Masuk Daftar
My Getplus

Oppenheimer, Proyek Manhattan dan Bhagavad Gita (Bagian II – Habis)

Sosok “Bapak Bom Atom”, ilmuwan Yahudi kiri yang menyelami fisika teoritis, mekanika kuantum, astrofisika, hingga filosofi klasik Hindu.

Oleh: Randy Wirayudha | 17 Jul 2023
Fisikawan Julius Robert Oppenheimer (kanan) bersama Jenderal Leslie Richard Groves Jr. di Lab Los Alamos (US Department of Energy)

BRIGADIR Jenderal Leslie Richard Groves Jr. tak pernah menyesali keputusannya ketika menjatuhkan pilihannya pada Julius Robert Oppenheimer untuk memimpin Project Y alias Laboratorium Los Alamos. Keputusannya ternyata tak keliru. Hasilnya berbuah manis berupa suksesnya proyek pengembangan bom atom.

Groves Jr. sendiri diberi kepercayaan menakhodai Proyek Manhattan sejak 17 September 1942. Proyek di bawah Korps Zeni Angkatan Darat (AD) Amerika Serikat dari Distrik Manhattan itu kemudian base camp-nya dipindah ke Los Alamos.

Proyek Manhattan bermula dari surat fisikawan Edward Teller, Eugene Wigner, Leo Szilard, dan Albert Einstein kepada Presiden Franklin D. Roosevelt tanggal 2 Agustus 1939. Surat tersebut berisi peringatan akan ancaman Jerman yang sudah memulai proyek pengembangan bom atom pasca-penemuan fisi nuklir oleh Otto Hahn dan Fritz Strassman pada 6 Januari 1939.

Advertising
Advertising

Roosevelt menanggapinya dengan lebih dulu mendirikan Komite Penasihat bidang Uranium alias Komite Eksekutif S-1. Namun berkecamuknya Perang Dunia II di Eropa dan Pasifik membuat Roosevelt baru menyetujui upaya proyek pengembangan bom atomnya secara resmi pada 19 Januari 1942. Langkah konkretnya, pada medio Juli 1942 Proyek Manhattan diluncurkan.

Baca juga: Nuklir yang Tak Pernah Padam

Para ilmuwan senior di Komite Eksekutif S-1 (lbl.gov)

Nama Oppenheimer mulai direkomendasikan kepada Jenderal Groves oleh sejumlah ilmuwan Komite Eksekutif S-1 seperti Arthur Compton dan James B. Conant. Nama terakhir merupakan salah satu mentor Oppenheimer selama ia ‘ngampus’ di Harvard.

“Saya tak pernah merasa melakukan kesalahan telah memilih Oppenheimer untuk tugasnya di masa perang. Ia memenuhi misi yang ditugaskan kepadanya dengan sangat baik. Kita tak pernah tahu apakah hasilnya akan baik atau lebih baik jika dilakukan orang lain,” kenang Groves dalam otobiografinya, Now It Can Be Told: The Story of the Manhattan Project.

Proyek Manhattan digulirkan oleh Laboratorium Los Alamos dan Oppenheimer dipilih Groves untuk jadi direkturnya. Tetapi, pemilihan Oppenheimer –yang kelak dijuluki “Bapak Bom Atom”– memicu polemik. Pasalnya dia dekat dengan sayap kiri.

Di sisi lain, Oppenheimer lebih dari sekadar fisikawan Yahudi yang kekiri-kirian. Ia merupakan ilmuwan yang menggeluti banyak bidang sains, mulai dari kimia, astrofisika, bahkan sastra klasik Hindu. Ketika bom atom diujicobakan di Gurun Jornada del Muerto, New Mexico, Oppenheimer mengutip perkataan dalam manuskrip Bhagavad Gita, “saya menjadi Maut, penghancur dunia.”

Baca juga: Oppenheimer, Proyek Manhattan dan Bhagavad Gita (Bagian I)

Oppenheimer dan Jenderal Groves mengobservasi TKP uji coba bom atom (US Department of Energy)

Filosofi Gita Oppenheimer

Lahir sebagai sulung dari dua bersaudara pasutri Yahudi asal Jerman, Julius Seligmann Oppenheimer dan Ella Friedman, Oppenheimer kecil tak mengikuti jejak ayahnya menjadi dokter. Oppenheimer kecil mulai menaruh minat pada sains justru berkat kakeknya, Benjamin Pinhas Oppenheimer, saat dibawa ayahnya berkunjung ke kampung halamannya di Hessen, Jerman.

“Ketertarikannya pada sains karena ketidaksengajaan: saat berusia lima tahun ketika mengunjungi kakeknya di Jerman, Robert (Oppenheimer) dihadiahi sebuah kotak berisi koleksi bebatuan mineral yang didapat sang kakek dari sejumlah negara yang pernah ia datangi,” tulis majalah Time, 4 November 1948.

Gairahnya pada fisika mulai tumbuh ketika sudah masuk sekolah dasar Ethical Culture Fieldstone, di mana gurunya bernama Augustus Klock mengenalkan fisika dengan cara-cara yang komunikatif, interaktif, dan mudah dipahami sehingga menyenangkan Oppenheimer. Maka ketika sudah mulai paham mineralogi dan fisika, Oppenheimer membuka minat lain terhadap kimia di Harvard College dan lulus summa cum laude pada 1925.

Baca juga: Marcel Dassault dan Jet Tempur Kebanggaan Prancis

Saat melanjutkan ke Universität Göttingen di Jerman, Oppenheimer mendalami fisika teoritis dengan dimentori fisikawan Max Born. Di kampus ini juga Oppenheimer mulai mengenal sesama fisikawan ternama di kemudian hari, di antaranya Enrico Fermi dan Edward Teller.

“Dengan didampingi Born, Oppenheimer meraih gelar doktoralnya pada Maret 1927, di mana salah satu penelitiannya menyentuh bidang mekanika kuantum yang di masa itu masih sedikit yang mendalaminya. Salah satu hasil riset yang dirilisnya adalah Born-Oppenheimer (BO) Approximation yang merupakan penelitian matematis terhadap dinamika molekuler fisika dan kuantum kimia,” jelas David C. Cassidy dalam J. Robert Oppenheimer and the American Century.

Oppenheimer (baris kedua, kedua dari kiri) saat mengunjungi sebuah lab di Leiden, Belanda pada 1926 (Emilio Segrè Visual Archives)

Sepulangnya ke Amerika dan mengajar di Berkeley, Oppenheimer sempat mengalihkan minatnya pada sastra Hindu pada 1931. Untuk menggali banyak filosofi dalam manuskrip-manuskrip kuno klasik India, Oppenheimer bahkan sempat belajar bahasa Sanskerta pada Arthur W. Ryder.

“Saya belajar Sanskerta, saya sangat menikmatinya dan jadi kemewahan tersendiri bisa berguru (pada Ryder),” tulis Oppenheimer dalam suratnya kepada adiknya, Frank Oppenheimer, dikutip James A. Hijiya dalam The Gita of J. Robert Oppenheimer.

Baca juga: Matematikawan India yang Dipandang Sebelah Mata

Oppenheimer acap membawa salah satu filosofinya dalam manuskrip Bhagavad Gita saat menggeluti sains yang lain. Apa yang selama ini dilakukannya, menurutnya semata-mata realisasi dharma atau tugas mulia. Termasuk ketika ia mendalami astrofisika pada akhir 1930-an. Ketika “Surat Szilard-Einstein” dibaca Presiden Roosevelt, Oppenheimer tercatat sedang menggeluti astrofisika bersama Hartland Snyder di University of California Berkeley.

“Pada 1939 Oppenheimer dan beberapa mahasiswa Hartland Snyder merangkum riset ‘On Continued Gravitational Contraction’ yang memprediksi eksistensi tentang apa yang kita kenal sekarang sebagai Lubang Hitam,” ungkap Kai Bird dan Martin J. Sherwin dalam American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer.

Setelah lulus doktoral di Jerman, Oppenheimer sempat berkarier di University of California Berkeley (Atomic Heritage Foundation)

Ketika akhirnya Oppenheimer dipilih Jenderal Groves menjadi direktur Lab Los Alamos untuk Proyek Manhattan pada 1942, ia terjun ke proyek itu semata-mata demi dharma atau tugas mulia yangn lebih besar. Kendatipun pada akhirnya ia mengembangkan senjata yang begitu destruktif.

“(Bhagavad) Gita mengungkapkan satu sumber penting dalam keyakinan Oppenheimer bahwa para ilmuwan tidaklah mestinya berdiri di atas menara gading dan bertindak egois, melainkan melakukan sesuatu yang efektif di dunia. Akhirnya studi akan filosofi itu bisa menjelaskan kontradiksi yang terjadi pada kehidupan Oppenheimer bahwa seseorang dengan kecerdasan begitu besar dengan kepribadian yang sebenarnya pasifis bisa membangun sebuah bom atom,” imbuhnya.

Baca juga: Multiverse, Antara Spekulasi Filosofis dan Misteri yang Belum Terungkap

Oppenheimer tentu menyadari potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh bom atom. Namun Oppenheimer ibarat berada dalam posisi Arjuna ketika diminta Dewa Krishna melakukan “tugasnya” untuk memerangi Kurawa.

“Dia memisahkan dharma-nya sendiri untuk membantu menciptakan bom yang akan diputuskan oleh para pemimpin pemerintah tentang kapan dan bagaimana bom itu digunakan. Dia mengatakan, ‘saya melakukan pekerjaan sebagaimana yang sudah ditugaskan’,” terang sastrawan Alok A. Kharana dalam artikelnya, “How J. Robert Oppenheimer Was Influenced by the Bhagavad Gita” di kolom Literary Hub, 10 Juli 2023.

Oppenheimer jadi direktur Lab Los Alamos yang berbasis di New Mexico (lanl.gov)

Terlebih, tugas Oppenheimer makin dikejar waktu. Pasalnya Jerman di Norwegia – tapi kemudian sejumlah pasukan khusus Norwegia menyabotasenya– sudah mulai memproduksi air berat yang jadi salah satu komponen penting dalam pembelahan inti atom.

Saking hectic-nya, Oppenheimer sampai tak mengindahkan kondisi kesehatannya. Penyakit tuberculosis (TBC) yang ia idap sejak di Berkeley makin kronis hingga tubuhnya kian mengurus. Namun eksperimen-eksperimen Oppenheimer terhadap uranium dan plutonium jalan terus. Eksperimen fisi plutonium itu kemudian digunakan untuk senjata bom atom “Thin Man”, sementara eksperimen terhadap isotop Uranium-235 digunakan pada senjata bom atom “Little Boy” yang pada 6 Agustus 1945 dijatuhkan ke kota Hiroshima.

Baca juga: Sikut-sikutan Perlombaan Bom Atom Amerika-Jerman

Klimaksnya adalah uji coba Trinity Test pada 16 Juli 1945 pagi di Gurun Jornada del Muerto, New Mexico atas permintaan Presiden Harry S. Truman yang ingin ujicoba dilakoni sebelum Konferensi Postdam (17 Juli-2 Agustus 1945). Bom atom yang diujicobakan dinamai “The Gadget”. Desainnya serupa dengan bom “Fat Man” yang dijatuhkan di Nagasaki.

Sebelum diledakkan, “The Gadget” lebih dulu dimasukkan ke dalam kontainer baja  berdimensi panjang 25 kaki dan diameter 10 kaki. Dan pagi setelah hujan reda, bunyi “Bum!” membahana. Ledakan “The Gadget” diobservasi dengan merekam aktivitas ledakannya via dua pesawat pembom B-29 “Superfortress”.

“Bom meledak pukul 5:29:21 dengan energi setara 24,8 kiloton TNT. Butiran pasir silika yang mendominasi gurun meleleh dan menjadi butiran kaca radioaktif. Ledakan itu menciptakan kawah sedalam 1,4 meter dan lebar 80 meter. Getaran yang ditimbulkan ledakannya sangat terasa sampai radius 160 kilometer seiring menimbulkan awan jamur setinggi 12,1 kilometer,” ungkap Henry DeWolf Smyth dalam Atomic Energy for Military Purposes: the Official Report on the Development of the Atomic Bomb under the Auspices of the United States Government, 1940-1945.

Bom "Gadget" (kiri) dan kapsul "Jumbo" (Department of Energy)

Fisikawan Isidor Isaac Rabi yang turut menyaksikan, seketika memerhatikan Oppenheimer yang merapal Bhagavad Gita saking takjubnya. “Jika pancaran seribu matahari meledak sekaligus di langit, itu menjadi kemegahan yang begitu perkasa,” kata Oppie.

Syahdan untuk mengakhiri perang, Amerika pun menjatuhkan bom atom yang dikembangkan Oppenheimer ke Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki tiga hari berselang.

Baca juga: Patriot Norwegia Gagalkan Bom Atom Jerman

Oppenheimer jelas menyesal telah menimbulkan penderitaan para korban di dua kota itu. Namun penyesalan itu justru ditanggapi amarah oleh Presiden Truman.

“Pada sebuah pertemuan di Los Alamos, dia dan beberapa staf proyek (Manhattan) menyesali pemboman Nagasaki yang dirasanya sudah tidak perlu jika dilihat dalam sudut pandang militer. Pada Oktober 1945 saat bertemu Presiden Truman, Oppenheimer merasa tangannya berlumuran darah korban dan pernyataan itu membuat marah Truman. Kepada sekretarisnya, Dean Acheson, Truman berkata ketus, ‘saya tidak mau melihat orang sialan itu di kantor saya lagi’,” sambung Bird dan Sherwin.

Dokumentasi uji coba bom atom di New Mexico, 16 Juli 1945 (Department of Energy)

Hingga menjelang akhir hayatnya, Oppenheimer tak pernah lepas dari bayang-bayang penyesalannya. Termasuk ketika ia diwawancara NBC untuk dokumenter The Decision to Drop the Bomb (1965). Bom atom yang dikembangkannya berkembang jadi aneka senjata nuklir yang mengancam kehancuran dunia pada era Perang Dingin.

“Kita tahu dunia takkan lagi sama. Beberapa orang tertawa, beberapa lainnya menangis. Banyak di antara yang lainnya bungkam. Saya ingat sebuah manuskrip Hindu, Bhagavad Gita; (dewa) Wisnu berusaha membujuk pangeran (Arjuna) bahwa ia harus melakukan tugasnya dan untuk membuatnya terkesan, ia mengambil sebuah senjata dan mengatakan, ‘sekarang saya menjadi Maut, penghancur dunia.’ Saya harap kita semua bisa merenunginya,” kata Oppenheimer.

Baca juga: Star Wars Penangkal Nuklir Amerika

Di tahun yang sama saat ia diwawancara NBC, Oppenheimer terdiagnosa mengidap kanker tenggorokan. Upaya perawatan chemotherapy-nya sia-sia karena pada 18 Februari 1967, Oppenheimer mengembuskan nafas terakhir di kediamannya di Princeton, New Jersey. Jenazahnya dikremasi dan abunya disemai di pesisir St. John.

Nama baik dan reputasinya sempat digelayuti kontroversi imbas aktivitas politiknya sejak 1954 yang dekat dengan Partai Komunis Amerika CPUSA. Butuh waktu lama untuk rehabilitasi namanya. Baru pada 16 Desember 2022, Menteri Energi Jennifer Granholm membersihkan nama Oppenheimer dengan menyatakan Oppenheimer terbukti setia kepada bangsa dan negara.

Oppenheimer sempat mengunjungi Israel apda 1966 atau setahun jelang tutup usia (nli.org.il)

TAG

sains bom-atom bom atom nuklir amerika-serikat

ARTIKEL TERKAIT

Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Kisah Penemu Terkenal yang Menjadi Korban Rasisme Ketika Israel Menghantam Kapal Amerika Pukulan KO Berujung Kerusuhan di Hari Kemerdekaan Lobi Israel Menyandera Amerika? Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang 73 Easting, Tarung Kolosal Tank di Perang Teluk Serba-serbi Politik Gentong Babi