PERNYATAAN seorang milenial yang tengah go-international, Agnes Monica alias Agnez Mo, bikin geger. Dia menyatakan tak punya darah Indonesia dalam sebuah wawancara. Kendati esensi pernyataannya tidak salah, cara penyampaian Agnes akhirnya disalahpersepsikan.
Sejarawan Bonnie Triyana menyatakan, secara biologis tidak ada yang namanya gen maupun DNA orang Indonesia. Indonesia adalah konsep nation-state dari sebuah wilayah yang pernah jadi jalur perlintasan empat gelombang migrasi nenek moyang manusia dari Afrika. Secara ilmiah, gelombang migrasi itu dijabarkan dalam teori “Out of Africa”.
Maka, menilik hasil dari proyek tes DNA yang digarap Historia.id bersama Kemendikbud RI dalam Pameran Asal Usul Orang Indonesia, sebanyak 16 relawan yang dites punya sebaran asal-usul gen dan DNA yang beragam. Nah, apa itu DNA? Apa bedanya dengan genetika, ras, atau etnis?
Baca juga: Agnez Mo dan Bukti Mencintai Indonesia dalam Suka dan Duka
Dalam beragam literatur ilmiah, DNA (Deoxyribonucleic acid) atau Asam deoksiribonukleat adalah sebuah molekul yang menjadi penyusun utama setiap makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan.
Menurut pakar neurogenetika dan biologi molekuler dr. Roslan Yusni Hasan atau biasa disapa Ryu Hasan, DNA itu semacam kode genetik dalam tubuh makhluk hidup, termasuk manusia. Sederhananya ia mengibaratkan DNA adalah unsur terkecil dari sebuah buku besar catatan diri manusia yang namanya genom.
“Genom/buku ini terdiri dari 23 bab yang namanya kromosom. Tiap bab/kromosom terdiri dari ribuan cerita/gen. Nah, gen disusun oleh paragraf-paragraf yang namanya exon dan intron. Exon ibarat cerita utama dan intron adalah iklan namun sama-sama penting. Tiap paragraf/exon dan intron disusun oleh kata yang namanya codon. Setiap kata/codon disusun oleh yang namanya basa. Ya A,C,G,T (adenine, cytosine, guanine, thymine) itu. Setiap kata itu awalnya disebut RNA dan kemudian menjadi DNA,” ujar Ryu Hasan dalam perbincangannya dengan Historia.
Baca juga: Tes DNA Buktikan Keragaman Manusia Indonesia
Ilmuwan pertama yang meneliti tentang DNA itu sendiri terurut ke belakang dari penemuan ahli fisika Swiss Friedrich Miescher pada 1869. Dalam “Discovering DNA: Friedrich Miescher and the Early Years of Nucleic acid Research”, dimuat dalam Human Genetics, R. Dahm menyebut Miescher lebih dulu mengisolasi molekul asam nukleat dari sebuah perban bekas operasi.
Seiring waktu, sejumlah ilmuwan lain mengembangkan temuan itu, dari pengisolasian RNA (Ribonucleic acid) hingga DNA. Setelah Miescher, pada 1909 Phoebus Levene mengidentifikasi basa, senyawa gula, dan senyawa nukleat fosfor dari RNA. Dua dekade berselang (1929) ia juga yang mengidentifikasi senyawa gula deoxyribose hingga menjadikannya DNA.
Pada 1933, Jean Brachet menemukan inti sel nucleus dalam DNA. Empat tahun berselang, William Astbury menemukan DNA memiliki struktur reguler lewat penguraian melalui x-ray. “Penampakan” DNA yang dikristalisasi pertamakali lewat foto x-ray diambil pertamakali oleh Raymond Gosling pada 1952, dinamakan Photo 51, di mana foto itu diakui sebagai model pertama DNA dengan struktur double-helix.
“Yang pertamakali ditemukan itu adanya RNA. Lalu DNA yang digunakan para ahli sampai sekarang karena (strukturnya) lebih stabil daripada RNA. Lalu pemetaan genom manusia konkret dibuat pertamakali secara lengkap itu baru 26 Juni 2000,” sambung Ryu.
Yang dimaksud Ryu adalah “Human Genome Project” yang digarap International Human Genome Sequencing Consortium. Perampungannya baru diumumkan kepada publik pada 14 April 2003. Sejak itulah mulai ramai institusi riset biologi “menawarkan” program-program tes DNA.
Mengapa Manusia Berbeda-beda?
Intisari tes DNA yang digarap Historia.id dan Kemendikbud adalah, menggambarkan bahwa manusia Indonesia punya asal-usul DNA yang sangat beragam. Itu terkait dengan empat gelombang migrasi “Out of Africa” puluhan ribu tahun silam, merujuk pada teori Homo sapiens alias manusia modern pertama berasal dari bagian timur Afrika yang diperkirakan sudah eksis antara 300-200 ribu tahun lalu.
“Dari situ muncul pembagian dua populasi yang punya sejarah panjang 200 ribu tahun lalu. Yaitu orang-orang yang sekarang jadi suku Khoisan dan Pigmi. Baru sekitar 60 ribu tahun lalu Homo sapiens yang keluar dari Afrika menyebar ke banyak wilayah. Bahkan 50 ribu tahun lalu sudah ada yang mencapai Australia. Lalu sekitar 45 ribu tahun lalu sudah ada yang di Siberia. Dan, butuh sekitar 30 ribu tahun kemudian yang di Siberia itu menyebar ke Amerika Selatan,” lanjut Ryu.
Baca juga: Mengurai Nenek Moyang Ayu Utami Via DNA
Seiring waktu, lantaran faktor lingkungan tempat para manusia modern itu tinggal, tampilan fisik mereka berubah hingga akhirnya menjadikan manusia di segenap bumi punya rupa yang berbeda-beda. Manusia di Eropa berkulit putih, di Amerika (suku asli Indian) berkulit kemerahan, di Asia berkulit kuning dan coklat, dan di Afrika yang tetap berkulit hitam.
Tapi, lanjut Ryu, gen pembawa kulit terang sudah ada di orang-orang Afrika kulit hitam ratusan ribu tahun lalu itu. “Jadi gen dan DNA itu sendiri tidak bicara apa-apa tentang perbedaan. Ada yang namanya gen untuk orang kulit terang, itu SLC24A5, yang terdiri dari sekitar 20 ribu pasang basa dan kode genetik. Cuma satu bedanya. Yang (manusia) berkulit terang itu bermutasi sesuai lingkungannya. Itu saja. Kode mutasinya hanya berubah dari A jadi G. Satu huruf itu yang membedakan seseorang berkulit terang dan gelap. Hanya mutasi kecil saja,” terangnya.
Perihal genetik, DNA, serta Teori Out of Africa itu sontak “menggugurkan” teori ras yang dipaparkan ilmuwan Amerika Samuel Morton pada 1839 lewat risetnya yang dibukukan, Crania Americana. Teori itu menyatakan manusia diciptakan berbeda-beda berdasarkan ras: Kaukasia, Mongoloid, Indian-Amerika, Melayu (Asia Tenggara), dan Negroid (Afrika).
“Morton itu ‘Bapak Rasialis’. Setelah ada teori baru tentang evolusi, kemudian genetika, semua (ide teori ras) itu salah. Manusia pertama ya dari Afrika. Bicara perbedaan misalnya orang Denmark dan orang Bantul, itu sama saja seperti orang Bantul dengan orang Kulonprogo – secara genetik enggak ada beda. Ekspresi (penampilan fisik) berbeda tergantung adaptasi lingkungan.”
Oleh karena itu, lebih jauh, konsep pribumi dan non-pribumi pun gugur. Secara genetik dan DNA, tidak ada orang Indonesia yang disebut pribumi. Gagasan itu sekadar dampak dari situasi sosial-politis yang ada di masing-masing wilayah bumi.
“Kalau disebut pribumi, ya kita semua pribumi. Bumi ini punya kita. Sekarang gini, apa bedanya pribumi Sunda dan Jawa? Batasnya di mana? Siapa yang membatasi? Nah, politis itu. Kita semua pendatang kok. Bahkan Homo erectus saja ditemukan Eugène Dubois di Trinil, di mana dia sudah ada sebelum Homo sapiens, itu juga pendatang,” tandas Ryu.
Baca juga: Kelana Opsir KNIL Mencari Manusia Purba