Tiga Lagu jadi Rebutan Serumpun
Sebagai saudara serumpun, Indonesia-Malaysia sering meributkan soal lagu. Dari "Rasa Sayange" hingga "Halo-Halo Bandung".
WARGANET heboh. Lagu patriotik “Halo-Halo Bandung” diduga dijiplak Malaysia menjadi lagu “Hello Kuala Lumpur”. Ritme dan nadanya serupa, hanya liriknya yang beda.
Hello Kuala Lumpur, ibukota keriangan.
Hello Kuala Lumpur, kota kenangan-kenangan.
Sudah lama aku, tidak berjumpa denganmu.
Sekarang sudah semakin maju, aku suka sekali.
Begitu petikan lirik lagu yang diklaim negeri jiran itu. Sedianya lagu itu sudah diunggah di kanal Youtube Lagu Kanak TV sejak 30 Juni 2018. Namun baru belakangan ini memancing misuh-misuh-nya warganet Indonesia.
Baca juga: Sabah Milik Siapa?
Menanggapi hal itu, Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid melayangkan protesnya dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI.
“Ada kesamaan substansial antara lagu ‘Hello Kuala Lumpur’ dengan ‘Halo-Halo Bandung’ karya Ismail Marzuki. Kami, Kemendikbud (Ristek) tadi pagi sudah melayangkan protes ke kanal Youtube dan meminta agar kasus ini ditangani segera,” kata Hilmar.
Jika pihak Youtube menilai ada kesamaan, imbuh Hilmar, diharapkan lagu yang diunggah kanal Lagu Kanak TV itu bisa di-take down. Pada saat yang sama, KBRI Kuala Lumpur juga sudah melayangkan protes ke lembaga sensor Malaysia, Malaysia Communications and Multimedia Commission (MCMC), agar segera melakukan tindakan.
“Langkah hukum juga bisa ditempuh oleh pemegang hak cipta dan dalam pangkalan data kekayaan intelektual pemegang hak cipta dari lagu ‘Halo-Halo Bandung’ ini ada di PT Harmoni Dwiselaras Publisherindo yang diakui oleh Kemkumham pada 2021. Jadi hak moralnya ada di sang pencipta, Ismail Marzuki, tapi untuk hak ekonomi ada pada perusahaan tadi,” lanjutnya.
Baca juga: Asal-Usul Lagu "Halo-Halo Bandung"
Menilik asal-usulnya, lagu tersebut memang sudah eksis sejak masa Perang Kemerdekaan (1945-1949). Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Jilid 2 (1946) mengungkapkan, Ismail Marzuki mendapat ilham untuk meracik lagu “Halo-Halo Bandung” dari peristiwa Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946. Pun juga sebagaimana pengakuan istri Ismail Marzuki, Eulis Zuraidah.
“Saat terjadi kerusuhan, tampak api menyala-nyala di sebagian kota, mirip lautan api yang ganas menyilaukan. Dari situasi itulah Ismail memperoleh ilham untuk menciptakan ‘Halo-Halo Bandung’,” aku Eulis kepada suratkabar Sinar Harapan edisi 15 November 1975.
Walau begitu, beberapa sumber lain meragukan bahwa Ismail Marzuki sebagai pencipta aslinya. Soerjono atau yang lebih dikenal dengan Pak Kasur dalam sebuah artikel di majalah Minggu Pagi edisi 30 Januari 1955 menyebut, lagu itu ciptaan seorang prajurit dari Divisi Siliwangi berdarah Batak, Simon Lumban Tobing.
Hal serupa juga disingkap musikolog Y.A. Dungga dalam bukunya, Musik di Indonesia. Pun juga menurut sastrawan Remy Sylado, bahwa lagu itu diciptakan Tobing dengan mengambil judul yang terinspirasi dari lagu “Halo, Halo Bandung” yang dipopulerkan penyanyi Belanda, Willy Derby, pada 1923.
Rasa Sayange
Ini bukan kali pertama terjadi “dualisme” klaim lagu Indonesia dan Malaysia. Lagu “Rasa Sayange” juga pernah diklaim Malaysia untuk mengiringi promosi pariwisatanya pada 2007. Menteri Pariwisata Malaysia saat itu, Adnan Tengku Mansor, mengaku lagu itu merupakan lagu Nusantara dan Malaysia bagian dari Nusantara.
“Sejauh yang saya ketahui, kami juga sudah menyanyikan lagu itu sejak lama sekali,” tegas Adnan, dikutip Reuters, 3 Oktober 2007.
Malaysia menggunakan lagu itu lagi dalam upacara pembukaan pesta olahraga SEA Games 2017 Kuala Lumpur.
“Menurut saya, Indonesia atau pihak-pihak lain tidak akan mampu membuktikan komposer lagu ‘Rasa Sayange’ itu,” kata wakil Kerajaan Malaysia, Rais Yatim, dikutip Azrul Azlan dan Muhammad Farhan Zulkifli dalam Nasionalisme dan Identiti dalam Konflik Budaya Malaysia-Indonesia.
Beberapa sumber menyebutkan, lagu asal daerah Ambon, Maluku, itu digubah Paulus Pea. Meski sudah lama dinyanyikan masyarakat Ambon, lagu “Rasa Sayange” pertamakali direkam dengan piringan hitam pada 1962 di Lokananta Solo.
Pengakuan lain datang dari Edward Pea, adik kandung Paulus Pea. Kepada Detik, 4 Oktober 2007, Edward mengungkapkan kakaknya setiap kali mengajar selalu minta para guru menyanyikan lagu itu di depan para siswanya.
Namun beda ceritanya bagi komposer dan musikolog Christian Izaac Tamaela. Ketika bicara dalam Kongres Kebudayaan Nasional 2011. Menurutnya, meski lagu itu asli Maluku, nama Paulus Pea yang disebutkan sebagai penciptanya mendapat sanggahan dari sejumlah seniman di Ambon.
“Kami percaya bahwa sesungguhnya lagu ‘Rasa Sayange’ adalah milik kami dalam tanda kutip,” ujar Chris, dikutip Laila Rafianti dalam Perlindungan Hukum dan Pemanfaatan Hak Ekonomi, Ekspresi, Budaya Tradisional oleh Pelaku Seni Pertunjukan.
Oleh karenanya, lanjut Laila, siapa pencipta lagu itu masih samar. Tapi yang pasti, lagu “Rasa Sayange” sudah dinyanyikan turun-temurun di Maluku.
Baca juga: Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad
Achmad Sujudi, menteri kesehatan periode 1999-2001 yang pernah meneliti kesehatan tahanan politik di Pulau Buru, juga tak meragukan lagu “Rasa Sayange” milik masyarakat Maluku. Dalam memoarnya, Dari Pulau Buru ke Cipinang, ia menyatakan tidak masuk di akal jika Malaysia dengan dialek Melayunya bisa mengklaim lagu bercorak dan berdialek Maluku itu.
“(Lirik) dilihat dari jauh rasa sayang-sayange, seolah-olah kapal itu menjauh dari Ambon dan rasa sayang tetap di Ambon, dilihat dari jauh. Akhiran ‘e’ itu akhiran khas mereka. Malaysia memodifikasi rasa sayange menjadi rasa sayang, eh, yang tentu saja sangat berbeda. Bahkan orang Maluku yang beragam Islam kalau mengucap ‘Bismillah’ saja ketika akan melakukan sesuatu, agak sedikit ditambah, menjadi terdengar seperti berkata. ‘Bismillah-e’. Jadi memang khas sekali,” tulis Sujudi.
Belakangan, di sela KTT ASEAN 2023, Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim dalam acara “Temu Anwar”, 5 September 2023 membuka pengakuan. Ia mengatakan bahwa lagu “Rasa Sayange” itu bukan asli Malaysia.
“Dulu pernah sempat lagu ‘Rasa Sayange’ ada yang bicara itu dari kami, asalnya Malaysia. Itu Google saja tahu sejarahnya. Kita tahu asalnya Indonesia,” jelas PM Anwar, dilansir dari live streaming kanal Youtube Rans Entertainment.
Terang Bulan
Satu lagu lain yang juga sempat menimbulkan sengkarut adalah lagu “Terang Bulan” yang dipopulerkan penyanyi Rudy van Dalm pada 1940-an. Lagunya begitu mirip dengan lagu kebangsaan Malaysia, “Negaraku”.
“Yang dijadikan lagu kebangsaan Malaya ialah ‘Negaraku’. Nada-nada lagu ‘Negaraku’ ialah nada-nada lagu ‘Terang Bulan’, akan tetapi perkataannya diganti,” tulis majalah terbitan Departemen Penerangan, Mimbar Penerangan, edisi Agustus 1957.
Tokoh pers dan budayawan Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe mengungkapkan, lagu berirama keroncong Tugu itu sudah jamak dimainkan oleh para pemuda Tugu keturunan Portugis sebelum Malaysia merdeka sebagai negara kerajaan federal pada 31 Agustus 1957.
“Dimainkan muda-mudi Tugu yang berpacaran di malam terang bulan. Tapi sejak lagu ini menjadi lagu kebangsaan Malaysia dengan judul ‘Negaraku’, kami sudah tidak memainkannya lagi,” kata seniman Keroncong Tugu, Samuel Quiko, dikutip Alwi.
Baca juga: Percikan Awal Sebuah Konfrontasi
Setahun sebelumnya, RRI pusat sudah merekam lagu itu bersamaan dengan sejumlah lagu daerah. Tapi kemudian Presiden Sukarno melarang lagu itu disiarkan RRI untuk menghormati Malaysia. Tetapi seiring terjadinya konfrontasi dengan Malaysia, lagu tersebut dijadikan aset nasional dengan direkam ulang menggunakan piringan hitam oleh Lokananta pada 1965 sebagai lagu rakyat populer Indonesia.
Namun jika menilik buku berbahasa Belanda terbitan A.W. Bruna Uitgevees, Het Nationale Volkslied (terj. Lagu Rakyat Bangsa-Bangsa), lagu “Negaraku” diakui sebagai lagu kebangsaan Malaysia yang disadur dari lagu Prancis bertajuk “La Rosalie”. Lagu ciptaan penyair Pierre-Jean de Béranger (1780-1857) itu pertamakali disadur dengan judul dan lirik berbeda oleh penguasa Negeri Perak, Yang di-Pertuan Sultan Idris I. Itu kemudian diadopsi sebagai lagu kebangsaan Malaysia.
“Beberapa kali irama lagu dan lagu ‘Terang Bulan’ pernah dimainkan di London (Inggris) oleh Sultan Idris I sebagai lagu kebangsaan Negeri Perak . Ketika Tanah Melayu merdeka pada 1957 telah memilih lagu kebangsaan Negeri Perak itu menjadi lagu kebangsaan Malaysia dengan nama lagu ‘Negaraku’,” tulis sejarawan Universiti Pendidikan Sultan Idris, Talib Samat dalam bukunya, Tengku Menteri.
Baca juga: Serumpun yang Berseteru di Lapangan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar