Sebagai sesama serdadu Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), Sersan Wattimena berkawan baik dengan Sersan Pattinama. Keduanya bahkan sudah seperti saudara.
Pattinama sering bertandang ke rumah Wattimena yang kelahiran Haruku, Maluku Tengah. Dia akhirnya tak hanya dekat dengan sang sersan tapi juga keluarganya.
Wattimena punya anak gadis. Namanya Maria Wattimena. Dia sering bermain catur dengan Pattinama kala kawan ayahnya itu sedang bertandang. Sepertinya benih asmara terpendam muncul di antara keduanya. Maria yang masih muda tampak menerima Sersan Pattinama yang tentu sudah berumur.
Sersan Pattinama yang merasa dapat angin pun ambil langkah yang tak disangka-sangka oleh Wattimena. Sebuah pesan ditinggalkannya di pintu rumah Sersan Wattimena. Isi pesan itu: Maria akan ikut dengannya ke kampung bersamanya dan tidak pulang.
Sersan Wattimena marah besar atas tindakan Wattimena tersebut. Sementara itu, di kampungnya Sersan Pattinama akhirnya mengawini Maria putri Sersan Wattimena itu. Dari perkawinan itu, Pattinama dan Maria memperoleh anak. Koran Het Vaderland tanggal 14 September 1951 menyebut pasangan itu memiliki empat anak.
Kisah kawin lari antara Sersan Pattinama dengan Maria itu tak bisa dilupakan begitu saja oleh Sersan Wattimena. Pada hari Minggu, 11 Januari 1950, di kota Surabaya, Wattimena beribadat ke gereja. Sewaktu pulang dari gereja, terlihatlah olehnya Pattinama yang membawa anak gadisnya dulu.
Wattimena langsung marah-marah kepada Pattinama. Terjadilah perkelahian. Dengan pistolnya, Wattimena lalu memukul Pattinama. Senjata api itu akhirnya meledak dan pelurunya mengenai kepala Pattinama hingga kehilangan nyawa.
Maria Wattimena pun jadi janda dengan empat anaknya dari Pattinama. Sementara, Wattimena jadi tahanan di Surabaya.
Ketika insiden pistol Wattimena itu terjadi, KNIL sebagai tentara kolonial sudah bubar. Namun, Wattimena tetaplah seorang sersan, tapi kini di Koninklijk Landmacht (KL) alias Angkatan Darat Kerajaan Belanda.
Sersan Wattimena termasuk anggota KL yang sedang menunggu dikapalkan ke Belanda. Kala itu tidak ada lagi perang antara Indonesia dengan Belanda. Sesuai Konfrensi Meja Bundar (KMB), tentara Belanda harus pergi dari Indonesia.
Sersan Wattimena akhirnya naik kapal juga. Tapi statusnya sebagai tahanan.
Setelah Sersan Wattimena sampai di Negeri Belanda, kasusnya pun disidangkan di Den Haag. Rupanya Sersan Wattimena, yang berusia 44 tahun, tidak paham benar bahasa Belanda meski dia lama bekerja untuk militer Belanda. Namun, peran seorang penerjemah tak begitu perlu sebab hakim dan jaksa militer bisa berbahasa Indonesia.
“Itu semua merupakan suatu kebetulan yang sangat disayangkan,” catat De Vrije Pers tanggal 17 September 1951.
Dalam sidang, Sersan Wattimena berkeras bahwa insiden itu tak disengaja olehnya. Sersan Wattimena tak bermaksud mengambil nyawa Sersan Pattinama. Kala itu Sersan Wattimena dibela oleh advokat Mr CW Rhijn van Hengelo. Apa yang dilakukan Sersan Wattimena terkait dengan adat di tanah Maluku. Sehingga beberapa anggota militer yang pernah bertugas di Indonesia diminta pendapatnya.
“Adat lebih dari sekadar adat istiadat, adat adalah sesuatu yang sangat sedikit kita pahami sebagai orang Barat,” kata bekas Panglima KNIL Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, menjelaskan ada yang tidak dipahami orang Belanda terhadap apa yang menjadi aturan main di Maluku.
Koran Eindhoven Dagblad tanggal 14 September 1951 mencatat, pendapat bekas Letnan Penerbangan Pieter Elia Donald Titaley, apa yang dilakukan Sersan Pattinama—yang tergolong bangsawan Ambon itu—kepada Sersan Wattimena adalah kejahatan.
Hukuman pun dijatuhkan pada Sersan Wattimena. Mulanya, ia hendak dihukum 6 bulan penjara. Namun setelah sidang ditunda untuk dengar pendapat, Sersan Wattimena kemudian hanya diganjar 3 bulan kurungan potong masa tahanan. Kebetulan sang sersan yang jadi pesakitan itu telah menjalani masa tahanan selama tiga bulan jadi Sersan Wattimena segera bebas.