Jembatan darat yang pernah menyatukan Jawa, Sumatra, Kalimantan, dengan daratan Asia, memicu kemungkinan datangnya manusia paling awal ke Nusantara. Yang pertama datang adalah Homo erectus, lalu Homo sapiens.
“Kita tak bisa lepas dari pengembaraan manusia di dunia, yang semua datangnya dari Afrika. Kita adalah bagian dari dunia,” kata Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Bagi yang tak percaya teori evolusi, sesungguhnya DNA manusia menyimpan kisahnya. “Apa yang ditulis tentang diri kita (di dalam DNA, red.) itu tak ada salahnya. Kebenaran itu bisa dibuktikan,” kata Hera lagi.
Menurut Hera, ada tiga cara mengetahui asal usul: dari bahasa ibu, budaya, dan tes DNA. “Informasi dari genom adalah gambaran migrasi dan asal-usul moyang kita,” lanjutnya.
Diawali Homo erectus
Ruly Fauzi, arkeolog Balai Arkeologi Palembang, dan Truman Simanjuntak, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam “Sumatra dan Problematikanya dalam Sejarah Migrasi Manusia ke Nusantara” termuat di Gua Harimau dan Perjalanan Panjang Perdaban Oku, menjelaskan migrasi manusia paling awal, Homo erectus, ke wilayah Nusantara diperkirakan terjadi antara 1,8 dan 1,0 juta tahun silam. Namun, masih banyak yang berbeda pendapat soal itu.
Dari sisi arkeologis, keberadaan Homo erectus di kehidupan awal Nusantara, dibuktikan dengan adanya temuan fosil. Yang tertua, bertipe arkaik, ditemukan di Situs Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, dari 1,5 juta–0,9 juta tahun yang lalu.
Baca juga: Manusia Jawa, Bukti Teori Evolusi Darwin
Lalu muncul Homo erectus yang ciri fisiknya lebih evolutif, dari 0,9–0,25 juta tahun lalu. Fosilnya juga ditemukan di Sangiran. Selanjutnya tipe Homo erectus yang lebih progresif. Ia hidup sekira 150.000 tahun lalu. Fosilnya ditemukan di Situs Ngandong (Blora, Jawa Tengah), Sambungmacan (Sragen), dan Ngawi (Jawa Timur).
Menurut Ruly, melihat temuan yang beda tipe dan masanya itu, ada indikasi evolusi regional. Namun, sulit menentukan apakah migrasi berpengaruh dalam pembentukan tipe-tipe yang berbeda itu. Pun apakah perubahan lingkungan mendorong adaptasi dalam bentuk budaya dan evolusi fisiologis, masih belum bisa dibuktikan. Pertanyaan besarnya lagi, apakah Homo erectus kemudian punah tanpa pewarisan genetik kepada populasi yang lebih modern?
Dua Ras Manusia Modern
Teori multiregional membantah pertanyaan itu. Pendukungnya meyakini kalau manusia yang secara anatomis modern berevolusi dari para pendahulunya, yaitu Homo erectus, di masing-masing wilayah. Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia menjelaskan di antara yang sepakat adalah sebagian besar pakar paleoantropologi Tiongkok.
“Hipotesis evolusi kesinambungan multiregional menganggap sisa-sisa peninggalan di Tiongkok secara morfologis berada pada garis evolusi yang menurunkan orang Mongoloid modern tanpa interupsi yang berarti,” jelasnya.
Sementara teori tandingannya, Out of Africa, meyakini kalau penjelajahan yang dilakukan Homo erectus ke seluruh dunia itu adalah pertama kalinya bagi spesies hominini pergi keluar benua Afrika. Ini terjadi sebelum kemudian leluhur manusia modern masa kini, Homo sapiens, meniru penjelajahan besar mereka hingga sampai ke Nusantara dan menggantikan pendahulunya itu.
Baca juga: Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika
Bukti yang jelas tentang gelombang pengelanaan Homo sapiens, menurut Ruly, berasal dari 40.000-10.000 tahun dan 10.000-3.000 tahun yang lalu. Bukti-bukti tentang ini banyak ditemukan di situs tertutup, seperti ceruk alami dan gua yang tersebar di perbukitan karst.
“Hunian gua dan ceruk agaknya merupakan suatu tren baru,” jelas Ruly.
Contohnya adalah temuan kubur manusia berusia 9.300 tahun dari Song Terus, gua karst di wilayah Pacitan, Jawa Timur. Bukti kubur manusia lainnya juga ada di Gua Lawa (Ponorogo), Braholo (Gunung Kidul), dan Song Keplek (Pacitan).
“Menariknya semua gua itu indikasinya ada populasi ras yang sama, Australomelanesid dengan ciri kubur terlipat dan konteks budayanya preneolitik,” jelas Ruly.
Bellwood menjelaskan, Australomelanesid atau Australoid adalah satu dari dua ras utama Homo sapiens yang meninggali kepulauan Nusantara. Selain Australomelanesid, ada pula ras Mongoloid, atau lebih khusus Mongoloid Selatan.
Baca juga: Mengukur Kemurnian Manusia Indonesia
Cecep Eka Permana, arkeolog Universitas Indonesia dalam “Tinggalan Budaya Proto-Melayu dan Deutero-Melayu di Indonesia dan Malaysia dan Dampaknya pada Penguatan Kebudayaan Melayu Kini” yang disampaikan di Seminar Antarabangsa Perantauan Sumatera-Semanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak di Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia pada 2012 menjelaskan perbedaan kedua ras itu.
Menurut Cecep, ras Australomelanesid antara lain memiliki ciri-ciri berbadan tinggi. Tengkoraknya relatif kecil, berbentuk lonjong dengan dahi yang agak miring dan pelipis agak membulat. Lebar mukanya sedang. Sementara Mongoloid badannya lebih kecil. Tengkoraknya besar, berbentuk bundar dengan dahi lebih membulat dan pelipis tinggi dan persegi. Mukanya lebih lebar. Australomelanesid diduga telah ada lebih dulu di Nusantara sebelum kedatangan ras Mongoloid.
Ruly menjelaskan, dalam perspektif biologi, keberadaan Mongoloid yang menggantikan Australomelanesid di Nusantara selalu dikaitkan dengan tradisi Neolitik dan diaspora penutur bahasa Austronesia. Ciri khas tradisi Neolitik misalnya, gerabah dan beliung persegi. Sementara diaspora Austronesia diperkirakan terjadi sekira 4.000 tahun yang lalu.
Menggantikan atau Membaur?
Herawati menjelaskan sejak awal yang membuat manusia Indonesia beragam adalah karena kawasannya menjadi persilangan migrasi. Hal ini tergambar dalam DNA manusia Indonesia masa kini.
Melalui data genetik terjelaskan, gelombang pertama migrasi Homo sapiens keluar dari Afrika masuk ke Indonesia terjadi pada 50.000 tahun lalu yang secara arkeologis ditandai dengan ras Australomelanesid. Mereka masuk melalui dua jalur ke arah timur. Pertama, dari Asia daratan turun ke Sumatra, Jawa, menyeberangi Nusa Tenggara. Kedua, melewati Kalimantan, masuk ke Halmahera, Raja Ampat, dan Fak Fak.
Baca juga: Grace Natalie Ternyata Punya Gen Afghanistan
Gelombang kedua datang dari 30.000 tahun lalu. Mereka berpindah ke selatan masuk ke Nusantara dari Asia daratan melewati Semenanjung Malaya. Ketika itu Sumatra, Kalimantan, dan Jawa masih menjadi satu.
“Nah jadi pertanyaan kan? Turun itu membaur atau menggantikan (Australomelanesid, red.) nanti kita bisa tahu,” kata Hera.
Gelombang ketiga terjadi sekira 4.000 tahun lalu. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Tiongkok Selatan menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan.
“Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Tiongkok daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” jelas Hera.
Dalam diasporanya mereka membawa Bahasa Austronesia. Bahasa inilah yang kemudian berkembang, khususnya di Nusantara. “Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” jelasnya.
Baca juga: Indonesia Penutur Austronesia Terbesar
Gelombang keempat terjadi ketika Nusantara sudah masuk periode sejarah. DNA-nya membekas khususnya pada orang-orang yang tinggal di pesisir. “Dulu banyak sekali pedagangan dari Eropa, Tiongkok, India, Arab yang datang membaur,” kata Hera. “Keempat gelombang migrasi ini akan mempengaruhi DNA.”
Dari penelitiannya, Hera melihat pada populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur terdapat gradasi pembauran genetik. “Dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austroasiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujar Hera.
Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austroasiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatra yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo.
Austroasiatik dan Austronesia adalah dua rumpun bahasa yang berbeda. Namun keduanya sama-sama disebarkan oleh ras Mongoloid. Secara arkeologis, kelompok penutur Austroasiatik bermigrasi lebih dulu ke Nusantara. Sekira 4.300-4.100 tahun lalu, mereka mulai bermigrasi dari Yunan ke Vietnam dan Kamboja, menyusuri Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu hasil budaya yang dibawa adalah tembikar berhias tali.
Sementara penduduk asli Pulau Alor membawa genetika Papua (Austromelanesid). Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia. Ini dibuktikan dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur Bahasa Austronesia.
“Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya,” jelas Herawati.
Baca juga: Hasto dan Budiman Punya Gen Samaritan
Kesimpulannya didukung sebaran geografis beberapa temuan arkeologi. Pada zaman Neolitik, ras Australomelanesid lebih dominan di Indonesia bagian barat. Seperti di situs Anyer Lor (Banten), Buni (Jawa Barat), Sangiran, Plawangan, Gunung Wingko di JawaTengah, serta Muncar, Pacitan, Jember, Puger (Jawa Timur).
Di Indonesia bagian tengah dan timur, seperti temuan rangka manusia di Melolo (NTB), Ulu Leang, Bada, Napu, Besoa, Paso, Sangihe (Sulawesi), serta Gua Alo, Liang Bua di NTT memperlihatkan percampuran antara ras Mongoloid dan ras Australomelanesid. Percampuran ras Mongoloid dan ras Australomelanesid juga terjadi di Malaysia seperti yang ditemukan di gua Kepah.
Sementara pada masa yang lebih muda, zaman logam, ras Mongoloid lebih dominan di Indonesia barat. Sementara di timur, dominasi Australomelanesid lebih terlihat. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, populasi Mongoloid lebih dominan. Kendati populasi ini mempunyai banyak warisan genetik Australomelanesid.
Baca juga: Pernah Diolok Onta, Gen Arab Najwa Hanya 3,4 Persen
Jika disederhanakan, menurut Bellwood, bisa disebut populasi Mongoloid mendominasi wilayah barat dan utara. Di Indonesia timur, populasi yang paling dominan jelas merupakan bagian dari dunia Melanesia, baik secara fisik maupun budaya. “Ekspansi Mongoloid yang memasuki lingkungan Australo-Melanesia menimbulkan variasi yang cukup besar dalam setiap kelompok mestinya cukup menjelaskan keadaan yang ada,” jelas Bellwood.
Itu belum ditambah variasi dari gelombang migrasi keempat pada masa sejarah. Tak heran jika kini manusia Indonesia merupakan hasil campuran dari beragam genetika. Akhirnya, seperti kata Herawati, tak ada pemilik gen murni di Nusantara, karena moyang manusia Indonesia pun adalah pengembara yang secara bertahap pergi keluar dari Afrika.