Sebuah rumah bergaya lama hendak dijual di Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah dengan luas tanah 2.951 meter persegi dan luas bangunan 1.796 meter persegi itu adalah rumah bekas kediaman Menteri Luar Negeri RI yang pertama, Ahmad Subardjo. Harga jual rumah bersejarah itu ditaksir mencapai 400 miliar rupiah.
Masyarakat pun bertanya-tanya tentang kebenaran kabar itu. Dilansir laman Kompas, salah seorang cucu Subrdjo, Syahbudi, membenarkan kabar dijualnya rumah tersebut. Dia menyatakan bahwa rumah kakeknya itu merupakan aset pribadi, sehingga keluarga berhak untuk menjualnya. Syahbudi juga mengklaim sudah ada pihak yang membuat penawaran.
Baca juga: Pergaulan Ahmad Subardjo dengan Teosofi
“Memang Kemenlu pernah berkantor di sana, di rumah milik almarhum AS (Ahmad Subardjo), Menlu pertama RI. Bisa saya konfirmasi gedung itu bukan milik Kemenlu,” ujar Juru Bicara Kemenlu Teuku Faizasyah kepada Kompas, Senin (12/04/2021).
Rumah di Cikini Raya telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting yang mengiringi perjalanan hidup sang pendiri bangsa. Tidak hanya peristiwa yang melibatkan dirinya sendiri, tetapi juga tokoh-tokoh besar di republik ini. Tan Malaka, misalnya, dia berhasil bertemu dengan Sukarno-Hatta dan membuat janji penting di halaman belakang rumah Ahmad Subardjo.
Absen di Acara Proklamasi
Rumah itu menjadi saksi absennya Ahmad Subardjo dari peristiwa pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dikisahkan Subardjo dalam otobiografinya Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi, sekira pukul 10 pagi, datang dua utusan Sukarno dan Hatta ke rumahnya. Mereka hendak menjemput Subardjo yang tak kunjung datang ke Pegangsaan Timur No. 56 untuk menghadiri acara pengibaran bendera merah-putih dan pembacaan teks proklamasi.
Kedua utusan itu lalu melaporkan bahwa telah banyak orang menunggu di Pegangsaan Timur. Upacara pengibaran bendera merah-putih dan pembacaan proklamasi tidak akan dimulai sebelum kehadirannya. Begitu pesan Sukarno-Hatta. Mereka pun meminta Ahmad Subardjo segera berapakaian rapi dan pergi bersama ke kediaman Sukarno.
Ahmad Subardjo meminta kedua utusan itu menunggu. Namun ketika keluar, bukannya berpakaian rapi, dia malah memberi sepucuk surat untuk diberikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Di dalam surat itu dia menuliskan permintaan maaf kepada kedua kawannya itu karena tidak dapat hadir mendampingi mereka. Ahmad Subardjo juga meminta agar supaya proklamasi kemerdekaan segera dilangsungkan tanpa menunggu kehadirannya.
“Apalagi yang saya inginkan? Mimpi Indonesia merdeka telah menjadi kenyataan. Apa bedanya saya hadir atau tidak? Hal yang terpenting ialah bahwa kita sendiri dan generasi penerus rakyat telah menjadi warganegara yang bebas dari sebuah negara merdeka: Republik Indonesia!,” tegas Subardjo.
Baca juga: Di Balik Ketidakhadiran Ahmad Subarjo dalam Proklamasi
Rupanya alasan ketidakhadiran Ahmad Subardjo dalam proklamasi disebabkan rasa lelah atas berbagai kejadian di malam-malam sebelumnya. Pada peristiwa pengamanan Sukarno-Hatta oleh golongan pemuda ke Rengasdengklok, Ahmad Subardjo-lah yang berusaha meyakinkan para pemuda untuk melepas keduanya. Dia juga yang menjemput Bung Karno dan Bung Hatta dari Rengasdengklok dan memastikan dua tokoh penting itu tiba dengan selamat di Jakarta.
Setelah itu Ahmad Subardjo lalu ikut ke kediaman Laksamana T. Maeda untuk merancang perumusan naskah proklamasi bersama Sukarno-Hatta. Dimulai sejak tengah malam 16 Agustus 1945, rapat perumusan baru selesai pukul 06.00 pagi hari berikutnya.
“Saya sungguh merasa lelah atas kejadian yang menegangkan syaraf, yang baru saja saya alami sepanjang hari dan malam sebelumnya,” lanjutnya.
Setelah kedua utusan mengerti situasi yang dialami Ahmad Subarjo, mereka kembali ke Pegangsaan Timur. Sementara itu dia sendiri langsung masuk kamar kembali untuk melanjutkan tidurnya.
Kantor Pertama Deplu
Pasca menyatakan diri merdeka, Indonesia segera membentuk pemerintahan untuk menjalankan republik yang ajeg. Maka terbentuklah Kabinet Sukarno-Hatta. Kabinet pertama itu dilengkapi sepuluh departemen dan enam menteri negara. Tugas mereka adalah memastikan seluruh elemen negara berjalan baik. Dicatat Mohammad Hatta dalam Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi, semua posisi menteri diisi oleh tokoh-tokoh yang ahli di bidangnya. Seperti Ahamd Subardjo yang menduduki kursi Departemen Luar Negeri.
Namun bukan perkara mudah menjalankan tugas menteri di negara yang baru terbentuk. Di dalam otobiografinya, Subardjo menceritakan bagaimana dia menghadapi kesukaran memenuhi kewajiban di departemen yang dipimpinnya. Terutama ketika harus menghadapi kenyataan bahwa dia belum memiliki kantor beserta alat-alat penunjang tugas. Bahkan pegawai pun tidak ada. Subardjo benar-benar memulainya dari nol.
“Teman-teman saya beruntung sudah dapat mulai kerja secara normal, mempunyai segala sesuatu untuk memimpin departemen pemerintahan, namun belum banyak hal yang diurusnya. Mereka hanya berkewajiban agar pegawai-pegawainya bersumpah untuk setia kepada pemerintah republik,” kata Subardjo
Baca juga: Tugas Berat Ahmad Subardjo
Subardjo memulai tugasnya dengan memasang iklan di Asia Raya untuk mencari pegawai. Dia mengumumkan: “Siapakah yang ingin menjadi pegawai Departemen Luar Negeri?”. Rupanya hanya dalam beberapa hari iklan dipasang, Subardjo sudah bisa memulai pekerjaannya. Dia mendapat 10 orang pelamar. Seluruhnya diterima bekerja. Lima orang ditempatkan sebagai sekretaris, lima lainnya diberi tugas mengatur administrasi.
Selesai dengan soal kepegawaian, Subardjo segera mencari tempat untuk dijadikan kantor. Dia pun memakai rumah pribadinya di Jalan Cikini Raya No. 82. Rumah itu hanya sementara digunakan karena tidak ada tempat lain yang bisa dijadikan tempat operasional bagi Deplu kala itu. Departemennya perlu mendapat gedung yang lebih layak, mengingat tugas dan fungsi departemen luar negeri yang begitu penting untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia (RI).
Meski belum mendapat perangkat kerja yang lengkap, Subardjo tetap menjalankan semua tugasnya dengan baik. Baginya, keberadaan departemen luar negeri sangat penting dan merupakan sebuah hal mendesak. Kekalahan Jepang bisa menjadi gerbang masuknya kembali Belanda ke Indonesia. Menurut hukum internasional mengenai perang, negara-negara yang menang perang harus melucuti mereka yang kalah dan mengembalikan ke tanah airnya. Penting untuk tidak lengah dalam situasi tersebut karena Belanda bisa kembali masuk ke Indonesia yang masih lemah.
“Segera setelah Departemen Luar Negeri mulai menunaikan kewajibannya, kami menghadapi soal-soal yang memerlukan penyelesaian dengan cepat dan tepat. Hal demikian membawa kami ke dalam keadaan di mana kami memecahkan soal demi soal asal saja dapat diselesaikan. Tapi kita tidak melupakan dasar dan tujuan revolusi kita,” ungkap Subardjo.
Tempat Singgah Perwakilan Inggris
Pada 29 September 1945, Deplu menerima kabar bahwa tentara Sekutu di bawah pimpinan Letjen. Sir Philip Christison akan mendarat di Tanjung Priok. Mereka bermaksud melindungi dan membebaskan tawan perang, melucuti tentara Jepang, dan mengadakan ketertiban. Christison juga mengumumkan pelaksanaan administrasi militer di Jakarta, Surabaya, Padang, dan Medan. Namun secara tegas menyebut bahwa pihaknya tidak akan mencampuri urusan dalam negeri RI.
Tidak lama setelah tentara Sekutu tiba di Jakarta, seorang intel Inggris datang menemui Subardjo di kantor sementara itu. Dia memperkenalkan diri sebagai opsir yang diperbantukan kepada Denning, penasehat Christison. Kedatangannya dimaksudkan untuk meminta izin pergi ke pedalaman Pulau Jawa. Dia juga meminta kepada Subardjo surat izin resmi yang ditandatangani Presiden Sukarno, serta seorang penunjuk jalan beserta kendaraannya.
Baca juga: Ketika Ahmad Subardjo Berkunjung ke Uni Soviet
Subardjo sempat ragu mengabulkan permintaan tersebut. Namun di sisi lain dia ingin menjaga hubungan baik dengan pejabat tinggi Sekutu. Akhirnya setelah didesak, Subardjo bersedia memenuhi permintaan itu. Subardjo lalu menemui presiden dan menjelaskan situasinya. Setelah izin berhasil didapat, opsir Inggris itu segera merencanakan perjalanannya. Dia sempat menginap semalam di rumah Subardjo. Besoknya, pagi-pagi sekali, bersama seorang pemuda salah satu pembantu Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, si opsir memulai perjalanannya ke pedalaman Jawa.
“Dalam hati saya, saya khawatir bahwa dia tidak akan kembali hidup. Tetapi setelah satu minggu lewat, dia kembali dengan selamat dengan pemuda tersebut,” kata Subardjo.
Opsir Inggris itu tiba dengan pengalaman baru. Dia berkata: “Sekarang saya yakin bahwa pemerintah Tuan mempunyai penuh dukungan rakyat, sebab saya lihat dengan mata kepala saya sendiri betapa rakyat di mana-mana, di desa-desa kecil, di pedalaman dihinggapi oleh perasaan riang gembira, dengan semangat yang bergelora. Dan saya lihat bendera merah-putih berkibar di mana-mana”.
Bertemu Tan Malaka
Di rumahnya, Subardjo bertemu kembali dengan seorang kawan yang dia kira sudah wafat. Kawan itu adalah Tan Malaka. Suatu pagi, ketika hari belum terlalu terik, Subardjo kedatangan seseorang yang telah lama tak pernah ditemuinya. Kali terakhir bertemu pada sekitar 1930-an, ketika Subardjo tinggal di Leiden, Belanda.
“Wah, kau Tan Malaka?” kata Subardjo setengah kaget. “Saya kira kau sudah mati, sebab saya baca di surat kabar bahwa kau disebut menjadi korban dalam kerusuhan Birma, ada lagi kabar bahwa kau berada di Yerusalem, dan dikatakan mati dalam kerusuhan di Israel”.
Sambil tertawa Tan menjawab dalam bahasa Belanda: “Onkruid vergaat toch niet”, artinya: alang-alang tak dapat musnah kalau tak dicabut dengan akar-akarnya.
Setelah saling sapa, juga sedikit senda-gurau, Subardjo menanyakan maksud kawan lama itu menemuinya. Tan menjawab, “Sampai sekarang saya hidup incognito (tidak resmi) di bawah tanah. Sekarang Indonesia sudah merdeka, saya ingin hidup dan bergerak di atas tanah secara resmi. Saya ingin menemui dan mengenal pemimpin-pemimpin Indonesia.”
Pernyataan Tan tersebut terdengar aneh bagi Subardjo. Dia bertanya-tanya apa maksud sebenarnya dari “menemui dan mengenal pemimpin-pemimpin Indonesia”, apakah Tan ingin memengaruhi jalannya revolusi dengan pandangan hidupnya sebagai seorang penganut ajaran Marx dan Lenin? Sebagai seorang yang pandai memberi pengaruh terhadap orang-orang yang tidak berpikir kritis, Subardjo khawatir Tan akan sungguh memengaruhi pemimpin-pemimpin revolusi Indonesia.
Baca juga: Bertemu Kembali Tan Malaka
Singkat cerita, Tan Malaka tinggal beberapa hari di kediaman Menteri Luar Negeri Pertama RI itu. Dia bercerita banyak tentang perjalanan hidupnya. Tan rupanya kembali ke tanah air pada 1920. Bermodal ijazah Hoofdacte, dia diterima kerja di Senembah Maatschappij, sebuah perusahaan perkebunan milik Belanda di Sumatra. Tan menjadi guru anak-anak pegawai Belanda di sana. Namun baru beberapa bulan mengajar, dia mendapat teguran dan berakhir dipecat. Alasannya karena Tan mengajari para pekerja di perusahaan itu sejarah pergerakan kaum buruh internasional. Akibatnya tingkah laku para pekerja menjadi kurang ajar terhadap atasannya, terutama kepada para pegawai Belanda.
Selesai dengan urusan di Sumatra, Tan pergi menemui Semaun di Semarang. Di sana, dia mendirikan Sekolah Rakyat. Tetapi lagi-lagi tidak bertahan lama, karena larangan untuknya tinggal di Semarang segera diterbitkan. Akhirnya dia memutuskan pergi ke Belanda dan aktif di Partai Komunis negeri itu. Setelah gagal menjadi anggota parlemen, Tan meninggalkan Belanda menuju Rusia, lalu ke Tiongkok.
“Setelah mendengarkan cerita Tan Malaka mengenai pengalamannya dalam buangan di Eropa, maka saya mengerti mengapa dia ingin hidup turut menikmati alam kemerdekaan Indonesia,” kata Subardjo.
Pertemuan Tan Malaka dengan Sukarno-Hatta
Salah satu tujuan kedatangan Tan ke kediaman Subardjo adalah untuk meminta kawannya itu mengenalkan dirinya kepada pucuk pimpinan Republik Indonesia, terutama Bung Karno dan Bung Hatta. Subardjo setuju dengan keinginan Tan tersebut. Sebelum bertemu Sukarno-Hatta, Tan terlebih dahulu dikenalkan dengan pimpinan revolusi lainnya, seperti Gatot Tarunomihardjo, Iwa Kusuma Sumantri, Sajuti Melik, dan lainnya. Semua pertemuan diadakan di rumah Subardjo.
Suatu hari, Sajuti Melik mengajak Tan menemui Dr. Suharto di Kramat Raya. Di sana Tan bertemu Bung Karno. Menurut cerita yang didengar Subardjo, dalam pertemuan itu Bung Karno mengatakan bahwa dalam perjuangannnya dia banyak mengambil petunjuk-petunjuk dari buku Aksi Massa karya Tan. Bung Karno juga memberi tahu kekhawatirannya akan kondisi gawat pasca kemerdekaan yang dalam waktu dekat akan menimpa seluruh rakyat Indonesia. Dia lalu meminta Tan memberi petunjuk kepada pemimpin-pemimpin republik tentang strategi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
“Saya tidak dikenal oleh pemimpin-pemimpin yang saudara singgung. Saya sanggup menunaikan tugas saya apabila Bung Karno memberi surat kepada saya sebagai tanda pengenalan,” ujar Tan.
Baca juga: Kisah Penangkapan Ahmad Subardjo
Namun setelah berhari-hari ditunggu, surat itu tak kunjung diterima. Tan juga sudah meminta Subardjo mengingatkan Sukarno. Sampai pada suatu hari, melalui sambungan telepon, Subardjo menerima kabar presiden akan datang ke rumahnya. Kali ini, Bung Hatta ikut mendampingi. Maksud kedatangan dua lakon utama proklamasi itu adalah membuat surat yang telah Tan tunggu-tunggu. Subardjo lalu membawa para tamu ke ruangan belakang rumahnya. Tan pun diminta menyusun surat itu dengan kata-katanya sendiri.
Surat yang kemudian dikenal sebagai testamen politik itu pokoknya berbunyi: “Kalau seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atas diri Sukarno dan Hatta, maka pimpinan perjuangan kemerdekaan diteruskan oleh Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, Sjahrir, dan Wongsonegoro”.
Subardjo diminta mengetiknya dan membuat tiga salinan agar tokoh lain dapat segera menerima amanat tersebut. Tetapi kondisi revolusi, serta berbagai persitiwa yang terjadi membuat Subardjo tidak dapat memberikan salinan itu. Pesan di dalamnya pun pada akhirnya tidak terlaksana.
“Tan Malaka tinggal kira-kira tujuh hari di tempat saya. Kemudian dia minta diri, katanya mau pergi ke Jawa Tengah,” ujar Subardjo.