SITUASI di Jalur Gaza, Palestina makin memilukan setelah lebih dari 40 hari digempur militer Israel. Dua rumahsakit di kota Gaza sudah terpaksa berhenti beroperasi.
Lima hari lalu, PRCS atau Bulan Sabit Merah Palestina, dikutip Anadolu Ajansı, Minggu (12/11/2023), menyatakan Rumah Sakit Al-Quds yang berlokasi di Tel al-Hawa, Gaza, terpaksa berhenti beroperasi setelah padamnya listrik karena kekurangan bahan bakar. Pasien-pasiennya dan staf medisnya baru bisa dievakuasi tiga hari berselang.
Hal serupa kemudian dialami Rumah Sakit Indonesia (RSI) yang berlokasi di Beit Lahiya, Gaza Utara. Tidak hanya kekurangan pasokan listrik, RSI –yang pasiennya sudah membludak lima kali lipat dari kapasitas maksimalnya– sudah tak lagi punya stok obat-obatan dan fasilitas medis lainnya hingga tak lagi bisa beroperasi sejak Kamis (16/11/2023).
“Kami tak bisa lagi memberikan layanan (kesehatan). Kami tak bisa menawarkan pasien tempat tidur perawatan,” terang direktur RSI Atef al-Kahlout lirih, kepada Al Jazeera, Kamis (16/11/2023).
Baca juga: Darah dan Air Mata Palestina
Harapan tersisa hanya di Rumah Sakit Al-Shifa, kompleks medis terbesar yang berlokasi di Remal, kota Gaza. Itupun sudah mati-matian. Sebagaimana RSI, RS Al-Shifa pun dituding Israel bahwa ruang bawah tanahnya (rubanah) merupakan sarang Hamas.
Tudingan yang belum terbukti ke-sahih-annya itu menjadi dasar IDF (pasukan Israel) membombardir sekeliling kompleks RS Al-Shifa selama berminggu-minggu lalu. Lantas, belum lama ini IDF melancarkan raid ke dalam rumahsakit.
“#Israel memutuskan untuk melenyapkan segala bentuk kehidupan #sipil di Jalur Gaza sebagai cara untuk mencapai tujuannya. Israel memahami minimnya reaksi internasional terhadap serangannya ke #Rumahsakit Al-Shifa sebagai lampu hijau baru untuk melakukan #pembantaian lagi,” ungkap Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina di akun X-nya, @pmofa, Kamis (16/11/2023).
Namun alih-alih bersimpati pada kemanusiaan, Presiden Amerika Serikat Joe Biden sebagai pendukung utama Israel tetap membela laku IDF. Usai menjamu Presiden RI Joko Widodo di Washington DC pada Senin (13/11/2023), ia menjustifikasi serangan IDF ke RS Al-Shifa.
“Anda memiliki situasi di mana kejahatan perang pertama dilakukan Hamas dengan markas dan militer mereka tersembunyi di bawah (ruang bawah tanah/rubanah) rumah sakit. Satu hal yang telah terjadi adalah Hamas memiliki markas, persenjataan di bawah rumah sakit dan saya menduga banyak hal lainnya,” tutur Biden, disitat New York Post, Kamis (16/11/2023).
Baca juga: Gereja Tertua di Gaza yang Diserang Israel
Tentu saja banyak pihak menyayangkan aksi-aksi tak manusiawi pasukan zionis selama melancarkan raid ke RS Al-Shifa. Salah satunya Prof. Mads Gilbert, dokter pakar anestesi dan trauma University Hospital of North Norway dan Arctic University yang bolak-balik bekerja di RS Al-Shifa sejak sejak 1981-2014.
“Jika hari ini saya harus memilih antara neraka dan (rumah sakit) Al-Shifa, saya akan memilih neraka. Saya mendapat laporan kemarin bahwa 20 dari 23 pasien gawat darurat meninggal. Sebanyak 17 pasien yang meninggal karena kekurangan oksigen dan air. Antara tiga sampai lima dari 38 bayi yang lahir prematur telah meninggal sesak nafas karena pasukan penjajah Israel memotong suplai listrik, oksigen, dan obat-obatan. Ini masa-masa terkelam dalam sejarah modern,” tutur dr. Gilbert kepada Democracy Now!, Rabu (15/11/2023).
Dr. Gilbert sendiri saat ini masih tertahan di Kairo, Mesir. Sudah berminggu-minggu ia menantikan akses menuju RS Al-Shifa. Terkait tudingan Israel, sepanjang ia bekerja di rumahsakit itu tak pernah mendapati adanya tanda-tanda markas Hamas di rubanahnya.
“Sejauh yang saya tahu tidak ada bukti, baik dari intelijen Amerika maupun Israel dan kita sudah mendengar tudingan itu selama 16 tahun ini. Jangan lupakan Konvensi Jenewa, konvensi yang keempat, jikalau ada target sipil yang bercampur dengan target militer, tindakan pencegahannya harus memprioritaskan sipil. Dan mereka (Israel) membom banyak rumah sakit lainnya. Mereka membom Rumahsakit Ibu dan Anak al-Rantisi dan mereka mengatakan, ‘oh, ada popok di rumah sakit ibu dan anak, pasti itu teroris.’ Apapun alasannya mereka tak berhak membom rumahsakit,” imbuhnya.
Bekas Barak jadi Rumah Sakit
Belum terdapat catatan seperti apa lahan lokasi RS Al-Shifa di masa Kesultanan Utsmaniyah. Seperti apa lahan RS itu hanya diketahui pada 1920-an pasca-Perang Dunia I ketika Inggris mulai menguasai Palestina.
“Rumahsakit Shifa yang juga dikenal Dar al-Shifa punya arti (bahasa Arab) ‘rumah penyembuhan’. Shifa merupakan kompleks medis terbesar di Jalur Gaza yang awalnya merupakan barak tentara Inggris. Tetapi pada 1946, tempat itu dijadikan rumahsakit untuk penyakit demam dan karantina,” tulis Ilan Pappe dan Johnny Mansour dalam Historical Dictionary of Palestine.
Kala terjadi gejolak hingga konflik gegara deklarasi negara Israel pada 1948, Al-Shifa jadi satu dari dua rumahsakit yang tersedia untuk menampung pasien korban Perang Arab-Israel 1948 dan para pengungsi Peristiwa Nakba, selain juga RS Al-Ahli Arab. Menurut Rafiq Husseini dan Tamara Barnea dalam Separate and Cooperate, Cooperate and Separate: The Disengagement of the Palestine Health Care System from Israel and Its Emergence as an Independence System, RS Al-Shifa mulai diperluas areanya dan ditambahi fasilitas-fasilitasnya kala Jalur Gaza berada di bawah naungan Mesir kurun 1948-1967.
“Saat Mesir memerintah di Jalur Gaza pascaperang (1948), departemen untuk karantina dan penyakit demamnya dipindah ke area lain di kota Gaza dan Al-Shifa dikembangkan menjadi rumah sakit pusat di Gaza,” ungkap Husseini dan Barnea.
Baca juga: Kala Penduduk Gaza Terusir, Peristiwa Nakba Terulang Lagi?
Sebagai ganti departemen karatina dan penyakit demam, pemerintah Mesir membangun gedung departemen internis, disusul beberapa sayap gedung tambahan untuk departemen bedah, departemen pediatri atau ibu dan anak, dan oftamologi.
“Gaza sempat diduduki Israel kala terjadi Krisis Suez (1956) tetapi Mesir yang mampu memulihkan wilayahnya, di bawah perintah Presiden Gamal Abdel Nasser, memberi perhatian lebih pada isu sosial dan kesehatan dan Al-Shifa kembali diperluas, termasuk turut dibangunnya departemen obstetri dan ginekologi (OBGYN),” imbuhnya.
Perluasan itu membuat Al-Shifa menjadi rumahsakit terbesar di Jalur Gaza. Selain punya 100 tempat tidur untuk perawatan internis, Al-Shifa punya 70 tempat tidur pediatri, 50 tempat tidur di departemen bedah, 20 tempat tidur perawatan oftamologi atau penyakit mata, dan 10 tempat tidur di departemen OBGYN.
Baca juga: Aksi-Aksi Zionis Israel Menodai Masjid Al-Aqsa
Tetapi saat Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967), Al-Shifa ikut digeruduk militer Israel. “Pasukan Israel memenjarakan sejumlah dokter Mesir. Beberapa pasien juga dibunuh, sebagaimana kepala perawat Nona Samiha Fahmi,” tulis suratkabar Al-Hayat edisi 7 Februari 1968.
Usai Perang Enam Hari, Israel menduduki Jalur Gaza hingga 2005. Oleh otoritas Israel, Al-Shifa pada awal 1980-an direnovasi dan kembali diperluas. Duet arsitek Gershon Tzapor dan Benjamin Edelson yang menanganinya. Israel kemudian memodernisasi standar layanan kesehatan di Al-Shifa.
Meski begitu, setelah Gaza kembali ke Palestina pada 2005, rumahsakit itu tak pernah luput dari serangan Israel baik pada Konflik Gaza (2008-2009), Perang Gaza (2014), maupun saat ini. Alasannya, seperti yang diungkapkan dr. Gilbert, Israel selalu menuding Hamas membuat markas bunker di bawah RS Al-Shifa.
Padahal, Israel-lah yang membangun rubanahnya kala memperluas dan merenovasinya pada 1980-an. Hal itu sudah pernah disingkap media Yahudi yang berbasis di New York, Amerika, Tablet, 29 Juli 2014, berdasarkan laporan koresponden The New York Times pada 10 Januari 2009. Saat menguasai Gaza, kata laporan itu, pada 1983 Israel juga membangun sejumlah ruangan bedah dan jaringan terowongan di bawah tanah Gedung 2 di Kompleks RS Al-Shifa. Itu dijadikan alasan IDF untuk selalu menuding bunker komando Hamas berada di bawah tanah rumahsakit itu pasca-2005.
“Tetapi (sejak 1981) saya tak pernah melihat aktivitas apapun di (rumah sakit) Shifa yang melanggar Konvensi Jenewa. Memang saya tidak menelusuri seluruh sudut di kompleks rumahsakit yang besar itu. Namun jika saya pernah melihat sesuatu di dalam Shifa yang menurut saya melanggar Konvensi Jenewa atau ‘kesucian’ rumahsakit, sudah sejak dulu saya sudah akan pergi,” tukas dr. Gilbert yang ia tuangkan dalam bukunya yang dirilis 2016, Night in Gaza.
Baca juga: Yang Terpendam dalam Lagu "Atouna el Toufoule"