Adnan Buyung Nasution disebut dalam dokumen rahasia yang telah dideklasifikasi oleh Pusat Deklasifikasi National (NDC) Amerika Serikat dan dibuka untuk publik pada 17 Oktober 2017. Dokumen enam halaman itu merangkum situasi Indonesia pasca Gerakan 30 September 1965 dan upaya kalangan moderat membantu Angkatan Darat menghancurkan PKI.
Dokumen tersebut menunjukkan betapa luasnya dukungan pembunuhan massal yang dipimpin Angkatan Darat bahkan di antara kekuatan politik moderat di Indonesia. Dalam amatan pemerintah AS, Buyung dianggap perwakilan kaum moderat yang berguna menyediakan informasi penting bagi Kedubes AS.
Memorandum yang dikeluarkan Kedubes AS di Jakarta merekam pembicaraan Buyung dengan Robert Rich, sekretaris kedua Kedubes AS. Buyung yang saat itu berusia 31 tahun dan menjabat asisten Jaksa Agung, mengusulkan untuk terus mengejar komunis guna melemahkan kekuatan PKI.
“Ini adalah momen kritis bagi orang-orang moderat Indonesia, seperti anggota PNI dan Masyumi, untuk membubarkan komunis dan menghilangkan kekuatan PKI,” kata Buyung kepada Rich.
Baca juga: Laporan Pembasmian Komunis dalam Dokumen Rahasia AS
Buyung disebutkan dua kali mendatangi Kedubes AS pada 15 dan 19 Oktober 1965. Dia mengatakan bahwa Angkatan Darat telah mengeksekusi ribuan orang komunis. Dia berpesan agar sebisa mungkin fakta ini dipegang erat-erat dan disembunyikan dari Presiden Sukarno. Informasi lain yang disampaikannya adalah rencana Angkatan Darat untuk membebaskan pimpinan Masyumi dan PSI yang dipenjara sejak pemberontakan PRRI.
Buyung memiliki akses ke pihak AS karena pernah bertugas di intelijen Kejaksaan Agung. Dia juga menjadi asisten yang diperbantukan (liaison officer) Kejaksaan Agung untuk mendampingi tamu kehormatan Jaksa Agung AS Robert F. Kennedy yang berkunjung ke Indonesia pada 1962.
Anti-PKI
Sejak duduk di SMA, Buyung sudah tegas anti-PKI. Ayahnya, Rahmad Nasution menanamkan pelajaran tentang demokrasi, dan setelah agak besar, dia membaca buku-buku ayahnya mengenai bahaya komunisme, otoriterisme, totaliterisme, bahkan militerisme dan fasisme.
“Sehingga saya sudah terbentuk menjadi sangat alert terhadap paham komunis. Waktu di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) saya sudah sadar betul bersikap anti-PKI. Saya menentang IPPI Edi Abdurachman yang cenderung mau mengkomuniskan IPPI,” kata Buyung dalam otobiografinya, Pergulatan Tanpa Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto.
Sikap itu konsisten terus hingga pada Juli 1964, Buyung bersama rekan-rekannya mendirikan Gerakan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Dalam organisasi ini bergabung aktivis pemuda, cendekiawan, hingga tentara yang berpaham sama: anti-PKI. Mereka antara lain para jaksa seperti Adi Muwardi yang menjadi ketua Gerakan Ampera, beberapa tokoh HMI, dan beberapa tentara pelajar maupun kelompok intelijen Angkatan Darat. Gerakan Ampera juga menggandeng tokoh-tokoh militer dari Divisi Siliwangi.
Baca juga: Ketika Adnan Buyung Nasution Bertemu Tan Malaka
Sebagai wakil ketua Gerakan Ampera, Buyung membangun sel-sel Pemuda Ampera di berbagai wilayah: Menteng, Senen, hingga Bogor. Mereka menggalang berbagai elemen masyarakat, mulai dari tukang becak, pedagang asongan, hingga gelandangan dalam program-program kerakyatan yang disebut Program Karya.
“Kami berpendapat bahwa salah satu cara melawan PKI adalah dengan merebut hati rakyat, yaitu melakukan kerja nyata, membangun irigasi, penggilingan padi, membuat jembatan, dan sebagainya, di kampung-kampung. Proyek Karya itu sudah sempat kami kerjakan di berbagai tempat di Jawa Barat dan Solo, Jawa Tengah,” kata Buyung.
Baca juga: Peristiwa 17 Oktober 1952: Ketika Moncong Meriam Menodong Istana
Setelah G30S dan PKI dilibas habis, Gerakan Ampera melebur dalam KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia). Buyung menjadi ketua KASI Jakarta. Dalam rapat-rapat KASI, Buyung mendukung Soeharto sebagai presiden. “Saya adalah orang yang paling gencar mencalonkan Soeharto menjadi presiden daripada Nasution yang saya anggap orang Orde Lama dan terkontaminasi Peristiwa 17 Oktober 1952,” kata Buyung.
Namun, dalam rapat KASI kemudian muncul kekhawatiran melihat tentara semakin dominan. “Wah, kalau begini kita jadi alat tentara saja. Kalau dibiarkan, tentara akan berkuasa di negeri ini. Hal ini tidak boleh terjadi. Kita harus bangun kekuatan sipil,” kata Buyung. Upaya Buyung meminta Chaerul Saleh untuk memimpin pemuda dalam mengimbangi tentara tidak berhasil. Wakil Perdana Menteri III itu tidak mau meninggalkan Sukarno.
Baca juga: Skandal Senjata Era Soeharto
Kekhawatiran Buyung terbukti ketika melihat tentara berkuasa. Dalam suatu pertemuan dengan Presiden Soeharto, Buyung menyampaikan bahwa tentara berkuasa mana-mana dalam ekonomi dan politik: berdagang dengan berbagai cara dan korupsi seperti kasus Pertamina dan kasus Timah Bangka, bahkan penyelundupan senjata ke Biafra.
“Waktu saya bilang seret jenderal-jenderal yang korup itu ke pengadilan, Soeharto langsung berdiri meninggalkan ruangan, masuk ke dalam dan tidak balik lagi,” kata Buyung.
Baca juga: Jalan Berliku Lembaga Bantuan Hukum
Setelah kejadian itu, Buyung yang menjabat kepala humas Kejaksaan Agung dibuang ke Medan. Dia menolak dan memilih mengundurkan diri dari Kejaksaan Agung. Dia membuka praktik hukum sendiri dan yang penting dia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Sebagai tokoh yang kritis, Buyung pernah dipenjara rezim Orde Baru karena dituduh berada di balik kerusuhan Malapetaka 15 Januari (Malari) tahun 1974.
Buyung meninggal dunia di Jakarta di usia 81 tahun pada 23 September 2015.