TANGGAL 5 paro terang bulan Asadha, 16 Juni 682, di sebuah tempat, Dapunta Hiyang mendirikan perkampungan, dan Sriwijaya menang. Begitulah akhir gemilang dari ekspedisi militer Dapunta Hiyang, saat mulai mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Sejak itu, Sriwijaya mulai bergerak, membangun diri menjadi sebuah imperium di wilayah Sumatra.
“Sriwijaya menjadi imperium yang kuat tepatnya tidak diketahui. Boleh jadi sejak abad ke-8 karena pada abad ke-7 mulai membangun kekuasaan,” ujar arkeolog Bambang Budi Utomo, kepada Historia.
Baca juga: Ekspansi Raja Chola sampai Sriwijaya
Satu per satu bandar-bandar di sepanjang selat Malaka mulai jatuh ke pelukan Sriwijaya. Mulai dari bandar Lamuri –ujung pintu masuk Selat Malaka (sekarang Banda Aceh)–, Pulau Kampe (Kampai), Kota Cina di Sumatra Utara, hingga bandar Jambi di sisi tenggara selat Malaka. Sriwijaya pun masyhur sebagai kampiun di lautan sejak abad ke-8.
“Pada abad ke-8 Sriwijaya dan saudaranya, Mataram, sudah berhubungan dengan Thailand dan India. Itu artinya sudah mempunyai kekuatan laut,” kata Bambang, penulis buku Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra.
Baca juga: Serbuan Chola ke Sriwijaya
Dari penguasaan bandar-bandar ini, pundi-pundi keuangan Sriwijaya pun bertambah. Sumber pendapatan itu berasal dari kapal-kapal yang lewat dan bersandar.
“Penguasa Sriwijaya meminta 20.000 dinar sebelum memberikan izin kepada kapal dagang Persia atau Arab untuk melanjutkan pelayaran ke Tiongkok. Demikian pula sebaliknya yang datang dari Tiongkok menuju India atau Persia,” demikian dikutip dalam Program Book Kedatuan Sriwijaya, menyitir pernyataan Buzurg bin Shahriyan al-Ramhurmuzi dalam jurnal pelayarannya, Aja’ib al-Hind. Selat Malaka merupakan jalur pelayaran utama yang menghubungkan Arab, Persia, dan India yang berada di sisi barat, dengan Tiongkok yang berada di sebelah timur.
Baca juga: Bukti Kedatangan Chola
Kerajaan Sriwijaya akhirnya menjadi pusat penyaluran semua hasil bumi Nusantara. Situasi demikian, tentu saja menguntungkan bagi Sriwijaya. Pemasukan pajak perdagangan terus mengalir ke kas kerajaan. Selain itu, penghasilan Sriwijaya juga diperoleh dari barang-barang ekspor.
Menurut Elizabeth T. Gurning dan Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Bumi Sriwijaya, tujuan ekspor Sriwijaya adalah Arab dan Cina. Ke Arab, Sriwijaya mengekspor kayu gaharu, kapur barus, cendana gading, timah, kayu ebony, kayu sapan, rempah-rempah dan kemenyan. Sementara ke Cina, komoditas ekspornya adalah gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, cula badak, kapur barus, bumbu masak dan obat-obatan.
Baca juga: Alasan Chola Serang Sriwijaya
“Pendapatan kerajaan antara ekspor dan pajak relatif sama. Tapi presentasenya lebih ke pajak karen para saudagar asing yang datang ke bandar-bandar Sriwijaya untuk mengambil komoditas dari Nusantara. Sriwijaya berfungsi sebagai bandar pengepul (entreport),” kata Bambang.
Namun, persoalan pajak pernah menimbulkan masalah. Penguasa Sriwijaya menerapkan pajak yang cukup tinggi kepada saudagar-saudagar dari Tamil. Padahal pedagang Tamil juga sudah membayar pajak kepada Kerajaan Chola di India selatan. Penguasa Chola tak terima atas perlakukan Sriwijaya terhadap pedagang Tamil. Mereka pun menyerang Sriwijaya pada 1017 dan 1025. Pada serangan kedua, raja Sriwijaya berhasil ditawan.*