Dalam rapat para panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia di Markas Besar Ganefo, Senayan, Jakarta, 28 Mei 1965, Presiden Sukarno menyampaikan pidato berjudul “Imperialis Mau Menghantam, Kita Harus Siap Siaga.”
Sukarno mengatakan sudah tentu pihak musuh mengadakan spionase hebat kepada kita. Pada suatu hari rumah Bill Palmer di Gunung Mas, Puncak, Bogor, digerebek dan ditemukan dokumen.
“Salah satu dokumen itu nyata betul apa yang saya tadinya masih betwijfelen (meragukan). Kan dulu itu selalu berkata oleh pihak kiri, Bill Palmer adalah spion CIA. Bil Palmer adalah orang CIA. Tadinya saya sendiri, terus terang, is dat wel waar (benarkah), bahwa Bill Palmer itu spion CIA? Sebab dia itu begitu baik, apalagi terhadap film artis Indonesia. He, kiranya pada waktu rumahnya digerebek, anak-anak kita ini mendapat dokumen di rumah Bill Palmer. Itu yang ditunjukan. Wah betul, hij was een spion (dia adalah mata-mata),” kata Sukarno.
Baca juga: CIA Bikin Film Porno Mirip Sukarno
Bill Palmer adalah kepala American Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI). Kehadiran AMPAI di Indonesia pada 1950-an berdasarkan perjanjian antara pemerintah Indonesia dan MPEAA (Motion Picture Export Association of America) yang berdiri pada 1945 –kemudian ganti nama jadi Motion Picture Association (MPA) pada 1994.
Menurut liputan Tempo, 29 Juni 1991, MPEAA membantu merancang perjanjian internasional mengenai pemasaran, penjualan, penyewaan, pemajakan, maupun penyaluran film Amerika Serikat.
MPEAA melalui AMPAI mengizinkan peredaran film-film produksi anggotanya: MGM, United Artists, Universal, Paramount, Warner Brothers, 20th Century Fox, Columbia/Tri Star, Buena Vista/Touchstone, Orion, dan Carolco. Selain film Amerika Serikat, film produksi Inggris juga masuk berkat negosiasi AMPAI dengan studio film terbesarnya, J. Arthur Rank Organisation.
Pada 1950-an sampai 1960-an, AMPAI merajai film Indonesia. Ia menguasai bioskop-bioskop dan distribusi film. Film nasional, yang mulai bangkit tahun 1950, tak bisa masuk bioskop kelas satu. Sampai-sampai, seperti diulas Tempo, 29 Juni 1991, untuk masuk bioskop kelas satu, mantan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim harus melobi Bill Palmer. Dengan begitu, film Krisis, garapan Usmar Ismail bisa tayang dan bertahan selama 35 hari di bioskop Metropole, Jakarta. Insan film juga berhasil meyakinkan Walikota Jakarta Soediro agar mengeluarkan “wajib putar” film Indonesia di bioskop kelas satu. Tapi pelaksanaannya kurang lancar.
Baca juga: Ketika Film India dan Malaya Bersaing dengan Film Indonesia
Tantangan bagi film nasional juga datang dari film negara-negara lain. Kementerian Perdagangan didesak untuk membendung film Malaya dan Filipina. Tekanan bertambah ketika film India memenuhi bioskop-bioskop kelas dua, pasar utama film Indonesia. Berkat desakan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), Menteri Perekonomian setuju menurunkan kuota impor film India.
Perlawanan keras datang dari kelompok kiri. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), menyerukan aksi boikot film Amerika Serikat. Bahkan, dalam sidang pleno pada Juli 1961, Lekra mendesak pemerintah untuk membubarkan AMPAI karena melakukan monopoli film Amerika Serikat dan Eropa serta bioskop-bioskop di Indonesia.
Selain masalah monopoli, Lekra mengganyang film-film Hollywood itu karena dianggap mengakibatkan demoralisasi. Padahal, film bukan hanya untuk hiburan, tapi juga alat perubahan, pendidikan, dan penyadaran.
Pada 9 Mei 1964, tak lama setelah Festival Film Asia Afrika di Bandung, terbentuklah Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (Papfias). Berbagai organisasi dan partai politik mendukung Papfias.
Baca juga: Film Indonesia Digoyang Film India
Selain mendorong perbaikan perfilman nasional, Papfias juga menuntut AMPAI dibubarkan. Aksi boikot film-film Amerika Serikat pun mulai dilancarkan di Jakarta. Aksi serupa juga terjadi di sejumlah daerah.
Wartawan senior, Rosihan Anwar, mencatat bahwa pada 1 April 1965 rumah Bill Palmer di Gunung Mas, Puncak, diambil alih sejumlah rakyat dan pemuda dari golongan kiri yang sejak beberapa waktu lalu melancarkan kampanye supaya pemutaran film-film Amerika Serikat dihentikan. Sebelumnya, gedung AMPAI diambil alih oleh tidak kurang dari 1.500 pemuda, artis, dan pekerja film pada 16 Maret 1965.
“Para pemuda itu menuntut kepada pemerintah supaya AMPAI segera dibubarkan dan Bill Palmer diusir atau ditangkap dan diadili karena dia seorang agen CIA di Indonesia,” tulis Rosihan dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia, 1961-1965.
Baca juga: Aksi Boikot Film-film Amerika Serikat
Paul F. Gardner, pejabat Dinas Luar Negeri Amerika Serikat yang tinggal di Indonesia hampir sepuluh tahun, menyebut bahwa William E. Palmer tidak cocok dijadikan sasaran kemarahan. Seorang yang ramah dan suka berteman, lahir di Bangkok dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Asia. Pada waktu dia diserang, film-film Amerika Serikat telah dilarang dan satu-satunya pelanggan Palmer adalah Sukarno, yang terus menyelenggarakan tayangan pribadi di istana presiden.
“Walaupun begitu dia dicap oleh PKI sebagai seorang agen CIA yang keji,” tulis Gardner dalam 50 Tahun Amerika Serikat–Indonesia.
Kompleks bungalow Palmer di Puncak menjadi pusat hiburan akhir pekan bagi komunitas Amerika Serikat. Sebelum film-film Barat dilarang, orang-orang desa sekitar suka menonton film di sana pada Sabtu malam. Ketika kelompok kiri menduduki bungalow itu, Palmer tengah berada di luar negeri.
“Mereka merebut tempat itu dan semua berada di atasnya. Di antaranya seekor kuda bernama Slamet dan keretanya, yang telah dibeli oleh pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat, Mary Vance Trent, untuk digunakan anak-anak dari tamu-tamu Palmer pada akhir pekan,” tulis Gardner.
Trent berhasil menyelamatkan Slamet. Penggantinya kemudian menyerahkan Slamet kepada kepala perusahaan minyak Amerika Serikat.
AMPAI diambil alih pemerintah, impor film dari Amerika Serikat dihentikan, dan Palmer di-persona non grata. Penutupan AMPAI juga berimbas pada film-film Inggris, Malaya, dan India. Akibatnya, ratusan gedung bioskop gulung tikar. Sedangkan produksi film nasional cuma 1-2 judul setahun. Film-film Uni Soviet dan China, yang berusaha mengisi kekosongan, tak memadai.
Film-film Hollywood datang lagi dan merajai bioskop-bioskop di Indonesia pada masa Orde Baru hingga sekarang.
Operasi Palmer
Aksi boikot film-film Amerika Serikat dimanfaatkan oleh Dinas Intelijen Cekoslowakia. Mayor Louda, perwira senior Departemen D, merancang operasi rahasia pada 1964. Dia menyadari tidak efisien membuat bukti baru mengenai pengaruh film-film Amerika Serikat yang merusak kepada masyarakat Indonesia.
Pendekatan yang lebih efektif adalah menciptakan bukti hidup yang melambangkan imperialisme Amerika Serikat dengan otaknya CIA. Palmer dipilih sebagai korban.
Ladislav Bittman, mantan wakil kepala Departemen VIII Dinas Intelijen Cekoslowakia yang kemudian menyeberang ke Amerika Serikat pada 1968, mengungkapkan, “sesungguhnya kami tidak mempunyai bukti nyata dan meyakinkan, bahwa Palmer adalah agen CIA, kami hanya menyangka saja.”
Sangkaan mereka berdasarkan pergaulan Palmer dengan kalangan politik tertinggi di Indonesia dan masyarakat luas. Sumber keuangannya yang tidak pernah kering membuatnya menjadi lambang penjelmaan pengaruh jahat Amerika Serikat di Indonesia.
“Berdasarkan laporan yang tidak pasti dan terpisah-pisah, kami menyusun satu berkas keterangan bahwa Palmer adalah agen CIA yang paling utama di Indonesia,” kata Bittman dalam The Deception Game, yang diterjemahkan oleh Oejeng Soewargana menjadi Permainan Curang: Peranan Intelijen Cekoslowakia dalam Perang Politik Uni Soviet.
Baca juga: Oejeng Soewargana, Jejak Spion Melayu
Mayor Louda menyerahkan laporan itu kepada seorang duta besar Indonesia yang disebut Polan, bukan nama sebenarnya. Dengan imbalan apartemen dan perempuan cantik, Polan menjadi saluran berbagai berita anti-Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia. Laporan dan dokumen yang diterimanya dari Dinas Intelijen Cekoslowakia tidak pernah disebut informasi palsu. Namun, dia menjaminnya.
Selain Polan, saluran penting lain Operasi Palmer adalah wartawan Indonesia untuk menyiarkan kampanye anti-Amerika Serikat. Mereka menerima konsep artikel yang diolah dengan gaya jurnalistik sesuai istilah-istilah politik Indonesia.
Operasi Palmer juga menggunakan saluran-saluran anonim (pengiriman yang merahasiakan nama serta alamat pengirimnya) untuk mengirimkan dokumen palsu dan informasi yang diputarbalikkan kepada pemuka politik, organisasi massa, dan redaksi surat kabar Indonesia.
Di luar Indonesia, bahan yang menuduh Palmer melakukan kegiatan subversi di Indonesia muncul di harian Ceylon Tribune pada 12 September 1964. Berita itu dikutip oleh surat kabar di Singapura pada 30 September 1964, yang diterbitkan Barisan Sosialis. Radio Moskow menyiarkan soal Palmer pada 8 Juni 1965.
Baca juga: Oejeng Soewargana, Duta Tentara di Mancanegara
Pada 28 Februari 1965, pemerintah Malaysia menuduh Indonesia berkomplot dengan kelompok radikal, seperti Dato Raja Abu Hanifa, Ishak Haji Muhammad, dan Dr. Burhanuddin, untuk mengadakan kudeta. Keterangan resmi menghubungkan kegiatan mereka dengan pejabat intelijen Indonesia, R.M. Soenita, mantan anggota staf Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur.
Kejadian itu digunakan untuk meningkatkan hasil Operasi Palmer. “Kami memutuskan untuk menimpakan kegagalan Indonesia itu pada Palmer,” kata Bittman.
Melalui saluran informasi palsu, Menteri Luar Negeri Soebandrio, dan dengan perantaraannya, Presiden Sukarno menerima laporan bahwa Palmer telah mengungkapkan informasi mengenai kegiatan bawah tanah Indonesia di Malaysia, kepada pemerintah Malaysia.
Baca juga: Rencana Pembunuhan Sukarno, Soebandrio, dan Ahmad Yani
Palmer juga dituduh terlibat dalam kegiatan subversi anti-Sukarno di Jawa dan Sumatra. “Di samping itu dengan bantuan penasihat Rusia, kami menciptakan bukti-bukti bahwa CIA dan Palmer terlibat dalam usaha untuk membunuh Sukarno, Soebandrio, dan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani,” kata Bittman.
Sukarno menyebut rencana pembunuhan terhadap dirinya itu dalam rapat para panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia di Markas Besar Ganefo, Senayan, Jakarta, 28 Mei 1965.
“Salah satu plan adalah, untuk bunuh beberapa pemimpin Indonesia, Sukarno, Yani, Soebandrio, itu yang pertama-tama harus om zeep gebracht (dibunuh). Malah kalau bisa sebelum Konferensi Aljazair,” kata Sukarno.
Dalam pidato itu, Sukarno juga menyebut Palmer agen CIA berdasarkan bukti dokumen yang dibuat Operasi Palmer dan ditemukan di rumahnya ketika digerebek pemuda kiri pada 1 April 1965.
Baca juga: Agen KGB di Indonesia Dieksekusi Mati
Bittman menyimpulkan bahwa keberhasilan Operasi Palmer karena dicetuskan pada waktu yang tepat dan keadaan yang menguntungkan. Sehingga, dengan alat-alat yang paling sederhana dan bantuan beberapa agen rahasia saja, Dinas Intelijen Cekoslowakia dan Uni Soviet dapat mempengaruhi pendapat umum dan pemerintah Indonesia, termasuk Sukarno.
Operasi Palmer berhasil menunggangi gelombang anti-Amerika Serikat. Operasi itu juga memperkuat pendapat Sukarno dan Soebandrio bahwa CIA merencanakan akan membunuhnya.
Pada Agustus dan awal September 1965, Operasi Palmer masih dipuji sebagai tour de force (pertunjukan adu kekuatan) bagi intelijen Cekoslowakia dan Uni Soviet. Pencetusnya, Mayor Louda disanjung-sanjung. Namun, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, tidak seorang pun yang mau menyebutnya.
“Dalam kekacauan sebagai akibat dari tindakan antikomunis yang dilakukan pemerintah Orde Baru secara tidak kepalang tanggung, duta besar Polan lenyap, seorang yang doyan wanita-wanita muda dan cantik,” kata Bittman menutup cerita Operasi Palmer di Indonesia.