Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menerbitkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai upaya melindungi korban dan menghukum pelaku pelecehan seksual. Peraturan ini didukung banyak pihak, namun ada yang menolak dengan alasan melegalkan zina.
Permendikbudristek itu dikeluarkan setelah terjadi banyak kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi yang penyelesaiannya tidak berpihak kepada korban. Bahkan, korban yang berani bersuara diserang balik oleh pelaku. Seperti kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Syafri Harto, dekan FISIP Universitas Riau. Dia melaporkan balik korban, mahasiswi berinisial L, dan akun instagram @komahi-ur yang memposting video pengakuan korban.
Dalam sejarah pernah terjadi pemberhentian dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (FHIPK) Universitas Indonesia karena perilakunya tidak senonoh. Ini diceritakan oleh Adnan Buyung Nasution (1934–2015), alumni FHIPK yang kemudian menjadi pengacara terkemuka, dalam biografinya, Pergulatan Tanpa Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto.
Baca juga: Ketika Adnan Buyung Nasution Bertemu Tan Malaka
Suka Wanita
Dekan itu adalah Prof. Mr. SH (inisial) yang lahir di Blora pada 28 Juni 1915. Dia mengenyam pendidikan HIS, HBS, dan Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta. Pada masa kolonial Belanda, dia terlibat dalam pergerakan pemuda dengan menjadi ketua Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Setelah Indonesia merdeka, dia mendirikan Partai Kedaulatan Rakyat yang kemudian berfusi menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 29 Januari 1946. Dia menjadi ketua umum Dewan Partai PNI pada 1947.
Dalam pemerintahan, SH menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), anggota delegasi Indonesia ke KMB (Konferensi Meja Bundar), DPR RI, menteri perdagangan, dan penasihat Kementerian Luar Negeri.
“Peristiwanya terjadi ketika FHIPK UI dipimpin oleh Prof. SH yang aslinya orang politik dari PNI,” kata Buyung.
Baca juga: Adnan Buyung Nasution dalam Dokumen Rahasia AS
Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965–1998 menyebutkan, SH menjadi dekan sejak 1962. Dia juga terlibat dalam politik dan pada masa itu dianggap wajar menggunakan posisinya sebagai dekan untuk menarik perhatian bagi universitas, termasuk dengan memberikan doctor honoris causa kepada Sukarno, Raja Kamboja Norodom Sihanouk, dan Menteri Luar Negeri Filipina Jenderal Carlos Romulo.
“Orangnya agak nyentrik, begitu pula dalam cara memimpin FHIPK,” kata Buyung. “Dia jarang mengajar, lebih banyak mendelegasikan wewenangnya kepada para asistennya, mahasiswa tingkat lanjut, tingkat akhir.”
Baca juga: Mahar Mardjono, Rektor UI yang Pandai Menjaga Keseimbangan
Buyung mendengar berita bahwa beberapa asistennya melakukan korupsi dan manipulasi. Mereka memungut biaya ekstra dari mahasiswa dan memanipulasi nilai ujian, misalnya tiga minus menjadi tiga plus dan dua minus (angka mati) menjadi dua plus sehingga masih ada harapan lulus kalau nilai lainnya bagus. “Banyak lagilah cara-cara manipulasi yang tidak senonoh,” kata Buyung.
“Yang paling parah lagi,” lanjut Buyung, “SH gemar sekali pada wanita, mahasiswi. Kalau wanita diluluskan dengan cepat, dengan gampang.”
Bahkan, belakangan SH bikin model ujian sambil pesiar. FHIPK menyelenggarakan piknik, pesiar dengan kapal ke Kepulauan Seribu membawa mahasiswa dan mahasiswi yang mau ujian. “Siapa yang bersikap manis kepada dia, diluluskan dengan cepat, terutama cewek-cewek. Tentu saja para mahasiswa iri hati,” kata Buyung.
Dilengserkan
Ketua Senat FHIPK Racosbi Matram memimpin gerakan untuk membersihkan oknum-oknum yang merusak FHIPK. Sasaran utamanya adalah SH. “Kalau dia terus bertahan sebagai dekan, bisa rusak FHIPK ini,” kata Buyung.
Racosbi dan kawan-kawannya mendatangi Buyung, yang saat itu menjadi jaksa dan kepala humas Kejaksaan Agung (1957–1968), untuk melaporkan keadaan memprihatinkan di FHIPK. Buyung membantu mereka mengumpulkan bukti-bukti dan saksi-saksi. Mereka kemudian menghadap Rektor UI Brigjen TNI Dr. dr. Syarif Thayeb, untuk melaporkan keadaan yang terjadi di FHIPK disertai bukti-bukti.
Baca juga: Pembersihan Mahasiswa IPB dan UI
“Syarif Thayeb sangat responsif karena dia juga sudah mendengar dan kesal kepada SH yang perilakunya dianggap tidak bertanggung jawab dan merusak standar ilmiah UI, khususnya FHIPK,” kata Buyung.
Syarif Thayeb setuju SH harus disingkirkan, tetapi siapa penggantinya? Hasil diskusi Buyung dan Rascobi bersama para mahasiswa, muncul nama Prof. Subekti, hakim agung Mahkamah Agung.
Buyung dan Syarif Thayeb mendatangi Prof. Subekti untuk memintanya menjadi dekan FHIPK menggantikan SH. Awalnya dia tidak bersedia. Namun, setelah dijelaskan bahwa tindakan ini untuk menyelamatkan UI sekaligus menjaga standar mutu FHIPK, Subekti akhirnya setuju.
Baca juga: Iskandar Alisjahbana, Rektor yang Diteror
Syarif Thayeb kemudian menghadap Presiden Sukarno, lalu keluarlah keputusan pemberhentian Prof. SH digantikan Prof. Subekti yang menjabat dekan selama dua tahun (1964–1966).
“Inilah ikhtiar saya dan para mahasiswa sendiri yang dipimpin Rascobi Matram untuk membersihkan FHIPK sehingga kembali mempunyai dekan yang berwibawa, yaitu Prof. Subekti,” kata Buyung. “Tapi, tentu saja saya dibenci oleh para asisten SH yang ikut terkena pembersihan.”
Jabatan Baru
Jusuf Wanandi menyebutkan, pada 1964 SH meninggalkan Fakultas Hukum UI untuk menjabat sebagai Wakil Ketua II Dewan Pertimbangan Agung yang setara dengan posisi menteri. SH memimpin Komisi Pendidikan DPA yang bertugas meninjau sistem pendidikan nasional.
“Pada 4 Agustus 1965, komisi di bawah Prof. SH dijadwalkan bertemu Bung Karno untuk melaporkan hasil akhir kerjanya,” kata Jusuf yang menjabat Sekretaris Jenderal Komisi Pendidikan. Pertemuan ditunda karena Sukarno tidak enak badan.
Baca juga: Mengulik Gelar-gelar Akademik di Indonesia
Sementara itu, menurut Ben Mboi dalam Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja, komisi itu adalah Majelis Pendidikan Nasional (Mapenas) yang beranggota sekitar 60 orang. Salah satu anggotanya adalah Ben Mboi, dokter tentara yang saat itu ditugaskan di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Mapenas dibentuk hanya oleh keputusan presiden. Tidak ada dasar perundang-undangannya, sehingga ketika Orde Lama bubar digantikan Orde Baru, Mapenas dibubarkan oleh MPRS karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
Pada awal Maret 1966, Ben Mboi berangkat ke Jakarta dengan dugaan Mapenas akan bersidang lagi. Namun ternyata lembaga itu praktis tidak bekerja lagi. “Prof. SH kemudian diangkat menjadi duta besar di Hongaria,” kata Ben Mboi.
Prof. SH menjadi duta besar untuk Hongaria selama tiga tahun dan pensiun pada 1969. Dia meninggal pada 29 Desember 1977 karena penyakit jantung dan paru-paru.
Baca juga: Sejarah Pengangkatan Guru Besar dan Profesor di Indonesia