Masuk Daftar
My Getplus

Bertemu Kembali Tan Malaka

Lama tidak bersua dengan Tan Malaka, Ahmad Subardjo pada akhirnya membantu tokoh komunis Indonesia itu bertemu dengan Bung Karno dan Bung Hatta.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 05 Feb 2021
Ahmad Subardjo bersama Bung Karno dan Tan Malaka (Betaria Sarulina/Historia)

Sepekan telah berlalu sejak pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan Bung Karno dan Bung Hatta di hadapan ribuan orang di Pegangsaan Timur, Jakarta. Aktivitas masyarakat mulai kembali normal. Bung Karno, dan sebagian tokoh bangsa tengah disibukkan dengan kegiatan kenegaraan. Sementara pimpinan lainnya memilih beristirahat, menikmati suasana tenang setelah berhari-hari merasakan kondisi tegang menjelang kemerdekaan.

Itulah yang dilakukan Ahmad Subardjo di kediamannya. Suatu pagi, ketika hari belum terlalu terik, Subardjo kedatangan seorang kawan yang tidak pernah disangka. Dia telah lama kehilangan kontak dengan kawannya itu. Kali terakhir bertemu pada sekitar 1930-an, ketika Subardjo tinggal di Leiden, Belanda.

“Wah, kau Tan Malaka?” Subardjo kaget bukan main. “Saya kira kau sudah mati, sebab saya baca di surat kabar bahwa kau disebut menjadi korban dalam kerusuhan Birma, ada lagi kabar bahwa kau berada di Yerusalem, dan dikatakan mati dalam kerusuhan Israel”.

Advertising
Advertising

Sambil tertawa Tan menjawab dalam bahasa Belanda: “Onkruid vergaat toch niet”, artinya: alang-alah tak dapat musnah kalau tak dicabut dengan akar-akarnya.

Baca juga: Di Balik Ketidakhadiran Ahmad Subarjo dalam Proklamasi

Dikisahkan dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional, Subardjo dan Tan menjalin hubungan pertemanan sejak 1919. Mereka bertemu di Amsterdam. Ketika itu, Tan tengah mempersiapkan diri meraih gelar diploma Hoofdacte, sementara Subardjo baru memulai pendidikan hukum. Keduanya cepat akrab. Tan banyak bertanya soal perkembangan pergerakan nasional di tanah air.

“Sebagai orang Indonesia, dia agak besar, sekurang-kurangnya lebih tinggi dari saya. Ia mempunyai pundak lebar, kuping berdiri dan mata tajam. Jika bicara suaranya tenang dan lembut, yang tdak seimbang dengan bentuk badannya,” terang Subardjo.

Setelah saling sapa, juga sedikit senda-gurau, Subardjo menanyakan maksud kawan Tan menemuinya hari itu. Tan menjawab, “Sampai sekarang saya hidup incognito (tidak resmi) di bawah tanah. Sekarang Indonesia sudah merdeka, saya ingin hidup dan bergerak di atas tanah secara resmi. Saya ingin menemui dan mengenal pemimpin-pemimpin Indonesia.”

Pernyataan Tan tersebut terdengar aneh bagi Subardjo. Dia bertanya-tanya apa maksud sebenarnya dari “menemui dan mengenal pemimpin-pemimpin Indonesia”, apakah Tan ingin memengaruhi jalannya revolusi dengan pandangan hidupnya sebagai seorang penganut ajaran Marx dan Lenin? Sebagai seorang yang pandai memberi pengaruh terhadap orang-orang yang tidak berpikir kritis, Subardjo khawatir Tan akan sungguh memengaruhi pemimpin-pemimpin revolusi Indonesia.

Baca juga: Tugas Berat Ahmad Subardjo

“Saudara Tan tinggal di mana?” tanya Subardjo.

“Bagaimana seorang zwerver (gelandangan) mempunyai tempat kediaman tertentu?” jawab Tan sambil mesem. “Saya menginap di mana saya dapat tempat berlindung”.

“Kalau begitu, baiknya saudara tinggal buat sementara waktu di rumah pavilyun saya saja. Saya perlu mendengar pengalaman Saudara sesudah kita berpisah di Negeri Belanda,” kata Subardjo.

Tan Malaka tinggal beberapa hari di kediaman Menteri Luar Negeri Pertama RI itu. Dia bercerita banyak tentang perjalanan hidupnya. Tan rupanya kembali ke tanah air pada 1920. Bermodal ijazah Hoofdacte, dia diterima kerja di Senembah Maatschappij, sebuah perusahaan perkebunan milik Belanda di Sumatra. Tan menjadi guru anak-anak pegawai Belanda di sana. Namun baru beberapa bulan mengajar, dia mendapat teguran dan berakhir dipecat. Alasannya karena Tan mengajari para pekerja di perusahaan itu sejarah pergerakan kaum buruh internasional. Akibatnya tingkah laku para pekerja menjadi kurang ajar terhadap atasannya, terutama pegawai Belanda.

Selesai dengan urusan di Sumatra, Tan pergi menemui Semaun di Semarang. Di sana, dia mendirikan Sekolah Rakyat. Tetapi lagi-lagi tidak bertahan lama, karena larangan untuknya tinggal di Semarang segera diterbitkan. Akhirnya dia memutuskan pergi ke Belanda dan aktif di Partai Komunis negeri itu. Setelah gagal menjadi anggota parlemen, Tan meninggalkan Belanda menuju Rusia, lalu Cina.

Baca juga: Hikayat Tan Malaka, Sang Buronan Abadi

“Setelah mendengarkan cerita Tan Malaka mengenai pengalamannya dalam buangan di Eropa, maka saya mengerti mengapa dia ingin hidup turut menikmati alam kemerdekaan Indonesia,” kata Subardjo.

Subardjo pun setuju mempertemukan Tan dengan para pimpinan revolusi. Dia mengundang sejumlah orang ke kediamannya, mulai dari Gatot Tarunomihardjo, Iwa Kusuma Sumantri, Sajuti Melik, hingga Bung Karno.

Suatu hari, Sajuti Melik mengajak Tan menemui Dr. Suharto di Kramat Raya. Di sana Tan bertemu Bung Karno. Menurut cerita yang didengar Subardjo, dalam pertemuan itu Bung Karno mengatakan bahwa dalam perjuangannnya dia banyak mengambil petunjuk-petunjuk dari buku Aksi Massa karya Tan. Bung Karno juga memberi tahu kekhawatirannya akan kondisi gawat pasca kemerdekaan yang dalam waktu dekat akan menimpa seluruh rakyat Indonesia. Dia lalu meminta Tan memberi petunjuk kepada pemimpin-pemimpin republik tentang strategi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

“Saya tidak dikenal oleh pemimpin-pemimpin yang saudara singgung. Saya sanggup menunaikan tugas saya apabila Bung Karno memberi surat kepada saya sebagai tanda pengenalan,” ujar Tan.

Baca juga: Indonesia dalam Mimpi Tan Malaka

“Baik, nanti saya sampaikan kepada Bung Tan, surat yang dimaksud itu,” kata Bung Karno.

Namun setelah berhari-hari ditunggu, surat itu tak kunjung diterima. Tan juga sudah meminta Subardjo mengingatkan Sukarno. Sampai pada suatu hari, Subardjo menerima kabar kunjungan presiden ke rumahnya. Kali ini, Bung Hatta ikut mendampingi. Maksud kedatangan dua lakon utama proklamasi itu adalah membuat surat yang telah Tan tunggu-tunggu. Tan diminta menyusun surat itu dengan kata-katanya sendiri.

Surat yang kemudian dikenal sebagai testamen politik itu pokoknya berbunyi: “Kalau seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atas diri Sukarno dan Hatta, maka pimpinan perjuangan kemerdekaan diteruskan oleh Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, Sjahrir, dan Wongsonegoro”.

Subardjo diminta mengetiknya dan membuat tiga salinan agar tokoh lain dapat segera menerima amanat tersebut. Tetapi kondisi revolusi, serta berbagai persitiwa yang terjadi membuat Subardjo tidak dapat memberikan salinan itu. Pesan di dalamnya pun pada akhirnya tidak terlaksana.

“Tan Malaka tinggal kira-kira tujuh hari di tempat saya. Kemudian dia minta diri, katanya mau pergi ke Jawa Tengah,” ujar Subardjo.

TAG

ahmad subardjo tan malaka

ARTIKEL TERKAIT

Ekstradisi dari Hong Kong? Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane Peliharaan Kesayangan Hitler Itu Bernama Blondi Kisah Sabidin Bangsawan Palsu Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika Hukuman Penculik Anak Gadis Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Masa Kecil Sesepuh Potlot Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi