Masuk Daftar
My Getplus

Mengulik Gelar-gelar Akademik di Indonesia

Serba-serbi urusan gelar akademik. Dari kerancuan dokter dan doktor, gila gelar, sampai gelar buat menipu orang.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 08 Agt 2020
Presiden Sukarno menghadiri acara wisuda Universitas Indonesia. (sekar.ui.ac.id).

Video dialog Erdian Aji Prihartanto atau Anji dan Hadi Pranoto di youtube seputar klaim penemuan obat Covid-19 berbuntut panjang. Dua orang ini dilaporkan ke polisi atas dugaan penyebaran berita bohong. Anji berlakon sebagai pembawa acara dalam video itu, sedangkan Hadi Pranoto menjadi narasumber bergelar doktor (Dr.) dan menyebut dirinya profesor.

Belakangan Hadi Pranoto meralat atribusinya. Dia bilang atribut doktor dan profesor cuma panggilan sayang dari teman-temannya. Padahal gelar doktor dan jabatan profesor atau guru besar tak bisa sembarangan dipakai. Ada ancaman pidana dalam pasal 69 ayat 1 UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 terhadap pengguna gelar, sertifikat kompetensi, dan profesi palsu.

Dalam sejarah negeri ini pun gelar akademik bukan perkara main-main. Gelar akademik menandakan adanya penguasaan seseorang dalam bidang keilmuan tertentu. Pemberian gelar akademik sepenuhnya menjadi wewenang perguruan tinggi. Di Hindia Belanda perguruan tinggi mulai berdiri pada 1920-an.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sejarah Pengangkatan Guru Besar dan Profesor di Indonesia

Pendirian perguruan tinggi di Hindia Belanda berfokus pada tiga disiplin keilmuan. Sesuai dengan usulan J. Homan van der Heide, Direktur Pekerjaan Umum, kepada Gubernur Jenderal Idenburg.

“Mengingat ke arah mana kemajuan Hindia Belanda bergerak, maka pada waktunya pendidikan tinggi akan masuk ke sini dan pertama-tama dalam bentuk pendidikan teknik, medis, dan juridis-administratif,” tulis Homan, seperti dikutip oleh S.L. van der Wal dalam Pendidikan di Indonesia 1900–1940.

Kebanggaan

Bachtiar Rifai dalam Perguruan Tinggi di Indonesia menyebut pemerintah kolonial mendirikan tiga perguruan tinggi sepanjang 1920-an. Dua di Jakarta dan satu di Bandung.

Perguruan tinggi di Jakarta bergerak di bidang keilmuan hukum (Rechtshogeschool) dan kedokteran (Geneeskundige Hogeschool), sedangkan di Bandung berfokus pada teknik dan arsitektur (Technische Hoogeschool, kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung).

Tiga perguruan tinggi ini membuka jenjang sarjana. Jika telah selesai masa pendidikan, lulusan perguruan tinggi itu berhak menyandang gelar meester in de rechten (Mr.) untuk hukum, dokter (Arts.) untuk kedokteran, dan insinyur (Ir.) untuk teknik. Penamaan gelar ini mengikuti aturan di Negeri Belanda.

Baca juga: ITB Rayakan Seabad TH Bandung

Gelar akademik tersebut memberikan kebanggaan bagi para wisudawan. Selain karena tak banyak orang mampu mengecap pendidikan tinggi, gelar itu juga mengukuhkan keahlian tertentu pada dirinya sehingga bisa dipakai untuk melamar pekerjaan dengan gaji lumayan.   

Pemerintah kolonial kemudian meluaskan pendirian perguruan tinggi. Selain itu, mereka juga membuka jenjang doktoral dan menambah disiplin ilmu dalam perguruan tinggi sepanjang 1930-an.

Semasa pendudukan Jepang, aktivitas perguruan tinggi berhenti. Pemberlakuan kembali aktivitas perguruan tinggi terjadi pada masa revolusi oleh NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) dengan membentuk Universiteit van Indonesie.

Pemerintah Indonesia mengambil alih kembali perguruan tinggi dari administrasi NICA pada 1950-an. Bentuk perguruan tinggi juga berkembang menjadi universitas. Dari kebijakan ini muncullah aneka gelar akademik baru.

Baca juga: Sarjana Hukum Pertama Indonesia Lulusan Belanda

“Gelar untuk kesarjanaan Mr., Ir., Drs., M.A., dan M.Sc. dengan catatan bahwa di antara gelar-gelar itu ada yang merangkap untuk beberapa cabang ilmu pengetahuan,” tulis Fanar Fuadi dalam “Gelar-Gelar Kesardjanaan di Indonesia” dalam Djaja, 24 November 1962.

Dr. kependekan dari doctorandus. Gelar ini untuk lulusan ekonomi, sosial, politik, sastra, pendidikan, kepolisian, farmasi, psikologi, dan kedokteran tingkat V. Sementara gelar M.A. (Master of Arts) dan M.Sc. (Master of Science) saat itu masih untuk tingkat sarjana. Gelar-gelar tersebut pengaruh sistem pendidikan anglosaxon (Inggris, Amerika Serikat, Irlandia, dan Australia).

Acara wisuda Universitas Indonesia. (sekar.ui.ac.id).

Keliru Dokter dan Doktor

Bersama itu pula, jumlah orang bergelar doktor (Dr.) mengalami peningkatan. Sering kali gelar ini menyaru dengan gelar dokter (Dr.). Padahal dokter sendiri bukanlah gelar akademik. Dokter merupakan sebutan untuk profesi seseorang yang telah menempuh pendidikan profesi kedokteran.

Karena itulah Bahder Djohan, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia bersurat pada presiden (sekarang rektor) universitas dan kepala perpustakaan negara agar menaruh perhatian terhadap masalah tersebut.

“Penggunaan singkatan ‘Dr’ untuk perkataan ‘dokter’ itu, selain tidak teliti dan tidak pada tempatnya, pula dapat menimbulkan hal-hal yang tidak kita ingini,” tulis Bahder Djohan dalam surat No. 41726, 11 November 1952, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.

Baca juga: Bahder Djohan dan Akses Bacaan untuk Dokter Pribumi

Bahder menegaskan, singkatan Dr. hanya untuk pemegang gelar doktor sebagaimana berlaku di belahan dunia lainnya. “Ialah gelaran yang diberikan kepada seseorang, yang telah menempuh promosi atas kitab disertasinya ataupun karena penghargaan suatu universitet atas jasa-jasanya (doctor honoris causa),” terang Bahder.

Soal gelar akademik juga kembali memperoleh sorotan pada 1960-an. Pada masa ini, Djaja menyebut orang Indonesia kian tergila-gila dengan gelar akademik. Mereka menaruh semua gelar akademiknya secara berentet. Dari tingkat sarjana sampai jenjang doktoral. “Sebagai dasar kebanggaannya di masyarakat,” catat Djaja.

Gila Gelar

Lazimnya, jika seseorang telah memperoleh gelar doktor dalam suatu bidang ilmu, gelar akademik yang lebih rendah tak perlu dipasang lagi. Sepanjang dia memperoleh gelar dalam satu bidang ilmu yang sama. Dia boleh mencantumkan gelar akademik yang lebih rendah jika gelar bidang keilmuannya berbeda.  

Kegilaan pada gelar akademik dimanfaatkan segelintir orang untuk tujuan dan keuntungan pribadi. “Sering kita dengar penipuan-penipuan dengan berkedokan gelar sarjana. Berlagak sebagai Mr. Pelan sebagai Nyonya Drs. Anu dalam menggaruk keuntungan. Banyak korban sudah karena pengelabuan semacam ini,” catat Djaja.

Pelaku penipuan gelar itu antara lain Djokosutomo. Dia menyematkan atribusi profesor di depan namanya dan menambah M.A. di belakang namanya. Ternyata M.A itu kependekan dari Marto Atmodjo, nama panjangnya.

Baca juga: Rektor Tak Lulus Kuliah

Berdasarkan kejadian-kejadian tadi, Prof. Budi Susetyo sebagai Wakil Presiden Universitas Airlangga mengusulkan untuk menghapus semua gelar akademik tingkat sarjana. “Hal ini sebagai tantangan terhadap sifat gila-gilaan pemuda kita sekarang untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari suatu perguruan tinggi,” terang Budi dalam Djaja.

Tapi Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (pecahan dari Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan) menolak usulan Budi Susetyo. Kementerian berjanji akan mengatur dan menertibkan ulang semua gelar akademik sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Tapi aturan itu baru keluar 30 tahun setelahnya.

Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 036/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi. Keputusan ini merumuskan ulang aturan dan penyebutan gelar-gelar akademik. Juga ancaman pidana bagi pencantuman gelar yang tidak sesuai aturan.

TAG

pendidikan

ARTIKEL TERKAIT

Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Perploncoan dalam Pendidikan Kedokteran Zaman Belanda Modal Soeharto dari Muhammadiyah Beasiswa dari Masa ke Masa Soeharto Lulus SD dan Ki Hadjar Tak Pernah SMA Ibu Sud, Cak Roes, dan Sekolah Belanda Peran Lasminingrat dalam Pendidikan dan Penerjemahan Gejolak di Osvia Pendidikan Seks dalam Serat Nitimani Korupsi di Perguruan Tinggi