SERANGAN Kerajaan Cola, sebuah dinasti Tamil di India Selatan, konon turut mengantar Kerajaan Sriwijaya ke akhir masa keemasannya. Padahal, sebelumnya Sriwijaya dan India Selatan berhubungan baik sejak abad ke-9 M. Prasasti Nalanda (860 M) menyebut Raja Sriwijaya, Balaputradewa, pernah mendirikan vihara di Nalanda.
Hal itu ditiru penerusnya. Pada 1005 M, Raja Cudamaniwarman mendirikan kuil di Nagipattana (Nagapattinam, Pantai Koromandel). Pembangunan candi ini tak selesai kemudian dilanjutkan putranya, Marawijayatunggawarman. Saat itu, Kerajaan Cola sudah berdiri dan dipimpin oleh Rajaraja (985-1014).
Namun, ketika Rajendracola I naik takhta pada 1012 menggantikan ayahnya, Rajaraja, sikapnya terhadap Sriwijaya berubah. Dia menyerang Sriwijaya pada 1025 M dan 1068/1069 M. Penyebabnya tak begitu jelas.
Namun, menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog senior di Puslit Arkenas, alasannya mungkin karena faktor ekonomi. Kala itu, pedagang Tamil telah menguasai sekitar Teluk Benggala. Mereka menyebar hingga ke Myanmar, Thailand, hingga ujung utara barat laut Sumatra, yaitu Barus, Banda Aceh, dan Medan. Para pedagang itu kemudian membentuk persatuan pedagang bernama “Yang Ke Lima Ratus dari Seribu Arah” (Ayyavole-500).
“Ini disebutkan dalam sebuah prasasti Tamil yang ditemukan di Lobu Tua, Barus. Prasasti ini memperkuat dugaan adanya komunitas Tamil di Sumatra,” kata Bambang ketika ditemui di kantornya.
Prasasti itu menyebut para pedagang Tamil harus membayar pajak kepada raja Cola, bukan kepada Sriwijaya sebagai penguasa setempat.
“Untuk apa? Melindungi kepentingan orang Tamil. Istilahnya kalau sekarang 'jatah preman'; si preman melindungi pedagang dari gusuran,” ujar Bambang.
Sebagai balasannya, Bambang menduga, ketika pedagang Tamil merasa dirugikan Sriwijaya, mereka mengadu kepada Cola. Sudah menjadi tugas Cola untuk melindungi para pedagang itu.
“Ini interpretasi saya. Mungkin pajak (ke Sriwijaya, red.) terlalu berat, diseranglah Sriwijaya,” katanya.
Menurut Claude Guillot dkk. dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu, penguasa Cola pada masa itu menjalin hubungan erat dengan perkumpulan pedangang, khususnya dengan Ayyavole-500 yang ada di Lobu Tua.
Menurutnya, ini terkait dengan misi politik kerajaan. Pemerintahan Rajendra adalah puncak ketika Kerajaan Cola ingin memperluas kekuasaannya. Cola berkeinginan menjalin hubungan dengan wilayah timur, seperti Tiongkok dan Kamboja. Meski sebenarnya orang India sudah ada di Barus sejak pertengahan abad ke-9 M. Dinasti Cola waktu itu belum menonjol dan hanya menguasai satu daerah kecil di delta Sungai Kaveri.
“Dengan perluasan wilayah kekuasaan Dinasti Cola memungkinkan para pedagang Tamil, yang merupakan anggota perkumpulan yang didukung pemerintah, berhasil menguasai jaringan perdagangan yang lama, seperti jaringan perdagangan kamper yang menuju Barus,” catat Guillot.
Bambang tak setuju. Menurutnya, kerajaan-kerajaan yang pernah ada di India hanya berkuasa di Asia Selatan. Pengaruhnya saja yang sampai ke banyak wilayah, seperti gaya seni dan aliran filsafat.
Sementara orang Tamil tak begitu membawa pengaruh di wilayah Sriwijaya, terutama dalam hal seni, misalnya arca. Pedagang Tamil yang datang ke wilayah Sriwijaya membawa arcanya dari India.
Misalnya, arca bergaya Tamil yang ditemukan di Kota Cina, Medan. Batu yang dijadikan bahan membuat arca tak ditemukan di Sumatra atau Nusantara, tapi hanya ada di India.
“Artinya apa? Itu barang dibuat di India oleh komunitas Tamil, dibawa ke Kota Cina untuk diletakkan di vihara yang dibangun oleh Komunitas Tamil untuk pemujaannya,” terang Bambang.
Hasilnya, gaya seni Tamil tak berkembang di Indonesia. Tak ada seniman Nusantara yang mengadopsi gaya itu.
“Serangannya bisa jadi karena Sriwijaya yang salah memberikan pajak terlalu tinggi. Tapi ini belum terbukti,” lanjut Bambang.
Yang jelas, Bambang menambahkan, serangan itu bukan bermotif untuk menguasai wilayah Sriwijaya. Tak ada sumber tertulis soal itu, baik prasasti maupun naskah Nusantara dan India.
Alih-alih menduduki, Cola hanya datang mengubrak-abrik Sriwijaya, menawan rajanya pada serangan kedua, dan kembali ke negaranya. “Cola itu hanya mengingatkan: nggak usah macam-macam,” jelas Bambang.
Buktinya, kata Bambang, Sriwijaya dengan raja penggantinya, masih sempat membantu pembangunan kuil Tao di Kanton. Kuil ini kemudian dihancurkan tentara Khubilai Khan ketika Mongol menghajar Dinasti Song.
“Artinya, kekuasaan Sriwijaya masih eksis. Meski raja ditawan Cola, tapi tetap berlanjut, karena Tamil tidak menduduki, mereka cuma menyerang dan pergi lagi,” tambah Bambang.
Baca juga:
Sriwijaya Genjot Pajak
Sriwijaya Tak Berkuasa hingga Thailand
Revolusi Bahasa di Sriwijaya
Pertukaran Pelajar antara Sriwijaya dan Nalanda
Inilah Akta Kelahiran Sriwijaya
Suku Laut Sriwijaya
Pendahulu Sriwijaya