JUSTINA Ayu Utami. Meski lahir dari orangtua asal Jawa, ia lahir dan tumbuh di lingkungan yang dominan orang Sunda. Maka perempuan kelahiran Bogor, 21 November 1968 itu pun kadang ia tak luput dari perundungan.
“Sebagai orang Jawa, ya pernah sih saya di-bully. Karena saya tinggalnya di Bogor, kan daerah (orang) Sunda ya. Biasa pulang sekolah lewat di satu komplek perumahan yang dominan orang Sunda, suka dikatain: Jawa lu! Jawa kowek,” kata Ayu mengenang.
Namun, Ayu jarang memasukkan perundungan itu ke dalam hati. Baginya, perundungan yang diterimanya tak separah yang diterima banyak temannya dari etnis Tionghoa maupun Arab.
Di Masa Orde Baru yang jauh dari demokratis itu, Ayu yang tumbuh menjadi wartawan hingga turut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), perlahan menggali pemahaman akan Indonesia majemuk. Manusia Indonesia asal-usulnya bercampur-baur. Pun saat ia mulai mengukir namanya di bidang sastra sebagai novelis, ia tak luput menyelipkan banyak keresahannya terhadap rezim Soeharto.
Baca juga: Pernah Diolok Onta, Gen Arab Najwa Hanya 3,4 Persen
Lewat novel pertamanya, Saman, terbit pada 1998, Ayu mempelopori gaya sastra baru: sastra wangi. Genre ini menyodorkan isu-isu seksual dan feminisme. Langkah Ayu diikuti banyak novelis lain macam Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, atau Dewi ‘Dee’ Lestari.
Kendati lewat karyanya Ayu kerap memuntahkan kritik tajam pada Soeharto, ternyata leluhur Ayu masih sekampung dengan Soeharto. “Bapak-ibu saya dari Yogya. Ibu saya asal Gamping, bapak saya asal Gayam. Dari garis ibu, saya enggak tahu apa-apa tentang leluhur. Tapi dari (garis) bapak, pernah ada cerita tentang mbah (kakek) buyut seorang lurah di Desa Kemusuk. Konon Soeharto masih hormatlah sama mbah buyut saya. Sampai saat Mbah buyut saya meninggal, Soeharto datang (melayat),” kata Ayu mengisahkan cerita dari ayahnya.
Ayu menjadi satu dari 16 relawan tes Deoxyribonucleic acid (DNA) yang diadakan Historia.id bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI lewat Proyek Asal Usul Orang Indonesia (ASOI), yang pamerannya dihadirkan di Museum Nasional, 15 Oktober-10 November 2019.
“Ini (tes DNA) proyek yang sangat penting karena saya tuh capek dengan pemahaman mengenai identitas yang membatasi. Seolah-olah ada yang murni dalam hal suku atau ras. Kan kita selalu bercampur. Tes ini sangat baik untuk menelusuri asal-usul kita. Diam-diam kita percaya ada percampuran DNA fisik dan terpenting adalah yang menjadi riset saya, kita punya kemampuan fisik dan kultural untuk mencampurkan. Jadi percampuran itu adalah DNA kehidupan,” kata Ayu.
Baca juga: Grace Natalie Ternyata Punya Gen Afghanistan
Dalam risetnya, Ayu mendapati suku Betawi, yang banyak diakui orang sebagai suku asli Jakarta, mulanya punya kekhasan dan ragam hasil percampuran budaya lain. Namun, kini Betawi mengerucut pada satu identitas tertentu. Padahal menurutnya, etnis Betawi terbentuk dari percampuran etnis-etnis lain.
“Betawi sendiri datang dari nama Batavia, satu wilayah di Belanda. Kemudian orang-orang yang ada di kota Batavia itu percampuran Bugis, Bali, Sunda, Jawa, bercampur jadi satu. Tadinya kita lihat upacara kawinan orang Betawi macam-macam. Ada (sentuhan) Arabnya, Sundanya, Tionghoanya. Jauh lebih kaya daripada sekarang. Sekarang jadi pengerucutan satu identitas tertentu saja,” sambungnya.
Itu hanya satu contoh dalam hal perbedaan muasal etnis yang lantas jadi pembatas dari kacamata Ayu. Padahal, kata Ayu, para pendiri bangsa sudah bersepakat bersatu dalam perbedaan.
“Indonesia kan beragam. Waktu para ibu dan bapak bangsa ini mendirikan negara yang namanya Indonesia, kita sepakat mengatasi yang namanya perbedaan. Bahkan sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, kita sudah menyatakan sepakat. Jadi perbedaan itu harus diterima dan harus berjalan secara alamiah,” tambah Ayu.
Hasil Tes DNA Ayu Utami
Meski sudah punya prediksi dan prediksinya tak melenceng jauh, Ayu mengaku deg-degan ketika mengetahui hasil tes DNA-nya. “Tuh, East Asian (Asia Timur) paling besar. Agak cocoh sih dengan dugaan, ya,” kata Ayu begitu berhasil mengeluarkan kertas hasil tes DNA-nya dari selubung amplop.
Rinciannya gen nenek moyang Ayu Utami: Asia Timur 79,94 persen, Diaspora Asia 18,61 persen, Asia Selatan 1,43 persen, dan Timur Tengah 0,03 persen. Yang dimaksud Diaspora Asia adalah orang-orang Asia yang bermigrasi ke Benua Amerika. Sementara gen nenek moyang Asia Timur Ayu merupakan campuran antara gen Austronesia dan Austroasiatik yang meliputi Taiwan, Melayu, Cina, Filipina, Makau, Hong Kong, Jepang, dan Guam.
“Jadi hampir sebenarnya 98 persen itu Mbak Ayu Utami dari Asia Timur. Ini banyak sekali Austronesian, tapi saya juga melihat jejak Austroasiatik tadi. Memang dari data-data yang kami kumpulkan, untuk dari Jawa memang Austroasiatiknya cukup tinggi. Kemudian Austronesianya juga, hampir 50:50,” kata pakar genetika dari Lembaga Biologi Molekular Eijkman Profesor Herawati Supolo-Sudoyo ketika memaparkan hasil tes DNA Ayu.
Baca juga: Asal Gen Yunani-Siprus dalam DNA Ariel
Herawati juga melihat ada jejak gen yang cukup unik dari tubuh Ayu Utami, yakni gen Asia Selatan dan Timur Tengah. Jika Asia Selatannya berasal dari gen suku-bangsa Dhangar, gen Timur Tengahnya dari suku-bangsa Kurdi.
“(DNA) Timur Tengahnya dari Iranian-Kurds ini. Suku bangsa Kurdi di daerah Iran. Kalau Asia Selatannya secara spesifik menyebut satu populasi, Dhangar, di daerah Maharastra, India. Suatu populasi yang biasanya hidup terisolasi, menggembala, dan nomadik atau berpindah-pindah,” lanjut Herawati.
Sang novelis pun mengaku sedikit terkejut punya gen Timur Tengah dan India. “Mayoritas gen saya karena saya dari Jawa, memang pasti dari Asia. Tapi yang tidak saya duga, yaitu dari gen Timur Tengah, spesifiknya Kurdi. Suatu data yang menarik dan kebetulan juga berasal dari daerah-daerah yang punya sejarah agama dan pemikiran yang asyik,” ujar Ayu.
Dhangar yang gennya ada dalam tubuh Ayu merupakan masyarakat nomaden di wilayah Maharastra. Etnis yang punya sistem kasta ini sudah dikenal sejak berabad-abad lampau. Sebagian kecil dari etnis itu mengembara sampai ke wilayah Uttar Pradesh. Mengutip sensus dari Komisi Sensus dan Kependudukan Federal India tahun 2011, jumlah etnis Dhangar tidak lebih dari 44 ribu jiwa di berbagai pelosok India.
Pun begitu, hingga kini masih belum diketahui sejak kapan orang-orang Dhangar mulai mendiami Maharastra. Antropolog Shyam Singh Shashi dalam The World of Nomads menguraikan, istilah “Dhangar” berasal dari dua kata Sanskerta: Dhang yang artinya bukit dan Gar yang artinya gembala. Secara sederhana, Dhangar berarti masyarakat penggembala di atas bukit.
“Kata Dhangar juga tertulis di pahatan sebuah gua Budha di Distrik Pune, Maharastra. Gua ini dipercaya berasal antara dari abad pertama atau ketiga Masehi,” tulis Shashi.
Sistem kasta dalam masyarakat Dhangar sedikit berbeda dari sistem kasta etnis-etnis India lain. Sistem kasta di masyarakat Dhangar terbagi tiga. Yang tertinggi adalah Kasta Khute Dhangar, disusul Kasta Bargi atau Hatker Dhangar, dan terakhir Kasta Jhade Dhangar.
Kendati hidupnya terisolasi, orang-orang Dhangar juga mengembara untuk menggembala ternak mereka. Pengembaraan itu membuat mereka bertemu dan kawin-mawin dengan etnis-etnis lain. Dari situlah kemungkinan 1,43 persen darah Dhangar Ayu berasal.
Baca juga: Sultan Syahrir dan Ragam Muasal Manusia Indonesia
Fakta itu membuat Ayu makin percaya bahwa Indonesia adalah sebuah negeri di mana tidak ada satu pun etnis atau suku yang bisa mengaku paling asli dari etnis lainnya.
“Saya percaya dan ini jadi passion dan riset saya juga bahwa kita tidak hanya punya DNA fisik tapi juga DNA Nusantara. DNA Nusantara itu bentuknya persilangan, penyatuan yang bertentangan tanpa mengubah pertentangan. Nah itu yang membuat bangsa Indonesia ini bisa membuat rumusan seperti Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila dan kita harus menerimanya dengan bahagia,” tandas Ayu.