ISRAEL menolak resolusi gencatan senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang digaungkan sejak 27 Oktober 2023. Tak ayal gempuran dari darat, laut, dan udara terus dilancarkan Israel ke Jalur Gaza, Palestina, yang makin hari semakin menjadi kuburan massal bagi anak-anak Palestina.
Hingga Selasa (31/10/2023), badan amal anak-anak PBB UNICEF mencatat sudah 3.450 anak-anak Palestina yang tinggal nama. Sementara, 6.300 lainnya terluka akibat serangan Israel yang membabi-buta ke area pemukiman, kamp-kamp pengungsian, masjid, gereja, hingga beberapa rumahsakit.
“Ketakutan terbesar tentang laporan angka anak-anak yang tewas adalah bermula dari lusinan, lalu ratusan, dan akhirnya ribuan benar-benar terjadi hanya dalam waktu satu malam. Angkanya luar biasa memprihatinkan dan bisa bertambah setiap harinya. Gaza menjadi kuburan bagi ribuan anak-anak. Gaza menjadi neraka buat yang lainnya,” ujar juru bicara UNICEF James Elder kepada Al Jazeera, Selasa (31/10/2023).
Di media sosial pun berseliweran foto-foto maupun video-video tentang kondisi anak-anak Gaza yang memilukan. Jamak di antaranya diiringi dengan sisipan lagu “Atouna el Toufoule” (Give us Childhood) yang membuat penggambarannya kian mengiris hati.
Lagu berbahasa Arab itu sudah ada sejak 1980-an. Tembang yang dipopulerkan penyanyi cilik Lebanon Remi Bendali itu kembali viral setelah banyak di-cover penyanyi lain lantaran nada dan liriknya masih jadi cerminan bagi semua anak di Timur Tengah yang masa kecilnya direnggut bara peperangan.
Baca juga: Gaza dalam Lintasan Sejarah
Refleksi Anak-Anak Korban Perang Timur Tengah
‘Jeena Na’aidkum (kami datang mengucapkan selamat liburan)
Bil ‘Eidi Minsaalkum (selama pengucapan itu, kami bertanya)
Leys Ma Fi ‘Enna (mengapa tidak ada di tempat kami?)
La A’ya wa La Zeinah (tidak ada perayaan dan dekorasi)
Ya ‘Alam, Ardi Mahroo’ah (Wahai dunia, tanahku terbakar)
Ardi Huriyyeh Masroo’ah (Tanahku dicuri kebebasannya)’
Demikianlah penggalan lirik lagu “Atouna el Toufoule”. Lagu tersebut kembali viral setelah serangan Israel ke Gaza –yang disebutkan direktur Komisi Tinggi HAM PBB Craig Mokhiber sebagai genosida tersebut– bersama lagu Michael Heart bertajuk “We Will Not Go Down (Gaza Tonight)”.
Baca juga: Tiga Lagu jadi Rebutan Serumpun
Lagu “Atouna el Toufoule” mulai eksis pada 1984 ketika dipopulerkan bocah empat tahun bernama Remi Bendali. Remi lahir di Tripoli, Lebanon, pada 4 Juli 1979 di keluarga musisi.
The 961 edisi 29 Desember 2019 memberitakan, ayah Remi yang bernama Rene Bendali merupakan salah satu musisi ternama Lebanon di era 1970-an. Tak hanya jadi solois atau komposer, Rene juga acap tampil bersama band keluarga besarnya, The Bendali Family.
Lagu “Atouna el Toufoule” diciptakan oleh para musisi anggota band keluarga itu. Menukil laman Discogs, musiknya diracik sang ayah, sementara liriknya dirangkai oleh Hoda Bendali, Lina Abu Rustum, dan George Yamin.
Lagu itu menggambarkan penderitaan anak-anak Lebanon, Suriah, serta anak-anak pengungsi Palestina yang terdampak Perang Lebanon 1982. Perang yang berlangsung sepanjang 6 Juni 1982-5 Juni 1985 itu menghadirkan adu kekuatan antara Israel yang dibantu milisi-milisi nasionalis Lebanon kontra militer PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) yang disokong Suriah dan milisi Hezbollah di wilayah selatan Lebanon.
“Dengan ‘Operasi Damai Galilee’ Israel menginvasi Lebanon untuk menghancurkan PLO, mengamankan perbatasan utara Israel dari para gerilyawan PLO, melenyapkan pengaruh Suriah di Lebanon agar berdiri negara Lebanon yang baru yang bisa terikat perjanjian dengan Israel,” tulis Laura Zittrain Eisenberg dan Neil Caplan dalam Negotiating Arab-Israeli Peace: Patterns, Problems, Possibilities.
Tidak ada yang menang dalam perang itu. Kondisi deadlock di medan pertempuran akhirnya memaksa Israel dan Lebanon duduk bersama. Dimediasi Amerika Serikat, kedua belah pihak bertikai akhirnya menyepakati gencatan senjata dalam Perjanjian 17 Mei (1983). Butir-butir penting yang disepakati adalah dibuatnya zona keamanan di area selatan sepanjang perbatasan Lebanon-Israel dengan kerjasama keamanan untuk mencekal penyusupan milisi PLO, dan pasukan Israel ditarik mundur dari Lebanon mulai 1985.
Baca juga: Pasang Surut Hubungan Lebanon-Israel
Akibat perang itu, 80 persen desa di selatan Lebanon rata dengan tanah. Korban sipil juga mencapai ribuan meski beberapa pihak berbeda menyebutkan jumlah pastinya.
“Beberapa observer memperkirakan jumlahnya 8.000-10.000 jiwa tapi itu terlalu tinggi. Sementara beberapa pihak yang terlibat dalam konflik sepakat bahwa jumlahnya antara 4.000-8.000 sipil yang jadi korban selama pengepungan Beirut dan sepanjang perang,” ungkap analis militer Richard A. Gabriel dalam Operation Peace for Galilee: The Israeli-PLO War in Lebanon.
Mayoritas korban sipil terjebak dalam baku tembak. Lainnya akibat pembantaian, seperti yang terjadi pada peristiwa Pembantaian Sabra dan Shatila pada 16-18 September 1982.
Pembantaian itu terjadi di kamp pengungsi Palestina dan minoritas Syiah yang dianggap sebagai sarang militan PLO. Ketika pasukan Israel mengepung kamp, milisi Forces Libanaises merangsek masuk untuk melakukan penjagalan yang menewaskan kira-kira 3.000 sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Kondisi memilukan itulah yang disuarakan dalam lagu “Atouna el Toufoule”. Liriknya menyiratkan penyesalan, kepedihan, hingga kemarahan anak-anak yang selama ini suaranya terpendam di balik gemuruh perang.
“Oleh karenanya Remi Bandali dan lagu ini menjadi simbol dari masa kanak-kanak anak-anak Lebanon yang dibajak perang dan simbol bagi mereka yang membutuhkan kebebasan dan perdamaian, seperti anak-anak Gaza di Palestina. Konflik psikis yang terdapat dalam lagunya juga menggambarkan kisah anak-anak Gaza yang terdampak perang dan masih mengharapkan perdamaian di balik perasaan sedih dan marah mereka,” tukas Anshar Zulhemi dan Dava Diah Pamusti dalam artikel “The Psychological Struggle in the Song ‘Give us Childhood’ by Remy Bandali” di jurnal An-Nahdal Al-Arabiyah, Vol. 2, No. 1 (2022).
Baca juga: Nasib Tragis Desa Palestina yang Dibantai Zionis