Berlin, Oktober 1927. Sepucuk surat yang cukup lama dinanti tiba di kediaman Ahmad Subardjo. Isinya undangan dari pemerintah Uni Soviet untuk Perhimpunan Indonesia (PI) di Negeri Belanda. Negara komunis tersebut akan mengadakan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-10 pada bulan selanjutnya, dan PI diminta mengirimkan perwakilan ke sana.
Selain PI, wakil dari organisasi-organisasi yang berpartisipasi dalam Kongres Anti-Imperialisme di Brussel tahun 1927 juga turut diundang. Pemimpin-pemimpin gerakan kemerdekaan, serta tokoh-tokoh terkemuka dari seluruh belahan dunia pun akan menghadiri perayaan tersebut. PI sendiri diwakili oleh Ahmad Subardjo. Hal itu terjadi karena Mohammad Hatta sebagai ketua perhimpunan sedang dalam proses pengadilan atas berbagai tuduhan di Belanda.
Baca juga: Pergaulan Ahmad Subardjo dengan Teosofi
“Saya akan menjadi tamu pemerintah tersebut sebagai wakil Perhimpunan Indonesia, bahkan saya dapat memilih anggota lain dari Perhimpunan Indonesia sebagai teman,” kata Subardjo, sebagaimana diceritakan dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi.
Dari sekian banyak anggota PI d Negeri Belanda, Subardjo memilih didampingi oleh Sulaiman, mahasiswa jurusan Bahasa-bahasa Timur di Universitas Leiden. Baginya Sulaiman adalah “seorang Muslim yang patuh dan anggota Perhimpunan Indonesia yang setia. Seorang mahasiswa yang giat, pintar, dan mempunyai bakat belajar bahasa dengan cepat dan mudah.”
Sulaiman pada mulanya ragu-ragu menerima undangan itu. Dia memiliki pandangan kritis terhadap ideologi komunis. Sulaiman khawatir terjebak dan mendapat kesulitan jika terlalu jauh terlibat dengan orang-orang komunis, terlebih Uni Soviet sedang dalam kondisi tidak aman. Namun Subardjo meyakinkan Sulaiman agar kesempatan itu digunakannya untuk menilai sendiri keadaan Soviet dan ideologi komunisnya dengan mata sendiri, ketimbang terus membacanya dari berita pers-pers Belanda. Setelah berpikir sebentar, Sulaiman akhirnya setuju menghadiri perayaan tersebut.
Baca juga: Di Balik Ketidakhadiran Ahmad Subarjo dalam Proklamasi
Setelah mempersiapkan segala kebutuhan, Subardjo dan Sulaiman pergi dari Berlin menuju Stettin,Polandia. Di kota pelabuhan itu keduanya menumpang sebuah kapal dengan tujuan Leningrad. Tiba di Leningrad rombongan Subardjo diberi waktu beberapa hari untuk beristirahat dan berwisata. Setelah puas menikmati keindahan salah satu kota bersejarah di Soviet tersebut, mereka berangkat ke Moskow dengan kereta api.
“Waktu kami tiba di stasiun Moskow, kami disambut oleh band yang memainkan lagu internasional. Sesudah upacara penyambutan selesai kami dibawa ke sebuah hotel dekat kantor pos. Kami dapat kamar-kamar yang baik dan begitu mewah. Pembagian kelompok diadakan menurut negara asal dan organisasi yang diwakili,” tulis Subardjo.
Setiap hari, sejak tiba di Moskow, Subardjo dan Sulaiman begitu sibuk. Keduanya hampir tidak pernah menghabiskan waktu berjam-jam di hotel, kecuali istirahat. Mereka selalu diajak berkeliling mengunjungi tempat-tempat yang dianggap penting bagi pengunjung guna mengetahui tentang Soviet baru. Gedung-gedung bersejarah, monumen-monumen, museum revolusi, imbuh Subardjo, telah dianggap oleh warga setempat sebagai hasil yang dibanggakan selama 10 tahun perjuangan untuk kehidupan yang lebih baik.
Baca juga: Tugas Berat Ahmad Subardjo
Selama berada di Moskow itu, Subardjo menyakiskan sendiri kekuasaan Tentara Merah begitu kuat, persis seperti berita-berita yang pernah dia baca di Negeri Belanda. Subardjo juga mendengar desas-desus mengenai kerenggangan hubungan pribadi dan politik antara tokoh kharismatik Partai Komunis, Stalin dengan pimpinan Tentara Merah, Leon Trotsky.
“Trotsky nampaknya masih disegani, meskipun ia dalam keadaan persona non grata oleh Stalin, karen pengikut-pengikutnya masih dapat mempertunjukkan suatu film dokumenter mengenai 10 tahun berdirinya Uni Soviet di mana kami diundang,” katanya.
Pertunjukan film memang menjadi salah satu agenda perayaan waktu itu. Pada kesempatan tersebut diperlihatkan begitu banyak film tentang pahlawan-pahlawan Revolusi Oktober, yang diawali dengan film mengenai Vladimir Lenin. Sejak awal penayangan tokoh Lenin, tepuk tangan yang riuh tidak habis-habis dari para penonton hingga film berganti dengan dokumenter tokoh lain.
Kemudian ketika tiba pada penayangn film tokoh Stalin dan kondisi pemerintahan di Soviet, para penonton tiba-tiba terdiam. Tidak ada tepuk tangan seperti penayangan-penayangan sebelumnya. Keadaan menjadi sunyi. Sesudah Stalin diperlihatkan film tentang Trotsky. Seketika suasana kembali riuh. Tepuk tangan dari para penonton memecah kesunyian sebelumnya. Hal itu dilakukan terus-menerus hingga gambar berganti ke tokoh lain.
Baca juga: Kisah Penangkapan Ahmad Subardjo
“Rasa simpati dan antipati dari umum ini terhadap pemimpin-pemimpinnya sendiri memberikan kesan yang dalam pada saya. Lama kemudian baru saya mengetahui persaingan merebut kekuasaan, saling mencurigai, dan membenci merupakan sebab-sebab gejala tragis ini,” ungkap Subardjo.
Selama kurang lebih 10 hari mengikuti perayaan di Soviet, menurut Subardjo pengalaman yang paling mengesankan adalah ketika menyaksikan parade militer di Lapangan Merah dan resepsi besar di Kremlin. Subardjo dan Sulaiman juga menyaksikan secara langsung Mausoleum Lenin di tempat tersebut. Beribu-ribu orang hadir di Lapangan Merah untuk melihat parade unjuk kekuatan bersenjata itu. Satu yang membuatnya tercengang adalah barisan kesatuan kavaleri merah. Di barisan terdepan berjalan seorang prajurit gagah berkumis tebal dan panjang, menunggang seekor kuda.
Parade militer manjadi penutup kunjungan Subardjo di Moskow. Keesokan harinya Subardjo kembali ke Berlin dengan kereta api melalui Warsawa. Setelah beberapa hari tinggal di Berlin, mereka pulang ke Negeri Belanda, menemui kawan-kawan PI yang baru saja dibebaskan oleh pemerintah.