Unggahan “King of Lip Service” buatan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM-UI) berekor panjang. Rektorat UI memanggil beberapa pengurus BEM-UI pada Minggu, 27 Juni 2021. Hari berikutnya, akun media sosial milik pengurus BEM-UI diretas. Kemudian pendukung BEM-UI mulai berbalik menyerang Ari Kuncoro, rektor UI.
Ari dianggap tak melindungi mahasiswanya. Dia juga dinilai rangkap jabatan: menjadi rektor, ikut pula duduk di kursi komisaris bank BUMN. Lalu muncul pembandingan antara Ari dengan Mahar Mardjono, rektor UI periode 1973–1982. Mahar dianggap sebagai rektor yang bisa menempatkan posisinya antara rezim dan mahasiswa pengkritik rezim.
“Beliau dekat dengan mahasiswa. Kami ini mahasiswa biasa. Tapi bisa diajak bicara sama Pak Mahar. Beliau suka mengajak kami untuk ngobrol-ngobrol di ruangannya di rektorat,” kata Zulkarimein Nasution, mantan aktivis Dewan Mahasiswa dari Jurusan Publisistik, FIS (Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial/kini FISIP) UI angkatan 1970 sekaligus salah satu pendiri koran mahasiswa Salemba, kepada Historia.id.
Baca juga: Pers Mahasiswa Menggugat Orde Baru
Mahar menjadi rektor ketika hubungan pemerintah dan mahasiwa sedang tegang-tegangnya. “Mahar dilantik ketika suasana kampus telah mulai memanas. Mahasiswa saat itu mengkritik program pembangunan lima tahun (Pelita) pertama (1969–1974),” sebut Antony Z. Abidin dkk. dalam Mahar: Pejuang, Pendidik, dan Pendidik Pejuang.
Mahasiswa menyoroti pola pembangunan rezim Soeharto. “Lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi ketimbang pemerataan, semakin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin, korupsi yang semakin merajalela di kalangan pemerintahan, soal penanaman modal asing, dan tuntutan agar pada Pelita II kondisi-kondisi buruk itu segera diperbaiki,” lanjut Antony.
Sebelum menjadi rektor, Mahar menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran UI. Dia tak begitu memperhatikan urusan kemahasiswaan dan politik. Dia memang pernah berjuang sebagai tentara pelajar dan ditahan tentara Belanda saat masa-masa awal kemerdekaan. Tapi minatnya jauh dari politik.
Baca juga: Ketika Ali Sadikin Mau Gebuk Sudomo
Siapa menduga bahwa Mahar kemudian harus terseret dalam konstelasi politik mahasiswa dan pemerintah. Setahun menjadi rektor UI, Mahar harus mengurusi mahasiswa-mahasiswa UI yang ditangkap aparat keamanan setelah peristiwa kerusuhan Malari 1974. Mahar kemudian dipanggil Laksamana Sudomo, Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), ditanya terkait peristiwa itu.
“Siapa itu di belakang semua?” tanya Sudomo.
“Saya tidak tahu apa-apa. Pak Domo kan lebih tahu dari saya. Jangan tanya saya,” kata Mahar.
Mahar lalu meminta Sudomo membantu membebaskan mahasiswa-mahasiswa UI. Tapi Sudomo tak bisa memberi jaminan. Mahar juga menghubungi kelompok Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo agar membebaskan mahasiswa. Tapi mereka juga enggan mengabulkan permintaan itu.
Tak lama kemudian, Mahar didatangi oleh seorang mahasiswa UI binaan Ali Moertopo. Mahasiswa membawa pesan dari Ali Moertopo agar Mahar menemuinya. Tapi Mahar menolak ajakan itu.
“Lho, kalau dia mau bicara suruh saja datang ke sini. Saya kan rektor, bukan anjingnya orang siapapun. Kalau dia memang mau bicara silakan datang ke sini!” kata Mahar.
Baca juga: Malari, Malapetaka Politik Pertama
Ucapan Mahar sampai ke Ali Moertopo. Beberapa hari kemudian, selebaran gelap untuk menyudutkan Mahar beredar dengan beragam judul. Antara lain “Mengapa Mereka Harus Disikat Habis Setelah Peristiwa 15 Januari?” Isi selebaran menyebut Mahar sebagai antek Partai Sosialis Indonesia (PSI). Mahar juga dibilang buta politik dan cuma cari popularitas.
Kala itu, orang-orang PSI seringkali dituduh sebagai biang onar oleh rezim. Termasuk dalam Malari. Setelah Malari, pemerintah mengejar setiap orang yang dianggap punya jaringan dengan PSI. Tapi Mahar menganggap enteng tuduhan itu. Lagipula Soemitro dan Sudomo mengakui peran Mahar dalam mengatur mahasiswa.
Mahar memberi kebebasan luas bagi para mahasiswa menikmati otonomi kampus untuk mengkritik pemerintah. Tapi dia juga berusaha menjaga kebebasan itu agar tak merusak situasi. Dia menyarankan mahasiswa dan pemerintah berdialog lewat mimbar akademis dan studium generale.
“Salah satu keuntungan dari kebebasan mimbar akademis dan studium generale ialah mengurangi rasa saling curiga antara mahasiswa dan pemerintah. Pada gilirannya, dialog ini juga bisa meredam gejolak mahasiswa,” terang Mahar.
Baca juga: Band Asal Bapak Senang Pengawal Sukarno
Soemitro mengatakan Mahar telah berhasil memberikan batasan agar kebebasan itu tak berujung pada perusakan. Sementara Sudomo berpendapat Mahar bukan tipe seorang “Asal Bapak Senang”.
Menurut Mahar, mahasiswa bergerak turun ke jalan karena melihat DPR, BPK, dan MPR tak berfungsi sebagaimana mestinya. Tak ada pula alat kendali terhadap pemerintahan dan pembangunan nasional.
Sebagai rektor universitas negeri, Mahar sadar dirinya berada dalam struktur pemerintahan. Dia juga seorang birokrat dan harus tunduk pada kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K)
Judilherry Bustam, mantan Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa UI 1974, menilai Mahar pandai menjaga keseimbangan sebagai birokrat dan pendidik. Ini misalnya terjadi saat koran Salemba sering mengeluarkan karikatur karya Wahyu Sardono (Dono Warkop) dan pemberitaan mengkritik pemerintah hingga menimbulkan reaksi keras pihak-pihak yang dikritik.
Baca juga: Dono dan Karikatur-karikaturnya
Saat itu terjadi, Maharlah yang menghadap langsung ke pihak yang tersinggung dan menjelaskannya.
Cara Mahar menghadapi pemerintah juga terlihat ketika Menteri Daoed Joesoef ingin menerapkan program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1978 untuk membatasi kegiatan mahasiswa di luar kuliah.
Mahasiswa menolak mentah-mentah NKK/BKK. Banyak mahasiswa tak suka Daoed sampai-sampai mereka menyebutnya sebagai “nama dua nabi, kelakuan dua setan”.
Daoed Joesoef mencak-mencak. Dia makin bersikeras menerapkan program itu. Mahar mengatakan kepada Daoed, “program itu sebenarnya bagus.”
Mahar sarankan Daoed harus datang langsung ke UI dan berdialog dengan mahasiswa. Tapi Daoed berkata, “Oh, saya tak mau bicara dengan mahasiswa, mereka mau terima atau tidak.”
Mahar sempat diancam dipecat oleh Daoed karena dianggap tak bisa mengatur mahasiswa. Mahar pun mempersilakan Daoed memecat dirinya. “Saya dipecat tidak apa-apa. Saya memang tunduk pada pemerintah. Tapi kalau ada hal-hal yang tidak sesuai dengan pandangan saya, saya tak mau tunduk,” kata Mahar. Daoed menyudahi ancamannya. Dia tak pernah memecat Mahar dan datang ke kampus UI.
Baca juga: Warisan Daoed Joesoef dalam Pendidikan
Sampai akhirnya justru Abdul Gafur, Menteri Urusan Pemuda yang mendatangi kampus UI. Mahar sudah memperingatkan Abdul Gafur agar tak datang. Mahasiswa maunya berdialog dengan Daoed. Bukan dengan Abdul Gafur. Tapi Abdul Gafur keukeuh.
Kekhawatiran Mahar menjadi kenyataan. Gafur mendapat sambutan telur busuk dari mahasiswa. Muka, jas, dan celananya kena lemparan telur busuk. Dia akhirnya batal bertemu mahasiswa.
Mahar marah sekali dengan pelemparan telur itu. “Cara begitu tidak sopan,” kata Mahar. Tapi dia tetap mengambil alih tanggung jawab peristiwa itu. “Saya bilang di koran saya yang salah,” kata Mahar.
Mahar berhenti menjadi rektor UI pada 1982 dan mengabdikan diri sepenuhnya pada pengembangan ilmu kedokteran di Indonesia. Bagi para mantan mahasiswanya, Mahar telah mewariskan kenangan kuat tentang sosok rektor yang mengayomi mahasiswa.
“Pak Mahar ini memberi kepercayaan penuh kepada kita. Kepercayaan ini amat kami jaga, jangan sampai Pak Mahar kecewa,” kenang Zulkarimein Nasution.