulang paha yang dipercaya sebagai manusia. Manusia purba itu diyakini sebagai bagian dari mata rantai evolusi Darwin yang hilang.
Dalam laporannya tahun 1894, “Pithecanthropus erectus, eine menschenaehnliche Uebergangsform”, Dubois mengklaim bahwa yang ditemukannya adalah makhluk primata yang tingkatan evolusinya lebih tinggi dari kera tapi masih di bawah manusia saat ini, pithecanthropus erectus atau manusia kera yang berdiri tegak.
Kendati harus kehilangan salah satu anaknya akibat terserang malaria, perjuangan Dubois tak sia-sia. Dalam jurnalnya itu, Dubois juga mengungkapkan bahwa Hindia Timur merupakan tempat lahir manusia, bukan Afrika sebagaimana yang disebutkan idolanya, Darwin.
Baca juga: Wallanae, Sungai Purba di Sulawesi Selatan
Sekembalinya ke Belanda pada 1897, Dubois dianugerahi doktor oleh Universiteit van Amsterdam. Temuannya itu lantas menggemparkan Eropa hingga menimbulkan banyak perdabatan di sejumlah forum akademisi dan para pemuka gereja Katolik. Dubois terpaksa menyembunyikan fosil-fosil manusia Jawa itu di rumahnya, di Haarlem, selama 30 tahun, terlepas ia kembali dianugerahi titel profesor pada 1907.
Kendati sudah pensiun pada 1928, Dubois tetap menjadi kurator di Museum Teylers, Haarlem sampai akhir hayatnya. Dubois mengembuskan nafas terakhirnya pada 16 Desember 1940 di usia 83 tahun karena serangan jantung. Ia dikebumikan di Algemene Befraafplaats, Venlo tanpa konsekrasi lantaran temuannya berkebalikan dari kepercayaan Gereja Katolik.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar